Ang Ni
Anak di pangkuannya kembali terbangun lalu menangis. Dadanya bergemuruh. Seandainya dada itu bisa mengeluarkan air susu.
“Ang Ni!”
Kapal tongkang membawanya terbang lalu mengurungnya di antara dua gelombang! Namun, ia mencoba tenang. Ia bergeming di haluan dan mengabaikan panggilan semua orang.
“Matilah! Susullah suamimu ke kerak neraka!”
Ang Ni menoleh, lantas memelototi lelaki tua yang masih memegang roda kemudi. Ia membenci lelaki itu seperti ia membenci suaminya yang tak sabar menunggu mati. Tak lama, ia mengembalikan pandangan pada Kie Ong Ya yang terus menangis. Usai menarik napas, ia memejamkan mata seraya mengumpulkan rasa bencinya pada semua orang, lantas mendorong tubuh kecil itu ke mulut gelombang.
“Kau gila, Ang Ni! Kau gila!”
Ang Ni kembali menoleh pada lelaki tua yang terus berteriak di balik kemudi. Ia membenci lelaki itu seperti ia membenci orang-orang putus asa yang akhirnya melompat dari kapal tongkang. Menurutnya, kapal itu akan tetap karam.
“Ang Ni!”
Ia mulai berdiri. Ia ingin menyusul lelaki tua, ingin menamparnya. Namun, tongkang menabrak gelombang!
*
Ang Ni tak kuasa membedakannya. Air di laut atau air yang mulai berjatuhan dari langit. Air berebut masuk menusuk lambungnya. Di pusaran gelombang, ia menggapai-gapai mencari pegangan. Namun, tangannya tak meraih apa pun. Matanya memandangi malam, lalu melihat kilat yang menyinari sepotong tangan lalu kembali kelam.
‘Kita sudah di tongkang ini berhari-hari.’
Ang Ni kembali mendengar suara itu. Saat membuka mata, wajah Tai Su Ong berjarak satu kecupan dari bibirnya. Ia ingin menciumnya, ingin menghapus raut sedih dari wajah lelaki yang putus asa.
‘Bekal sudah habis dan ….’ Tai Su Ong menghilang.
“Bahkan untuk Kie Ong Ya?” Ang Ni mengigau.
Ang Ni tak pernah tahu; berapa lama ia di laut dan berapa lama ia terkapar di rumah tongkang. Kadang, ia merasakan sepotong tangan yang menangkup pada dahinya. Namun, suara-suara itu terus terngiang.
‘Kita tak bisa hidup dengan air hujan!’
“Setidaknya untuk bertahan sampai daratan.”
Ia melihat Tai Su Ong yang tertawa.
“Lelaki tua itu akan menemukannya. Dia—”
‘Tidak! Dia tak akan menemukannya. Kita akan kelaparan lalu mati di atas tongkang.’
Ang Ni pun tak pernah tahu; berapa mil laut di belakang yang telah mereka tinggalkan dan berapa mil laut di depan yang mesti ditempuh untuk sampai ke daratan. Ia masih terkapar di rumah tongkang, tak bisa membedakan suara nyata dan suara yang tak nyata.
“Berapa mil lagi?”
“Tenanglah. Kita akan sampai ke daratan.”
Ang Ni memejamkan mata lalu kembali membukanya. Ia memandangi langit-langit berdebu seraya mendengar lelaki tua dan istrinya yang paruh baya. Seingatnya, bersama enam belas orang lainnya, suami-istri itu sepakat meninggalkan tanah leluhur demi mencari daratan tak bertuan.
Barangkali, ia telah berbulan-bulan di atas tongkang; berpekan-pekan tanpa makan; berhari-hari meminum air hujan. Ang Ni tak lagi bisa memastikannya. Seingatnya, Tai Su Ong telah tiada. Satu demi satu, orang-orang yang berlayar bersamanya putus asa. Kie Ong Ya pun telah tenggelam di laut yang sama.
“Berapa mil lagi?”
“Beberapa mil lagi.”
“Seratus mil, seribu mil, atau kita memang tak akan pernah tiba di daratan?”
“Mungkin hanya sepuluh mil lagi.”
“Kau jangan mengarang cerita!”
“Aku mengarang cerita agar kau tak banyak bicara!”
Ang Ni mendengar suara telapak kaki yang menjauh dari kemudi. Ia mencoba bangkit. Akan tetapi, tubuhnya seperti tertimpa Kie Ong Ya, Tai Su Ong, dan mayat-mayat lain yang putus asa. Ia mencari pegangan, menarik tubuhnya sekuat tenaga. Namun, tubuh itu tak kunjung bergerak. Sejenak, ia menarik napas, lantas memejamkan matanya lebih lama.
*
Laut itu tanpa ujung. Selama berpekan-pekan, ia hanya melihat air yang biru dan langit berwarna biru. Ia merasa, dirinya sedang berada di antara dua langit atau diapit dua lautan. Ia ingin melihat barisan bakau di kejauhan, pohon kelapa di tepi pantai, atau apa pun yang berwarna hijau. Namun, Ang Ni justru mendengar langkah kaki yang tergesa-gesa menuju ruang kemudi.
“Kau memutar haluan?”
“Tidurlah. Akan kubangunkan kau di Fujian.”
Ang Ni mendengar tamparan.
“Aku lebih baik tenggelam daripada kembali pulang!”
“Dua tongkang sudah tenggelam! Orang-orang sudah tenggelam! Kalaupun kita tiba di tanah baru tak bertuan, di sana hanya ada kita: sepasang orang tua dan janda muda yang putus asa!”
Ang Ni kembali mendengar suara tamparan.
“Sekali layar terkembang, surut kita berpantang!”
*
Pada tengah malam, Ang Ni merasakan sesuatu yang hinggap lalu menjalar pada hidungnya. Ketika membuka mata, perempuan itu melihat cahaya. Ang Ni menyentuh hidungnya dan cahaya itu seketika pindah, berkedip-kedip di sela jarinya. Ia menyipitkan mata, ingin memastikannya saat kunang-kunang itu mengepakkan sayap lantas terbang.
Ang Ni seketika bangkit dan melihatnya di dinding magun. Ketika ia melangkah, kunang-kunang itu kembali terbang, lantas menghilang. Dari magun, ia tergesa-gesa menuju bak tongkang. Tapi ia hanya menemukan tali dan jangkar usang. Ia pun bergegas keluar lalu menunduk ke lambung kapal. Barangkali, binatang itu mencoba sembunyi dari kejarannya. Namun, dugaannya salah belaka. Ia pun mulai berjalan dari haluan ke buritan, lalu memandangi geladak kapal dengan teliti. Bahkan, ia rela masuk ke anjungan kapal dan membiarkan lelaki tua memandang belahan dadanya yang menganga.
“Hujan tak akan turun.”
Ia menoleh, lalu mendapati sepotong tangan yang menggenggam segelas air. Di tangan itu, Ang Ni menemukan cahaya yang ia cari. Akan tetapi, ingatan membawanya kembali pada cahaya kilat yang menyinari sepotong tangan.
“Itu si api-api!”
Ang Ni mendengar teriakannya dan menoleh sejenak pada lelaki tua yang ia benci, lalu mengalih pandangan ke arah depan. Di sana, sekumpulan kunang-kunang sedang beterbangan menerangi jalan. Lelaki tua memutar kemudi, mengikuti kunang-kunang dan menjadikannya sebagai pedoman.
“Percayalah, Ang Ni. Kita akan sampai ke daratan!”
Ang Ni menelan ludah. Ia kembali menaruh harapan pada lelaki tua yang ia benci. Ia mulai membayangkan pasir, tanah yang basah, rumput-rumput liar dan hutan belantara. Namun, kunang-kunang memecah barisan, lantas berangsur hilang.
Ang Ni menjatuhkan tubuhnya di geladak tongkang. Ia ingin melupakan kunang-kunang yang terbang dan daratan tak bertuan. Ia ingin tidur lalu terbangun di tempat berbeda. Tapi tak lama, ia mendengar dengkuran. Saat menoleh ke sisi kiri, ia mendapati mulut lelaki tua yang terbuka. Ia membenci mulut itu, seperti ia membenci lelaki tua yang tak kunjung membawanya ke daratan.
Ang Ni bermenung sejenak, lantas memiringkan tubuh lalu bangkit. Sesaat bersimpuh, ia melihat perempuan paruh baya yang telah rebah dengan segelas air yang sudah tumpah. Ia memegang tenggorokan, dan di saat itulah ia menyadari bahwa kapal tongkang sedang berlayar tanpa tujuan.
*
Pagi belum sepenuhnya datang ketika ia membuka mata dan melihat daratan tak bertuan. Di antara hutan bakau, cahaya api beterbangan. Ang Ni terpana. Matanya yang sipit seketika membesar ketika melihat kunang-kunang yang seperti kumpulan bintang-bintang.
“Itu daratan! Itulah daratan! Bagan tak bertuan yang dihiasi si api-api!”
Ang Ni mengabaikan seruan lelaki tua. Pandangannya lurus ke depan. Samar-samar, ia melihat pohon-pohon di kejauhan dan hutan yang begitu luas. Ang Ni alangkah gembira. Namun, kegembiraan itu tak berlangsung lama.
*
Laut itu berujung tanah tak bertuan, sebuah daratan yang kemudian dinamai Bagansiapiapi. Di sana, ia akan memulai cerita baru. Namun, ia hanya janda muda di antara pasangan tua dan betapa itu sia-sia! Bagaimana mungkin ia mesti berbagi suara dengan lelaki tua yang ia benci. Ia ingin pulang. Ia ingin meninggalkan daratan yang penuh kesia-siaan.
“Ada ikan-ikan yang memberimu makan dan si api-api yang menerangi jalan.”
Ang Ni menoleh, lantas mendapati perempuan paruh baya yang datang membawakan ikan. Saat menengadah, Ang Ni melihat wajahnya di kedua bola mata yang memandangnya dengan iba.
“Kau bisa bertahan atau mencari jalan pulang.”
“Maukah kau mengantarku pulang?”
Perempuan paruh baya memeluk Ang Ni, lantas melayangkan pandangannya ke arah kapal tongkang. Di sana, di atas kapal tongkang, lelaki tua sedang menumpuk daun-daun kering dan mulai menyalakan api. Ia membakar tongkang, membakar jalan untuk pulang. (*)
—
Catatan: Cerita kedatangan rombongan Tionghoa ke sebuah daratan tak bertuan dengan menggunakan kapal tongkang di dalam cerita ini hanyalah versi penulis. Menurut cerita masyarakat setempat secara turun-temurun, kedatangan etnis Tionghoa erat kaitannya dengan asal-usul nama Bagansiapiapi dan Tradisi Bakar Tongkang.
Comments
Post a Comment