Posts

Showing posts from July, 2025

Kiamat di Rumah Kecil

Image
  Ricik air hujan dari beberapa genting yang bocor itu menimbulkan bunyi  glub  yang beruntun ke dalam mulut ember, tempiasnya menciprat ke mana-mana. Ada beberapa ember yang harus kutaruh tepat di bawah belasan genting yang bocor, mulai dari beranda hingga dapur. Selain itu, ada air lain yang mengalir lewat pecahan gedung tembok kusam, menyebar susuri datar lantai yang retak, hingga setinggi mata kaki. Aku mengamati keadaan rumah sambil menderaikan air mata. Sungguh  rumah kecil ini penuh dengan kerusakan . Tapi, walau bagaimanapun, aku harus tersenyum dan bersyukur atas rumah ini; rumah warisan yang kelak akan kutempati bersama suamiku. Segera kuseka air mata, kuambil sapu ijuk yang bersandar di pilar. Sehelai sarung bekas kulempar ke lantai, kugosok-gosok pelan dengan tindihan rambut sapu agar air yang menggenang segera berkurang. Kuulang beberapa kali, seolah sedang mengeringkan nasib kelamku. * Setelah ayah wafat, usai keluarga kami berembuk, akhirnya rumah ini...

Tak Ada Obat untuk Syakubat

Image
  Malam sudah larut ketika sekumpulan massa mengepung rumah Syakubat . Rumah kayu itu berdiri kuyu di tepian sawah, ditemani batang-batang padi yang hampir menguning. Ada beberapa balai bambu di depan rumah itu, tempat Syakubat biasa mengajarkan anak-anak mengaji. Di malam-malam tertentu ia juga memberi pengajian untuk perempuan-perempuan tua yang di masa mudanya tak sempat mengaji, agar ketika mereka mati tak dimarahi malaikat. Syakubat menyibak tirai jendela, melempar pandang dari celah-celah kaca nako. Seketika bulu kuduknya berdiri tegak, bagai ilalang. Syakubat segera menoleh ke arah istri dan dua anaknya yang masih duduk di tikar pandan, tak jauh dari dapur. Dia menghela napas, menahan rasa takut yang tiba-tiba datang. Bukan kali ini saja rumahnya didatangi orang-orang, tapi sudah berkali-kali. Mereka meminta Syakubat meninggalkan kampung,  pergi jauh dan jangan pernah kembali . Namun, Syakubat selalu menolak. Tak ingin dia meninggalkan kampung yang sudah memberinya bany...

Kang Tiyok Telah Menjual Semua Sapinya

Image
  Kutatap kandang sapi itu . Hampir setiap sore hari aku bermain di kandang itu. Suara lenguhan dan klonengan yang bergemerincing begitu akrab di telinga. Kini kurasakan sepi, tak terdengar lagi suara roda yang beradu dengan gesekan-gesekan kayu gerobak dan as besi. Satu bulan lalu Kang Tiyok bercerita padaku jika ia ingin menjual sapi-sapinya. Aku awalnya mengira ia hanya bercanda. Manalah mungkin ia akan melakukan itu. Aku tahu betul bahwa dari bangun tidur hingga akan tidur lagi pada malam hari, ia pasti akan berada di kandang untuk bercengkerama atau sekadar menatap sapi-sapi. Tetanggaku itu begitu mencintai sapi-sapi. Kini sapinya telah berjumlah belasan ekor.  Ia telah memelihara dan mengurus sapi-sapi itu  selama puluhan tahun. Jika toh pernah menjual sapi, biasanya Kang Tiyok akan membeli lagi sapi muda atau bersabar menunggu sapi betinanya melahirkan. Itulah kenapa aku heran jika Kang Tiyok ingin menjual sapi-sapinya. Setidaknya ia telah cukup mendapat banyak keu...

Kodok

Image
  Seorang perempuan sedang jalan-jalan santai di tepi hutan kota ketika tiba-tiba ia mendengar seekor kodok hijau sebesar telapak tangan orang dewasa berseru kepadanya dari bawah bangku beton. “Tolong aku,” rintih kodok itu kepada si perempuan. “Tolong aku.” Si perempuan, sedikit kaget tapi tanpa disertai perasaan heran atau takut, melangkah mendekati si kodok. Lantas berjongkok dan mengelus kepala kodok tersebut. “Apa yang bisa kubantu?” si perempuan bertanya. “Cium aku,” kata si kodok. “Dan aku bakal berubah menjadi pangeran yang akan menikahimu.” “Seorang pangeran tampan?” si perempuan bertanya kembali. “Seperti dalam dongeng?” si perempuan menegaskan. “Seorang pangeran tampan,” jawab si kodok, “yang paling tampan yang bisa kaubayangkan. Dan ya,  seperti dalam dongeng .” Si perempuan tersenyum. “Aku sudah lama menunggu saat-saat seperti ini tiba,” katanya. . Si perempuan membawa si kodok pulang dan menempatkan si kodok dalam akuarium yang lama kosong setelah ikan mas pelih...

Ke Mana Bus Itu Membawa Kami?

Image
  Aku kira Raj bergarah . Mana pula ada bus semacam itu. Tetapi pertanyaan kritisnya, kenapa harus sampai bergiat-giat naik bus bila pesawat terbang senyata lebih laju menggulung jarak? “Kau pasti akan terkenang-kenang, Ran. Perjalanan ini akan menghadiahkanmu cendera mata tak terlupakan,” kata Raj sambil berusaha menggendong ranselnya ke punggung. Betapa masih belum percaya aku sebenarnya. Dan sintingnya, satu jam lagi bus akan berangkat. “Raj, apa sebaiknya aku tidak ikut? Bagaimanapun ini semata dorongan hatimu, bukan keinginanku,” aku coba mementahkan ajakan Raj. Raj menatapku. Duh, rontok rasanya seluruh tenaga. Dengan jalan apa coba aku mampu menampik keindahannya. Mata itu, sungguh,  pastilah telah menakluki banyak hati . “Sejatinya ini keinginanmu, Ran. Keinginan yang tidak menyembul ke permukaan, melainkan sudah teruk terperosok. Bangkitlah, Ran!” Raj meremas jemariku. Aku merasakan Raj membuka gerbang yang lama aku nafikan. Sesungguhnya tidak penuh aku nafikan, tapi…...