Hantu Di Kebun Tebu

 Ini cerita masa kecilku ketika desaku masih gelap gulita, belum teraliri listrik. Kira-kira tahun 1980-an. Seingatku aku masih kelas 5 SD. Jalanan desa gelap. Hanya beberapa rumah saja yang mau memasang oncor di depan rumah, biasanya di pagar bambu untuk menerangi jalan kampung. Sementara di teras sebagian besar rumah juga dipasangi lampu minyak kecil yang ada penutup kacanya atau semprong. Kami menyebut lampu kecil itu oblek. Juga di rumahku.

Kehidupan di desa saat itu sangat sederhana dan minim hiburan. Saat itu televisi sudah ada namun hanya sedikit sekali orang yang punya. Pesawat televisi masih termasuk barang mewah kala itu. Itu pun masih televisi hitam putih. Belum ada yang punya televisi berwarna seperti di zaman sekarang.

Siaran televisi hanya TVRI. Belum ada televisi swasta. Siaran televisi pemerintah itu pun dimulai pukul 17.00 dan berakhir hanya sampai pukul 24.00 WIB. Seingatku begitu pula siaran radio. Tapi radio swasta sudah banyak selain RRI.

“Nanti malam ada ludruk,” kata Mul sambil menceburkan diri ke Kali Brantas, tempat aku dan teman-teman biasa bermain, mancing, dan juga mandi.
“Di mana?” tanyaku.
“Lapangan desa,” jawab Mul ketika muncul di permukaan air.
“Ayo nonton. Semua nonton,” ajak Mul sambil menyabun badannya. Sebentar kemudian ia sudah menceburkan diri ke dalam air dan menyelam untuk beberapa saat. Mul memang jago berenang dan menyelam. Konon cita-citanya ingin jadi angkatan laut.
“Tapi lapangan itu jauh lo…” kataku.
“Jalannya gelap lagi,” tambah Kus.

Orang-orang desaku memang haus hiburan. Apa pun tontonan yang ada mereka selalu berbondong-bondong menonton, kecuali wayang kulit. Ludruk adalah hiburan favorit. Membawa alas tikar pandan untuk alas duduk menonton adalah pemandangan biasa walau seperti pengungsi. Tentu saja demi sebuah hiburan.

Aku dan keluargaku tak ada yang suka tontonan ludruk itu. Oleh karena itu, aku tak pernah diijinkan nonton ludruk kecuali dekat rumah. Itu pun tak sampai selesai. Padahal ludruk biasanya buyar jam satu atau dua pagi bahkan ada yang sampai hampir subuh.

Empat orang temanku sejak lepas Isya sudah ke rumahku. Mereka akan mengajakku nonton ludruk di lapangan desa.
“Bu, aku diajak arek-arek nonton ludruk,” kataku minta ijin ke ibuku.
“Ya, tapi jangan malam-malam pulangnya!” jawab ibuku setengah mengijinkanku.

Kira-kira pukul delapan malam kami berangkat berjalan kaki ke lapangan. Jaraknya kira-kira tiga km. Cukup jauh kan? Bagi orang desa itu tidak jauh. Apalagi kalau jalannya ramai-ramai atau banyak temannya, tentu tidak terasa capek. Di perjalanan pedagang-pedagang keliling masih ada yang berpacu dengan waktu untuk menggelar dagangannya di lapangan. Mungkin mereka baru tahu jika ada ludruk. Tapi aku yakin di sekitar lapangan juga sudah penuh pedagang.

“Ayo mbobol, cari jalan pintas,” ajak Mul.
“Lewat mana?” tanyaku pura-pura tak tahu.
“Tengah sawah,” jawabnya sambil terus berjalan. Sesekali lampu senternya disorotkan ke jalan.
“Waduh, gelap sekali. Beranikah?” ujar Kusno.
“Memangnya ada apa?”
“Katanya pohon di tengah sawah tebu itu ada hantunya?” kataku.
“Aku gak takut hantu. Hantu itu gak ada,” jawab Mul tegas. Kami terdiam. Hanya langkah-langkah kami yang bersandal japit terdengar menggesek jalan tanah. Tanpa minta persetujuan lagi Mul memimpin belok ke jalan pintas ke lapangan. Orang-orang di depanku semakin menjauh dan tak terlihat.

“Nyalakan obormu!” kata Mul. Dua orang temanku yang membawa obor segera menyalakannya. Kami berjalan beriringan. Yang paling depan Mul dengan membawa obor dari bambu. Nyala api obor meliuk-liuk ditiup angin. Bau sangit dari minyak tanah yang terbakar pada sumbu obor menyengat hidung.
Di areal kebun tebu yang baru beberapa bulan ditanami, tebu masih setinggi lutut. Langit berbintang di atas kami. Dari jauh sorot lampu keramaian panggung ludruk sudah kelihatan. Tapi suara tabuhan gamelan masih sayup terdengar. Kami terus berjalan.

Tiba-tiba api diobor yang kami bawa padam seperti ditiup angin kencang.
“Nyalakan senter,” kata Mul.
“Gak bisa,” kataku.
“Sini,” kata Mul sambil meraba-raba senter karena gelap. Di tangan Mul lampu senter itu pun tak mau nyala padahal sebelumnya bisa dan tidak rusak.
“Korek apinya mana? Cepat nyalakan obornya!” suruh Mul.

Aku merasa ada sesuatu yang salah. Bulu kudukku berdiri. Ini pertanda di sekitarku adalah hantu yang sedang menakut-nakuti kami atau mau menampakkan diri. Aku merasa was-was. Kata orang saat hantu menakut-nakuti, tidak semua bisa melihatnya. Hanya yang di-wedheni yang bisa melihatnya. Dan tampaknya aku yang diwedheni itu.

Kulihat pohon beringin di tengah sawah itu menjadi dua. Tapi satunya berwujud sesosok hitam yang besar setinggi pohon beringin itu. Matanya merah menyala sebesar roda mobil. Sialnya, dia bergerak mendekat ke kami. Bunyi tanaman tebu yang tersibak kakinya kudengar dengar jelas. Aku membaca ayat kursi berulang-ulang seperti yang diajarkan guru ngajiku.

“Kenapa kamu ngaji?” tanya Mul.
“Ada hantu,” jawabku pelan biar tak terdengar yang lain.
“Hantuu…” tiba-tiba keempat temanku berteriak ketakutan sambil berlari semburat. Mereka berlari ke arah panggung ludruk yang terlihat dari tengah kebun tebu ini.

Dengan nafas terengah-engah akhirnya kami sampai di lapangan. Ludruk sudah dimulai. Tak tahu lakonnya kulihat di panggung ada pocong, genderewo, dan hantu-hantu lainnya yang mukanya jelek. Aku tidak tertarik dengan lakon hantu-hantuan itu. Kurebahkan tubuhku di tanah lapang seperti keempat temanku yang nonton sambil tiduran beralaskan rumput lapangan. Aku tertidur. Mungkin juga teman-temanku.

“Bangun, bangun,” kata Abah Syam sambil menggerak-gerakkan kakiku. Guru ngajiku itu kebetulan sedang ke sawahnya yang berdekatan dengan kebun tebu itu dan mengetahui kami tidur di bawah pohon beringin itu.
“Kenapa tidur di sini?” tanya Abah Syam.
“Astaghfirlohaladim…” ucapku kaget. Ternyata kami berlima tidur di bawah pohon beringin di tengah kebun tebu itu. Dan panggung ludruk itu tak ada.
Padahal tadi malam rasanya kami nonton tak begitu jauh dari panggung ludruk itu.
Kami pun bergegas pulang dengan sisa-sisa rasa takut yang masih ada. Semua berjalan ke rumah masing-masing dengan diam.

“Kok baru pulang?” kata ibuku.
“Ceritanya panjang Bu,” jawabku sambil bergegas ke kamar mandi. Ibuku cuma geleng-geleng kepala. Dalam hati aku membenarkan kata-kata ibuku yang sebenarnya melarangku pergi tadi malam.

Comments

Popular posts from this blog

Ngeri, ada potongan kaki di tumpukan kayu jati untuk bahan bakar lokomotif kereta api kuna

Cerita misteri kelereng pembawa keberuntungan 3, hanya tiga tahun sudah menjadi orang kaya

Penyesalan Ayah