Tok Tok Tok
Setelah dua mingguan akhirnya pertanyaan yang sering membuatku terganggu itu terjawab. Aku selalu penasaran kenapa beberapa tetangga bertanya, apakah benar aku tinggal di rumah kontrakan nomor tiga di blok M. Pertanyaan itu selalu mengganggu karena saat aku menanyakan apakah ada yang salah dengan rumah kontrakan tersebut, mereka langsung mengalihkan topik pembicaraan.
Tepat pukul dua dini hari, suara ketukan keras dengan tempo lambat dari teras depan kembali terdengar. Hal itu terus berlangsung selama beberapa hari terakhir. Awalnya aku berpikir mungkin cuma ranting pohon yang tertiup angin dan mengenai jendela.
Esok paginya aku memangkas ranting pohon di dekat jendela. Awalnya hanya kubiarkan meski agak mengganggu, karena kesibukan kerja dan alasan lainnya.
“Tok … tok … tok.”
Lagi-lagi aku terbangun karena suara ketukan, bedanya kali giliran pintu yang diketuk-ketuk. Aku mencoba mengabaikannya, tapi berakhir mengantuk seharian di tempat kerja. Beruntung tidak sampai mengganggu pekerjaan.
Sialnya hal itu terus berlangsung sampai hari ini. Hampir genap sebulan malam-malamku selalu diganggu oleh suara ketukan pintu, kaca jendela dan kadang ketukan di dinding. Pernah beberapa kali aku mengintip dari jendela, tapi ketukan itu selalu terhenti saat aku kurang beberapa langkah dari pintu dan tidak ada siapa pun di luar sana.
“Lesu bener Yon, kurang-kurangin begadangnya, tuh mata udah kayak panda,” tegur salah satu temanku di sela waktu istirahat kerja.
“Kamu ada info rumah kontrakan kosong nggak Ed?” timpalku.
“Lah udah mau pindah lagi, padahal enak loh kontrakanmu yang sekarang. Udah deket tempat kerja, halaman juga luas. Nggak ada yang aneh-aneh, kan?”
“Nggak yakin sih, tapi sebulanan ini tiap jam dua dini hari aku terus-terusan kebangun gegara ada yang ketuk-ketuk nggak jelas dari luar. Anehnya tetangga sebelah nggak ada denger apa-apa dan tiap kutengok juga nggak ada siapa-siapa.”
“Terus, kamu pernah sampai bukain pintu nggak?” tanya Ed dengan raut muka agak khawatir.
“Iya, semalem karena udah saking keselnya aku nekat keluar sih, tapi sama aja nggak ada siapa-siapa.”
Mendengar jawabanku Ed menepuk jidat lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. Itu adalah gestur khasnya saat ada sesuatu yang salah. Aku belum sempat bertanya sebenarnya ada apa, karena waktu istirahat sudah berakhir dan kami kembali ke tempat pekerjaan masing-masing.
—
“Baru pulang kerja, Bang?” sapa seorang tetangga yang tinggal di depan rumah ketika aku turun dari motor.
“Iya nih, Bu,” timpalku sekenanya.
“Nggak ada yang aneh-aneh kan Bang di kontrakan?”
“Aneh-aneh gimana, Bu?” jawabku sambil mengernyitkan dahi.
“Udah dari dulu, yang ngontrak di situ pasti nggak pernah betah. Baru Abang doang nih yang sebulan lebih belum pindah, biasanya paling lama dua atau tiga mingguan.”
Mendengar hal itu perasaanku mendadak tidak enak, rasanya ada sesuatu yang tidak beres dengan rumah kontrakan yang aku tempati. Setelah sedikit berbasa-basi aku pun masuk ke dalam rumah.
Padahal aku yakin saat pulang pintu dalam keadaan terkunci, tapi anehnya tempat sampah di ruang depan berantakan. Terlihat seperti ada yang mengacak-acak, tapi anehnya tidak ada benda yang hilang. Ventilasi juga ditutup rapat menggunakan jaring nyamuk, jadi rasanya tidak mungkin jika ada kucing yang masuk.
Belum sampai aku membereskan sampah yang berceceran, terdengar suara air dari kamar mandi. Masa sih? Padahal aku yakin sudah menutup keran air sebelum berangkat kerja.
Karena lelah sehabis kerja, aku malas untuk berpikir yang aneh-aneh dan beranggapan bahwa tadi pagi memang lupa untuk menutup keran air.
“Tok … tok … tok.”
Aku mengernyitkan dahi, masih jam setengah enam sore. Awalnya aku enggan membuka pintu, sampai akhirnya terdengar suara seseorang yang memanggil.
“Maaf Bang sore-sore ngeganggu, ini kalo boleh saya nitip kunci.”
“Kunci punya siapa ya, Pak?” tanyaku singkat.
“Kunci rumah depan itu, yang punya lagi pulang kampung. Kalo malem abis Maghrib pembantunya suka datang buat bersih-bersih. Maaf kalo ngerepotin, kebetulan saya lagi ada acara di luar.”
Aku hanya bisa mengiyakan karena tidak enak kalau menolaknya. Saat Bapak yang tinggal di sebelahku sudah pergi, aku baru ingat jika barusan saat pulang kerja orang yang tinggal di depan rumahku tadi sempat menyapa. Padahal jelas-jelas katanya si empunya rumah sedang pulang ke kampung halamannya.
Pukul dua dini hari, suara ketukan pintu itu kembali terdengar. Hanya saja kali ini ada yang janggal, suaranya seperti terdengar dari pintu kamarku.
“Nggak, nggak mungkin, pasti cuma salah dengar,” decakku pelan.
“Tok … tok … tok.”
“Tok … tok … tok.”
Kejadian tadi sore semakin membuatku yakin jika ada yang salah dengan rumah kontrakan ini. Semalaman aku habiskan dengan meringkuk di balik selimut, sambil terus berusaha untuk tetap tenang dan berpikir positif. Setidaknya sampai pukul setengah lima pagi, suara ketukan di pintu kamar akhirnya tidak terdengar lagi.
Seperti yang sudah-sudah, pagi ini aku juga berangkat kerja dalam keadaan mengantuk. Suara ketukan pintu sialan itu benar-benar merampas tidur nyenyakku setiap malamnya dan semalam adalah yang paling parah.
Sore harinya aku tidak pulang ke kontrakan dan memilih menginap di tempat Ed. Tentunya dia juga kaget setelah aku menceritakan kejadian kemarin sore.
Aku pikir akan bisa tidur nyenyak setelah sekian lama, tapi nyatanya suara ketukan pintu itu masih terdengar. Bukan dari pintu depan, bukan juga dari pintu kamar tapi jelas terdengar dari dalam lemari di sebelahku. Aku langsung menutup telinga rapat-rapat, tapi suara itu tetap terdengar, seperti menggema di dalam kepala.
“Seriusan?” timpal Ed, dia cukup terkejut saat aku menceritakan tentang kejadian semalam.
“Iya serius, kalau udah nginep di sini tapi nggak ada bedanya kayaknya pindah kontrakan juga bakal sia-sia,” keluhku.
“Udah coba tanya ke yang punya kontrakan belum?” timpal Ed.
“Udah sih beberapa hari kemarin, tapi responnya ya gitu. Aku malah disuruh periksa ke psikolog, dikiranya halusinasi.”
Mendengar itu Ed terkekeh sejenak, malah katanya mungkin saran dari yang punya kontrakan itu layak dicoba.
“Canda … canda, tapi cuma suara-suara aja kan, nggak sampai narik-narik kaki atau selimut kayak di film-film?”
“Amit-amit woy, suara ketukan aja udah ngeri. Kira-kira lah kalo becanda.”
Hari itu aku memilih untuk tidak masuk kerja, kepalaku pusing dan fokusku benar-benar buruk. Aku sebenarnya agak enggan untuk pulang ke kontrakan, tapi mau bagaimana lagi, toh di tempat Ed juga tidak ada bedanya.
Sesampainya di kontrakan aku langsung masuk, syukurlah semuanya baik-baik saja. Tidak ada tempat sampah berantakan atau semacamnya. Hanya saja ada sesuatu yang terasa agak ganjil, beberapa keramik di dekat tempat sampah terlihat agak berbeda seolah-olah pernah dibongkar.
Comments
Post a Comment