Teman Hantu
“Aku aja yang bersihin gudang.”
Dalam hati aku menggerutu namun di luar aku mengulas senyum. Menatap seseorang di hadapanku yang kini tersenyum manis.
“Huaa makasih. Lo emang temen gue yang terbaik.” Dan yang paling bisa gue manfaatin. Itu kelanjutan kalimatnya, yang ada dalam pikirannya.
“Ya udah kamu pulang aja. Kasihan supir kamu nungguin.” Ucapku dengan raut semanis mungkin.
Temanku itu mengangguk lalu berlari menuju gerbang sekolah. Meninggalkanku sendirian di depan gudang berdebu ini. Tunggu, tunggu. Aku bilang apa tadi? Teman? Yang benar saja. Aku bahkan tak tahu atau lebih tepatnya tak mau tahu definisi teman yang sebenarnya, dalam artian yang sesungguhnya.
Aku benci. Aku benci kelebihanku ini. Oh bukan-bukan. Lebih tepatnya kekurangan ini. Dapat mendengar suara pikiran orang lain. Bukankah itu sangat menyebalkan?
“Jangan menganggap kelebihan lo adalah kekurangan.”
Aku mengamati sekeliling sembari mengernyit heran. Mencari asal suara. Tak ada siapapun selain diriku. Apakah tadi suara hantu? Tunggu, sejak kapan pikiranku menjadi sedangkal ini? Tanyaku membatin.
“Gue bukan hantu. Lebih tepatnya belum.”
Baiklah, itu terdengar buruk. Maksudku, hei siapa yang tak takut saat dirinya sedang sendirian tapi indera pendengaran mendengar suara yang entah berasal dari mana.
“Gue ada di belakang lo.”
Aku membulatkan mata. Menatap ke sumber suara dengan tatapan tak percaya. Serius, aku melihat hantu?
“Kenapa? Lo takut sama gue?”
Suara itu terdengar mengejek. Aku menggeleng cepat.
Sosok yang sedang menyandarkan punggungnya pada dinding gudang sekolah itu kini tak terlihat lagi. Aku kira dia sudah pergi jadi aku memasuki gudang yang sangat tak terawat ini dengan santai. Ternyata perkiraanku salah. Dia ada di sana. Duduk di atas matras. Refleks aku memundurkan langkah.
“Siapa?” Tanyaku setelah berhasil mengusir ketakutanku.
Sosok itu menoleh memperlihatkan wajah seramnya. “Gue ga akan jawab kalo lo takut.” Jawabnya datar.
Aku menyipitkan mata, kebiasaanku jika sedang kesal. Maunya apa sih? Berusaha acuh dengan kehadirannya, aku melewatinya untuk mengambil sapu dan kemoceng. Sembari menyapu lantai, sesekali aku melirik ke arahnya. Walau sangat penasaran, aku tak mau lagi bertanya. Aku ini adalah manusia introvert. Yaa, walau aku punya geng sih.
“Geng cewek-cewek alay itu? Lo bukan jadi anggotanya kan? Mana ada anggota yang diperlakukan kaya babu gini.” Ujarnya dengan nada sinis yang kentara. Entah sinis kepada siapa. Eh, apa dia sinis kepadaku?
“Gue ga sinis ke lo. Jangan salah paham.” Ucapnya seperti tahu apa yang ku pikirkan. Aku mengerjab lalu melanjutkan kembali aktivitasku.
“Siapa namamu?” Tanyaku. Hantu itu menggeleng. “Kau tidak punya nama?” Aku membulatkan mata. “Kasihan sekali.” Lanjutkan dengan nada iba.
“Awhh …”
Aku meringis lirih saat kemoceng yang tadi aku ambil tiba-tiba melayang dan terlempar tepat ke arahku, mengenai pelipisku. “Jahat!” Aku mendengus sebal.
“Ck. Sembarangan mulut lo.” Decak sang hantu kesal. “Nama gue Hiro.” Ujarnya memberitahu.
“Hah?” Aku melotot tak percaya. “Hiro kan istrinya Naruto.”
Dan, yeah. Kejadian tadi terulang lagi. Kali ini sapu yang melayang ke arahku. Menimpuk puncak kepalaku keras dengan gagangnya.
“Itu Hinata, bodoh!” Suaranya makin terdengar jengkel. Umpatan pun terlontar untuk siapa lagi selain aku? Huh, menyebalkan!
“Lo yang menyebalkan.” Katanya sembari menatapku ‘garang’. Jika diperkasar menjadi ‘seram’. Dia beranjak dari duduknya lalu menghampiriku dengan langkah santainya. Aku refleks memundurkan langkah. Menatapnya sekilas dengan segenap rasa takut.
Jika diperhatikan dengan seksama, si hantu ini terbilang enak dipandang. Aku tak perlu menjelaskannya bukan, gambarkan saja seperti yang kalian mau. Karena aku tak akan bisa bertanggung jawab jika kalian baper sebab dari haluan kalian sendiri.
“Jadi, menurut lo gue ini tampan?”
Eh? Aku terpaku. Kenapa hantu ini terlihat nyata sekali??“Em, Hiro …”
Aku memutuskan tatapan. Memecah keheningan dengan bertanya. “Kamu bisa lebih solid?”
Hiro, si hantu menoleh. “Lebih solid gimana?” Alisnya naik. Dua detik kemudian dia menganggukkan kepala. “Maksud lo kaya gini?”
Aku melebarkan mata. Melihat sosok menyeramkan tepat di hadapanku. Dengan wajah penuh darah, seragam putih yang kini berwarna merah, dan tangan yang kutebak itu patah. Masih mengucurkan darah. “Hiro!” Panggilku ketakutan. Menutup mata.
“Ini gue Hiro. Buka mata lo.” Katanya dengan menyentuh bahuku sejenak. Saat aku membuka mata, sosoknya berubah seperti saat pertama kali aku lihat. Darah yang bercucuran itu sudah tak ada. Hanya ada sedikit darah kering di wajahnya. “Bukannya lo mau wujud gue lebih solid?” Tanyanya.
“Lebih solid yang kaya manusia. Bukan yang kaya hantu beneran. Pucat gapapa deh. Darah kamu nakutin. Apalagi yang barusan.” Pintaku memohon dengan serius sembari menutup mata.
“Oke.”
Saat aku membuka mata dan mengedarkan pandangan, bukannya menemukan sosok si hantu, netraku menemukan seseorang yang lain. Yang kini sedang sibuk menggulung matras.
Dengan sedikit gugup, aku menghampiri dan menepuk bahunya pelan. Bertanya, “Em maaf ka–” Kalimatku terhenti. Aku terpaku menatapnya. Ya ampun, sejak kapan ada makhluk tampan di gudang ini?? Batinku histeris. Aku menggeleng setelah tersadar lalu melanjutkan kalimatku. “Kamu udah lama di sini? Apa kamu liat seseorang?”
Seseorang yang kutanyai menaikkan alisnya. Sedetik kemudian dia terkekeh. Memangnya, apa yang lucu di sini?
“Hahaha, ya ampun. Lo polos atau bego sih?”
Tunggu, tunggu. Suaranya terdengar familiar di telingaku. Seperti suara si hantu. “Gue bukan hantu. Gue punya nama.” Ucap seseorang itu.
“Hiro!” Aku melotot, aku yakin pipiku kini bersemu merah. Jangan bilang tadi aku menyebutnya–
“Hm. Lo tadi nyebut kalo gue ini tampan.” Katanya dengan senyum miring. Aku mendengus. Saat akan menanggapinya, aku tersadar akan sesuatu. Hei, aku belum selesai membersihkan gudang! Kenapa aku malah terlibat percakapan dengan hantu asing ini?
“Gue bantu,” celetukannya membuatku menatapnya sangsi. “Emang hantu bisa bersih-bersih?” Tanyaku tak yakin.
“Lo ngomong sekali lagi, gue bungkam mulut lo pake kain pel bekas toilet. Mau?” Ancamnya. Tentu saja aku menggeleng tanda tak mau.
Setelah 30 menit berperang dengan debu di gudang, akhirnya tugasku selesai juga. Aku merenggangkan tubuh yang terasa pegal. “Eh hantu tinggal di mana?” Tanyaku. Kali ini aku berhasil menghindar dari sebuah vas rusak.
“Udah gue bilang nama gue Hiro. Bukan hantu.” Dia berdecak mengingatkan yang kubalas dengan senyuman. “Gue tinggal di manapun yang gue mau,” jawabnya.
“Dah sana pulang. Bentar lagi sekolah tutup.” Ucapnya. Benar juga, tapi apa barusan si hantu ini mengusirku? Aku menatapnya lalu tersenyum. Sebelum dia melempar sebuah benda lagi, aku cepat-cepat keluar dari gudang sembari melambaikan tangan, “Sampai jumpa Hiro si hantu.”
—
“Aku keluar!”
Semua pasang mata mengarah kepadaku. Kentara sekali bahwa mereka terkejut mendengar pernyataanku yang tiba-tiba. Walau begitu aku tahu bahwa dalam pikiran mereka, mereka membenci diriku. Mungkin setelah ini rasa benci itu akan bertambah.
“Apa maksud lo?” Seseorang dari mereka bertanya. Angkat bicara. Nada suaranya terdengar sendu. Aku tahu mereka sedih, sedih karena tak ada lagi ‘teman’ sepertiku. Menyakitkan dan inilah keputusanku.
“Aku keluar dari geng ini. Juga dari kelas ini.”
“Lo pindah kelas mana?”
“IPA 1B.”
Ucapanku membuat yang lain membelakkan mata. Aku tersenyum miring, menatap semua orang. Semua anggota geng. “Aku keluar karena aku tahu, selama ini aku hanya dimanfaatkan. Seperti contohnya mengerjakan hukuman padahal aku tak melakukan kesalahan.” Ucapku sembari melirik temanku yang kemarin meninggalkanku di gudang tanpa rasa bersalah.
“Ngomong-ngomong, terima kasih untuk 7 bulan ini. Semoga kalian bisa secepatnya mencari penggantiku. Oh ya, jangan lupa bersihkan gudang yang tadi kalian kotori. Kalian tahu kan membersihkan gudang butuh tenaga yang besar?” Sindirku halus. Aku kemudian pergi keluar dari kelas. Mengabaikan mereka yang kini menyumpah serapahiku.
“Waw, keputusan yang bagus.”
Aku hanya menatap datar sosok yang bersuara itu kemudian membuang muka. Dari sudut mata, aku bisa melihat bibirnya yang berkedut geli. Apa dia menertawakanku? Oh ayolah. Aku ini sehabis menangisi teman se-geng yang tak tahu malu itu. Apakah ada yang lucu?
“Apa??” Aku bertanya ngegas. Dia menggelengkan kepala. Sosoknya kemudian menghilang lalu muncul lagi di depanku.
“Jangan tangisi sesuatu maupun seseorang yang membuatmu sakit.” Katanya. Aku mengerjab. “Lo kan udah pindah kelas, gue tau lo itu cerdas. Tapi gue ga tau kenapa lo bisa terdampar di kelas IPS yang penuh kelicikan para mantan teman lo itu.”
“So girl, jangan menangis karena itu hanya akan membuatmu lelah.”
Terkadang aku lupa bahwa sosok dengan seragam putih abu-abu itu bukanlah manusia. Melihat bagaimana sikapnya yang peka namun menyebalkan dengan wajah yang terpahat sempurna. Aku yakin semasa dia hidup, dia merupakan most wanted sekolah.
“Barusan lo muji atau gimana? Dan ya, gue emang dulunya most wanted.” Katanya. Tuhkan. Dia sudah kembali seperti biasa. Menyebalkan. Padahal jika dia bijaksana, itu poin menambah ketampanan bukan?
“Tanpa bijaksana pun gue emang udah ganteng dari sononya.” Aku mendengus mendengarnya. Hantu bisa percaya diri juga ya?
“Udah ga perlu dipikirin. Yang terpenting lo buktiin kalo selama ini mereka salah karena udah manfaatin lo. Dengan prestasi tentunya.” Sarannya. Aku mengangguk sembari tersenyum menatapnya.
“Ga usah ngucap terima kasih.” Dia mengibaskan tangan. “Tapi ngomong-ngomong, lo harus buang kebodohan alias kebegoan lo itu agar gak gampang dikibulin lagi.”
Kini, aku yang melempar batu kecil ke arahnya. Dia menghindar dengan cekatan lalu mengulas senyum mengejek, “Gak kena.”
Aku mendengus lalu berbaring menatap langit. Taman belakang sekolah memang sepi dan berhawa sejuk. Sangat nyaman untuk beristirahat. Jangan berpikiran buruk. Aku bukan bolos karena hari ini free class. Daripada bengong di kelas baru, aku memilih ke taman belakang. Aku juga tak menyangka mendapati si hantu.
Hiro meniru posisiku. “Jadi sekarang kita teman kan?” Tanyanya sembari menatapku lekat. Aku mengangguk. Tak apa bukan jika aku berteman dengan si hantu yang good looking ini? Siapa tahu dia memang belum menjadi hantu.
“Dasar cewek aneh,” ucapnya.
Aku tersenyum, “Hai teman hantu. Namaku Nilima. Mari berteman dengan konteks yang positif.” Kataku sembari mengacungkan jari kelingking.
“Hai Nilima. Gue Hiro. Salam kenal.” Kelingkingnya menyambut kelingkingku.
Comments
Post a Comment