Mitos kicau burung kedasih sebagai isyarat ajal seseorang sudah dekat

 

Ada mitos bahwa suara kicau burung kedasih adalah sebagai isyarat ajal seseorng sudah dekat. Entah mitos itu benar stau tidak, ysng pasti cerita misteri pernah dialami oleh Arum.

Kejadian ini berawal genap satu bulan Mbah Tumi terbaring di atas dipan. Wanita paruh baya itu mengalami cedera lutut setelah terpeleset di pematang sawah saat mencari sisa-sisa hasil panen padi milik warga setempat.

Mbah Tumi merawat cucu semata wayangnya bernama Arum setelah ibunya tak berkirim kabar sejak pamit bekerja ke luar negeri.

Saat itu Arum baru saja berumur tujuh bulan, dengan sisa-sisa tenaganya Mbah Tumi dan Suaminya Mbah Samir merawat cucunya dengan sepenuh hati.

Kini, Arum sudah duduk di bangku SMA. Ia tumbuh menjadi gadis yang piawai dan memahami keadaan kedua simbahnya.

Meski hari-hari terasa berat bahkan untuk memenuhi pangan keluarga, asalkan kedua simbah ada di sampingnya, ia merasa tak ada yang perlu dirisaukan.

Berhari-hari setiap malam, Mbah Tumi mulai susah memejamkan mata, pikirannya berkecamuk, dan cemas. Usianya telah mendekati senja, bukan kematian yang ia takutkan, melainkan kehidupan cucunya setelah kepergiannya nanti.

Sudah dua malam, Arum mendengar kicau burung kedasih yang suaranya seolah di atas atap rumahnya, kicauannya memekakkan telinga.

Ia ingin mengabaikan, menepis segala mitos yang dikatakan penduduk desa, bahwa kicau kedasih bertanda isyarat kematian seseorang yang telah dekat ajalnya.

Menjelang Subuh, Mbah Samir pergi ke masjid dengan berjalan kaki. Dengan pencahayaan yang sangat minim, Mbah Samir yang berjalan di tepi jalan raya tak begitu terlihat oleh pengendara motor yang melaju kencang.

Nahas, Mbah Samir terguling dan menatap aspal terserempet sepeda motor. Lukanya terlihat tak seberapa tetapi Ia telah meninggal dunia.

Acara pemakaman berlangsung khidmad, meski Mbah Samir bukan Orang berada tetapi ia adalah orang yang disegani, pribadi santun yang rajin beribadah di masjid.

Sejak pagi hingga petang pelayat di rumah Mbah Samir berlalu lalang datang dan pergi, menghaturkan bela sungkawa.

Pukul sepuluh malam, Ketika tak ada lagi pelayat yang datang, Arum menutup pintu kayu rumahnya yang berdecit. Tepat saat itu burung kedasih kembali berkicau di atas atap rumahnya.

Comments

Popular posts from this blog

Ngeri, ada potongan kaki di tumpukan kayu jati untuk bahan bakar lokomotif kereta api kuna

Penyesalan Ayah

Cerita misteri kelereng pembawa keberuntungan 3, hanya tiga tahun sudah menjadi orang kaya