Kejadian di Hutan
Namanya Agung, anak laki-laki yang tinggal di sebuah desa yang dikenal dengan sebutan desa keramat. Tinggal hanya bersama neneknya saja, dengan kondisi yang sudah tua renta. Hidupnya bertopang dengan hasil hutan di sekitarnya, mencari kayu lalu dijual.
Desanya dekat hutan, dan masyarakat disana percaya akan adanya sosok penunggu hutan yang dikenal kejam. Malam Jum’at dipenuhi sesajen di pinggir-pinggir jalan menuju hutan. Ada juga hewan ternak sebagai persembahan.
Kondisi yang sepertinya biasa bagi Agung, dia tidak takut masuk ke dalam hutan, walaupun warga lainnya merasa merinding mendengar nama hutan itu saja. Kalau dia tidak mencari kayu, bagaimana dia akan hidup dan makan setiap harinya.
Seperti hari ini, dia akan berangkat ke hutan membawa sebilah kapak untuk memotong kayu-kayu keras dan besar.
“Aguung..!” panggil Jaka padanya, dan langsung menyusul Agung berjalan
“Eh, Jaka. Kamu mau ikut lagi ke hutan?”
“Iya, aku juga mau cari bunga yang katanya langka. Dan karena langka kalau dijual harganya bisa mahal.”
“Bunga langka?! Jangan bilang itu tumbuhan yang dikeramatkan juga.”
“Tapi nenekku gak pernah cerita apapun soal bunga itu, aku saja baru tahu dari orang lain.”
Nenek Jaka adalah tetua kampung di desa ini. Dukun yang sudah dikenal hingga ke desa seberang.
“Ya sudah kalau gitu, tapi nanti hati-hati.”
Mereka berdua berangkat ke hutan dengan penuh harapan tentunya, Agung yang berharap menemukan banyak kayu dan Jaka yang ingin menemukan bunga itu.
Di sepanjang jalan mereka berbicara dan bergurau, tanpa merasa ada hal yang aneh muncul. Hingga dari samping mereka ada orang tua yang lewat berpakaian seperti orang jaman dulu. Wanita tua yang berselendang sambil membawa sesaji di nampan, mulutnya juga sedang mengunyah bunga melati. Tiba-tiba wanita tua itu berkata,
“Jangan terus bergurau di tepi jalan, jaga ucapan kalian nanti di hutan! Ini daerah keramat!”
Jaka dan Agung langsung diam dan saling bertatapan, mereka bingung sekaligus terkejut.
“Tapi kami tidak berbicara kasar Nyai, kami hanya bergurau biasa saja.” Agung menjawab
“Jangan sampai lupa nanti di dalam hutan, jaga sikap kalian.” Wanita tua itu lalu pergi menaruh sesajen di pinggir jalan tadi. Dia bukan warga desa ini, tapi entahlah dari desa mana.
Jaka dan Agung melanjutkan perjalanan mereka, sebelum masuk ke dalam hutan mereka bertemu hal mengejutkan lagi. Kakek tua renta yang entah darimana arahnya, memakai baju seperti dukun, sambil bernyanyi gending jawa.
“Dua anak muda, mau cari apa kalian?”
“Kayu, untuk jual biar saya dapat uang untuk makan sehari-hari.”
“Tujuan teman sampingmu itu apa?”
“Saya mau cari bunga Kek, yang katanya langka itu.”
“Oh, begitu. Kalian cukup hati-hati, setiap barang pasti ada penunggunya.” Kakek itu diam sejenak dan seperti mengambil sesuatu, lalu dia berkata lagi, “Ini jimat untuk menambah perlindungan.”
“Tapi ini punya Kakek, kenapa memberikannya secara gratis pada kami?” Agung bertanya-tanya karena merasa keheranan
“Sudah bawa saja, hati-hati.”
“Terima kasih Kek,” mereka berdua serentak mengucapkan, setelah itu kakek tua pergi.
Baru disadari kalau ada bungkusan jatuh, yang mungkin bungkusan itu milik kakek tua tadi. Jaka mengambilnya dan ingin mengembalikannya. Ketika dia menengok kebelakang kak itu sudah tidak ada, “Bukannya kakek tadi jalan ke arah belakang kita?!”
“Mungkin kakek itu berubah arah, jangan berpikir macam-macam, keburu sore nanti ayo masuk ke hutan!”
Jaka dan Agung langsung masuk ke dalam hutan, Agung langsung mencari kayu yang sekiranya masih kering. Jaka masih membantu Agung mencari kayu juga, dia belum terpikir tentang bunga langka itu.
Sepertinya hari ini tidak terlalu beruntung, masih banyak kayu yang basah, karena memang kehujanan. Tapi setidaknya ada beberapa yang bisa dibawa pulang untuk masak hari ini.
“Eh, Jaka ayo kita ke sana,” Ajak Jaka sambil menunjuk ke arah hutan yang sisinya paling gelap.
“Ah kamu ada-ada aja, di sana pasti ada binatang buasnya.”
“Binatang buas, penunggu hutan atau apapun itu, gak usah peduli. Yang penting cari bung langka.”
“Itu kamu, bukan aku. Aku ya cari kayu,”
“Ayolah Gung, tanggung udah sampai sini.” Jaka tetap berusaha mengajak Agung
“Ya udah deh, tapi cari sendiri ya.”
“Iya, iya.”
Agung dan Jaka benar-benar berjalan ke arah hutan yang paling gelap, dari kejauhan saja sudah terlihat beda suasananya. Jaka mencari bunga langka yang dimaksud dengan membabat sejumlah tanaman, tapi dia tetap belum mendapat bunganya.
“Jaka, jangan gitulah. Masa semua tanaman kamu babat. Merusak itu namanya,”
“Gak ketemu, apa kurang jauh ya?”
“Jangan ngarang kamu, disana udah jurang.”
Tiba-tiba datang angin yang sangat kencang, Agung dan Jaka mulai panik.
“Anginnya kencang, kita harus pulang ke rumah Jak. Bahaya ini,”
“Ah, kenapa….” Belum selesai Jaka berbicara, dia tiba-tiba jatuh dan badannya terseret seperti diseret sesuatu. Agung tambah panik dengan keadaan itu, dia berusaha mengejar Jaka.
“Tolong, Gung.” Teriak Jaka
Hingga akhirnya Jaka berhenti, badannya penuh luka terkena batu-batu yang ada di tanah. Dia lalu langsung berdiri dan Agung menghampirinya.
“Bahaya Jaka, ayo kita pulang.”
“PULANG KALIAN BILANG?!” Tiba-tiba ada suara itu, dan menggema di hutan belantara.
“Masuk ke daerah keramat dan merusak!”
“Tapi kami tidak berkata kotor, ini hutan, orang bebas mengambil apapun disini.” Ucap Jaka
“Sepertinya sudah lama tidak ada mangsa di hutan ini. Biar kalian pulang dengan sisa tulang-belulang saja. HAHAHAHA.” Suaranya seperti perempuan tua yang menggema, melontarkan ancaman bagi mereka berdua. Tapi wujudnya belum terlihat sejak tadi.
“Apa maksudmu? Tolong lepaskan kami, keluarga kami akan sedih nanti.” Jawab Agung
“Itu keluargamu! Bukan Keluargaku!” Perempuan tua itu menampakkan wujudnya, selendang yang ada di lehernya dan terbang melayang di atas sana. Permpuan tua bersayap hitam, dari wajahnya sudah terlihat kalau dia kejam, sorot matanya seperti penuh dendam.
“Dia mirip nenek tua tadi kan?” Bisik Jaka pada Agung,
“Iya, dia sudah memberi peringatan pada kita. Mungkin dia yang warga maksud, penjaga hutan ini.”
“Percuma bisik-bisik! Bau darah segar dari manusia yang penuh luka! Para siluman hewan datanglah kemari! ada mangsa baru yang bisa kalian santap.”
Jaka dan Agung panik sekaligus ketakutan, suara-suara binatang buas mulai muncul. Suara yang meraung-raung seperti kelaparan.
“Itu suara singa, macan, harimau, atau serigala? Jangan bilang semua binatang tadi? Aku takut Gung, tubuhku semakin dingin.” Wajah Jaka memucat seketika
“Tenang Jaka. Tapi sejujurnya aku juga takut, binatang buas mulai kelihatan. Bisa habis kita dimakan,”
“Hanya tinggal nama dan tulang saja, yang belum tentu juga bisa ditemukan.” Perempuan tua tertawa puas melihat mereka berdua ketakutan. Sementara binatang-binatang buas mulai mendekat. Hanya sedikit lagi binatang buas itu bisa melukai. Harimau mulai loncat ke arah mereka berdua,
“Aaaaaa…..” Teriak Agung dan Jaka
Tapi ternyata harimau itu seperti terlempar, mereka seperti terlindungi oleh sesuatu. Saat itu juga, datanglah angin lebat lagi. Muncul sosok laki-laki yang membawa tongkat,
“Kenapa kau datang?! Apa maksudmu ikut campur?!” Teriak lagi perempuan tua itu.
“Ikut campur?! Ini wilayahku, bukan wilayahmu. Kau hanya merebut dan menjaga dengan tidak benar!” Jawab laki-laki itu
“Mana jimat kalian, berikan kepadaku.” Agung ingat kalau mereka diberi jimat oleh kakek-kakek tua tadi. Tanpa berpikir panjang Agung langsung memberikan jimatnya.
Laki-laki itu seperti membacakan mantra pada jimat yang diberikan tadi, dan melemparkan ke arah siluman perempuan tua.
“Ah, apa ini! Curang! Tidak-tidak!” Perempuan tua meraung kesakitan, perlahan-lahan wujudnya hancur dan hilang. Termasuk binatang-binatang buas tadi. Ajaibnya luka Jaka juga ikut hilang dan sembuh seketika.
“Anak-anak yang malang, pasti kalian berdua ketakutan.” Laki-laki itu khawatir terhadap Agung dan Jaka
“Terima kasih sudah menolong kami, tapi paman datang dari mana?”
“Tidak perlu tahu datang dari mana. Sebaiknya kalian cepat pulang setelah ini, hari semakin sore. Tapi sebelum itu, kuberi kalian ini.”
“Dua kantung koin emas?!” Agung terkejut
“Jangan paman, kami tidak mau terkena masalah lagi,” Jaka berkata seperti itu
“Jangan khawatir, bawalah ini. Aku sungguh-sungguh.”
“Baiklah, terima kasih lagi paman. Ayo Agung kita pulang,” Ajak Jaka pada Agung, kebetulan memang Jaka yang paling ketakutan.
Mereka berdua langsung keluar dari hutan hingga Agung lupa membawa kapaknya. Sesampainya di luar hutan, mereka merasa lega.
“Akhirnya kita bisa keluar juga,”
“Untung saja bisa selamat, kalau tidak sudah habis kita.”
“Jangan bicara sembarangan Gung, ingat ini hutan.”
“Iya-iya Jaka, paman tadi memberi kita koin emas sebanyak ini dan juga sudah menyelamatkan kita.”
Mereka berdua sangat bersyukur, tidak terbayang kalau mereka benar-benar menjadi santapan binatang buas. Dan akhirnya Agung dan Jaka bisa pulang dengan selamat hingga ke rumah mereka masing-masing.
Comments
Post a Comment