Kesalahan Terbesar
Bergeming seraya menatap butiran butiran pasir yang semakin meluruh kebawah. Deburan ombak menyisir pantai. Semilir angin semakin menyapu helai helai rambut. Langit berjelaga nampak indah dengan senja miliknya. Aku menapaki bibir pasir pantai seorang diri.
Perasaan yang memudar membiarkan hati perlahan terkikis. Tawa mengiris dengan tiap tangis. Menghiasi luka yang tidak pernah kering.
Sakit sudah pasti. Terlihat dari tatapan mata indah itu. Sendu, sayu. Satu tak lepas dari bibir, yaitu senyummu. Mengapa? Mengapa? Ini curang. Pihak satu mencoba menutupi luka sedangkan pihak yang lain begitu tak mengerti. Sedih pun menjelma. Tak ada yang tahu menahu.
Diam memang lebih baik. Sesak pun semakin merebak. Tak pelak air mata pun datang mengiringi. Hadir dalam tiap luka yang menggores semakin dalam. Aku tahu, aku tahu. Itu sakit. Biarkanlah. Biarkanlah sakit itu terobati dengan sendirinya. Tidak ada konsep patah hati. Hati tak bisa patah. Sebenarnya, hati adalah organ lunak yang memiliki tugas menetralisir racun. Dan jika cinta itu adalah cinta orang yang salah, maka hati bertugas menghapuskannya. Cinta yang salah, racun.
Aku salah. Salah menilaimu. Harusnya aku mendengarkan ucapan kalian semua. Iya, seharusnya aku tak membangkang. Karena … disini arwahku berdiri. Menatap ragaku yang tengah meringkuk dengan kondisi wajah membiru serta busa keluar dari mulut. Di pantai. Dibawah senja. Ditertawakan alam. Dihina angin. Diremehkan laut. Hanya karena membela cinta yang ‘salah’. Aku, menatapmu dari kejauhan. Kau pun menatapku pula. Pandangan mata kita terkunci selama sepersekian detik. Sebelum, seseorang menghunuskan sebilah pisau itu dari belakang. Menembus jantungmu. Tertawa, aku bisa tertawa sepuas yang kumau. Dengan deraian air mata khas makhluk tak kasat mata.
Aku, mengucap selamat tinggal. Membiarkan angin membawaku pergi entah kemana.
Comments
Post a Comment