Kiamat di Rumah Kecil
Ricik air hujan dari beberapa genting yang bocor itu menimbulkan bunyi glub yang beruntun ke dalam mulut ember, tempiasnya menciprat ke mana-mana. Ada beberapa ember yang harus kutaruh tepat di bawah belasan genting yang bocor, mulai dari beranda hingga dapur. Selain itu, ada air lain yang mengalir lewat pecahan gedung tembok kusam, menyebar susuri datar lantai yang retak, hingga setinggi mata kaki. Aku mengamati keadaan rumah sambil menderaikan air mata. Sungguh rumah kecil ini penuh dengan kerusakan . Tapi, walau bagaimanapun, aku harus tersenyum dan bersyukur atas rumah ini; rumah warisan yang kelak akan kutempati bersama suamiku. Segera kuseka air mata, kuambil sapu ijuk yang bersandar di pilar. Sehelai sarung bekas kulempar ke lantai, kugosok-gosok pelan dengan tindihan rambut sapu agar air yang menggenang segera berkurang. Kuulang beberapa kali, seolah sedang mengeringkan nasib kelamku. * Setelah ayah wafat, usai keluarga kami berembuk, akhirnya rumah ini...