Posts

Wolo, Si Siluman Harimau

Image
  “Siapa gerangan di balik gerakan?” “Saya, Tu-” Tanpa ia sadari sepatu lars mendarat tepat di dadanya. Dalam sepersekian detik ia limbung dari kursi. Tangannya masih terikat. Seketika darah mengalir pelan dari sudut bibir. Sepertinya tendangan barusan sampai ke ulu hati. Mungkin merobek paru-paru, ia tak tahu. Sakit yang hebat membuatnya tak bisa berpikir. Ia meringkuk kesakitan, mengerang sebab sesuatu seperti sedang mengiris hatinya perlahan. Dalam kesempatan yang sempit, ia menatap  seorang lelaki tambun datang  dari pintu mendekat ke arahnya. Pak Bupati? Ia tak yakin. Lelaki itu semakin dekat. Ia berusaha keras tetap terjaga, ia ingin pastikan siapa dalang yang menggerakkan wayang. Sayang, yang ia lihat hanya sebatas siluet sebelum akhirnya ia tak sadarkan diri. *** “Sudahlah Mei, hentikan semua ini,” kata Inang kepadanya suatu pagi di halaman rumah. “Tak sayangkah engkau kepada suami dan anak-anakmu?” Lanjutnya sembari menumbuk kopi. Sesekali Inang berhenti menumbuk...

Pohon Durian Bobi

Image
  Hari Minggu pagi, Bobi mendapat kabar buruk. Pohon-pohon durian di kebun utara rumahnya ditebang sampai ke dekat akar. Batang yang tersisa dicacah oleh senjata tajam hingga tak ada kemungkinan untuk tumbuh lagi. “Pohon-pohon” yang dimaksud bukan dua, tiga, atau empat pohon, melainkan empat puluh pohon. Sebagian besar sudah berbunga. Bunga pertama sejak pohon-pohon itu ditanam Bapak dan Bibi. Setelah mendapat kabar itu, Bobi menangis sejadi-jadinya di pelukan Bibi. Bibir dan tenggorokannya kering, keningnya pegal, suaranya serak. Bobi sering mendengar kabar tentang pohon-pohon yang dirusak atau pondok kebun yang dibakar diam-diam pada malam hari. Pohon-pohon pisang ambon Pak Amri, pohon-pohon pisang lampeneng dan berlin Bu Sulastri, pohon-pohon manggis Pak Remi. Kejadian-kejadian itu  menciptakan kegemparan . Orang-orang bersedih dan warga desa menjadi siaga. Bobi tidak menduga peristiwa semacam itu akan terjadi pada dirinya. Pasca kelahirannya dulu, keluarga Bobi mendapat ...

Saya Terpaksa untuk Merangkak

  Suami saya bukanlah buaya. Air matanya bukan air mata buaya. Perangainya, saya kira, bukanlah seperti buaya. Dia itu bukan buaya, Minah! Berapa kali saya harus beri tahu kamu soal ini? Suami saya itu manusia. Em-a-en-u-es-i-a. Perlu saya eja lagi? “Ya, karena dia lelaki gatal! Suka berpindah-pindah pasangan! Makanya disebut buaya!” “Apakah betul begitu, Min? Adakah sebutan buaya untuk perempuan?” Minah meremas-remas jarinya. Menggelengkan kepala. “Tapi, sudah sejak lama saya lihat suamimu itu tatap-tatapan sama Jelita! Pantaslah dia dapat karmanya!” katanya, ngotot. Kali ini Minah sampai mengguncang-guncang bahu saya. “Kau tahu seperti apa bukan, perihal dia?” Jelita. O, Jelita .  Nama yang indah . Seindah parasnya yang selalu dipuja-puja desa. Seindah rambutnya yang berwarna merah gelap. Seindah kulitnya yang manis dan mulus seperti kulit gurita. A, tidak seperti saya! Akhir-akhir ini entah kenapa kulit saya, terutama di bagian bawah, mengalami gatal-gatal yang cukup parah...