Gandasturi
Gandasturi baru mengalami haid pertama, tetapi ia segan memberi tahu keluarganya perihal kondisi yang ia alami. Maka Gandasturi, yang berusia sebelas tahun, mengajak Wiwin, adik tirinya, bolos mengaji.
“Kamu juga bakal ngalamin, nanti, diawali dengan rasa sakit di perut, lelah lalu akan muncul darah merah cerah,” kata Gandasturi pada Wiwin setelah mereka melangkah agak jauh dari rumah.
“Laki-laki juga ngalamin, Teh?” tanya Wiwin, yang berjalan di samping
Gandasturi sambil mendekap mukena dan sajadah di dada.
“Tidak, cuma perempuan yang bisa datang bulan.”
“Kenapa cuma perempuan?”
“Karena perempuan dan laki-laki berbeda,” ujar Gandasturi yang merasa sakit kepala sejak tiga hari lalu.
“Nanti tanya pada gurumu di SMP,” kata Gandasturi sebelum Wiwin bertanya kenapa laki-laki dan perempuan berbeda.
“Mengapa laki-laki dan perempuan tidak sama?”
“Kamu masih kelas tiga SD. Nanti saja bertanya kalau sudah SMP. Kamu mau ‘kan masuk SMP,” Wiwin, seraya membetulkan posisi kerudung, mengangguk.
Ini malam ketiga Gandasturi mengajak Wiwin bolos dari tempat mengaji. Membelah remang lampu-lampu halaman, keduanya berjalan ke arah rel kereta api kemudian akan duduk di sana hingga usai azan isya, di bawah langit malam, di atas runcing kerikil rel.
“Kalau terus jalan menyusur rel ini, kita akan tiba di Bogor. Teteh pernah ikut almarhumah ibu Teteh bekerja di Bogor, tinggal di rumah majikan beliau.”
Buku cerita rakyat dengan dominan ilustrasi warna-warni masih tersimpan di kamar tidurnya sebagai ingatan Gandasturi tentang almarhumah sang ibu. Setelah bapak Gandasturi kembali menikah, ibu Gandasturi bekerja sebagai asisten rumah tangga, membawa Gandasturi yang berusia enam tahun. Buku-buku cerita bergambar itu adalah hadiah tiap kali ibu Gandasturi membeli susu formula yang dibeli di pasar swalayan. Majikan ibu Gandasturi berbaik hati memberikan semua buku tersebut pada Gandasturi, meski ia belum bisa membaca.
“Harusnya kamu sudah masuk sekolah,” kata ibunya Gandasturi, suatu hari saat melihat Gandasturi membolak-balik halaman buku cerita rakyat, tampak menikmati berbagai ilustrasi di dalamnya.
“Tiga hari kemudian Ibu mengantarkan Teteh ke Sukabumi, ke sini, ke rumahmu. Lalu ibu pergi, tidak, ibu tidak kembali ke tempat kerja, ibu sakit, beliau dirawat di rumah nenek hingga beliau meninggal dunia. Kata nenek, ibu sakit asma, juga sakit hati, perasaannya sakit,” kata Gandasturi lalu bertanya apakah Wiwin masih ingat salah satu buku cerita yang berjudul Kilip dan Putri Bulan. “Itu salah satu buku yang ditinggalkan almarhumah ibu,” lanjut Gandasturi.
“Teteh masih ingat, waktu itu kami terlambat datang ke stasiun kereta, hingga almarhumah ibu Teteh memutuskan naik bus kota, bus ekonomi dengan penumpang yang penuh sesak. Teteh mabuk perjalanan. Dari balik kantong plastik, Teteh bisa mendengar ibu bicara, katanya kalau Teteh kembali ke Bogor, kembalilah sebagai sosok terhormat.”
“Teteh …” bisik Wiwin. Gandasturi menengok ke arahnya. “Di Jakarta lagi ramai berita kerusuhan.”
“Ya, repormasi, harga makanan pun jadi naik berkali-kali lipat.” “Teh, besok masih akan bolos ngaji?”
“Kata teman Teteh, haid itu bisa tiga sampai delapan hari.”
“Besok Wiwin mau nginep di rumah Rosidah, janji mau nonton kartun dan lari pagi ke Lapang Merdeka,” ucap Wiwin, mengingatkan Gandasturi kalau besok adalah hari Sabtu.
Keesokan harinya, Gandasturi dan Wiwin tidak lagi bolos mengaji, bukan karena Wiwin akan menginap di rumah temannya, tetapi kedua orang tua mereka telah mengetahui mengenai haid pertama Gandasturi ketika guru mengaji Gandasturi dan Wiwin berkunjung ke rumah dan bertanya mengapa keduanya tidak hadir ke pengajian. Saat itulah Gandasturi menyampaikan alasan sebenarnya.
“Di dapur sudah ada daun pandan, tepung beras, vanili, santan, dan rebusan kacang hijau. Haluskan bahan-bahannya lalu masukkan gula pasir dan garam. Pastikan rasanya manis dan gurih, kalau enak ‘kan siapa tahu bisa kita jual,” kata Yeyet, ibu tiri Gandasturi. “Ibu mau ke pasar dulu, kalau kuenya sudah matang, langsung simpan di dalam lemari. Banyak tikus, kemarin tepung terigu buat jualan sampai berceceran karena plastiknya digigit tikus,” kata Yeyet, yang membuka usaha warung kecil-kecilan di rumah.
Ini hari keempat Gandasturi mengalami haid. Ia tidak lagi menyembunyikan hal tersebut. Meski demikian, Gandasturi masih merasa ada banyak kondisi yang tidak bisa ia ungkapkan langsung pada siapa pun, termasuk keluarganya.
“Kurang dari lima bulan aku akan lulus SD,” bisik Gandasturi pada dirinya sendiri. Ia tidak yakin bahwa orang tuanya akan menyekolahkan dirinya ke SMP. Pilihannya adalah kembali ke tanah kelahiran sang ibu, di rumah neneknya di Bogor, atau bekerja seperti almarhumah ibunya, seperti banyak remaja seusianya di desa.
Penganan yang tengah Gandasturi buat rencananya akan dibawa Wiwin sebagai bekal menginap di rumah Rosidah. Gandasturi sudah terbiasa menggoreng penganan buat dijual kembali, tetapi membuat kue berbentuk bundar pipih dengan bahan kacang hijau itu baru pertama kali baginya. Nama makanan kecil itu gandasturi, sama seperti namanya. Yeyet bilang, kebetulan banyak sisa kacang hijau di warung, sayang kalau tidak dimanfaatkan.
Maka pada malam harinya, setelah Wiwin pulang mengaji, Gandasturi memberikan sepiring penuh kue gandasturi yang tadi Gandasturi bikin.
“Lumayan banyak, bisa diberikan pada orang tua Rosidah juga,” kata Gandasturi, yang malam ini tidak pergi mengaji.
“Teteh mau ikut lari pagi ke Lapang Merdeka besok?” tanya Wiwin, Gandasturi menjawab, jika Wiwin mau menjemput tentu dirinya bersedia ikut. Selepas itu Gandasturi masuk ke kamar tidur, mengunci diri.
Di depan cermin ia kembali berbisik pada diri sendiri, bahwa ia berbeda dengan kebanyakan remaja di kampungnya. Gandasturi merasa kulitnya cerah putih, ia memiliki wajah oval dengan tulang pipi dan garis rahang yang tegas, alisnya terlalu tebal dan menonjol dibandingkan alis Wiwin, serta bola mata yang besar menyebabkan ia mirip gadis Timur Tengah.
Di kamarnya, Gandasturi membuka kembali lembar-lembar buku cerita peninggalan almarhumah sang ibu. Ia membayangkan dirinya adalah Putri Bulan yang tengah menanti Kilip. Awal bulan Safar, Gandasturi tidak tahu apakah bulan telah muncul di langit malam.
“Teh, Teteh …,” suara Wiwin, disusul ketukan di pintu kamar. Belum ada satu jam Wiwin ke luar rumah, Gandasturi pikir ada yang tertinggal, karena mana mungkin sekarang Wiwin menjemputnya untuk lari pagi. Setelah membuka pintu kamar, ia kaget Wiwin tengah berdiri dengan piring berisi kue gandasturi di telapak tangannya.
“Malam ini Wiwin nginap di kamar Teteh saja,” kata Wiwin.
Besok paginya, sebelum azan subuh terdengar, Wiwin berkata bahwa ia mendengar perkataan orang tua Rosidah saat ia hendak menonton film kartun, bahwa mereka tidak mau memakan kue gandasturi yang dibuat Gandasturi. Bahwa Gandasturi anak dari hubungan gelap almarhumah ibu Gandasturi ketika almarhumah bekerja sebagai tenaga kerja di Saudi Arabia.
“Wiwin ambil lagi saja gandasturi itu lalu pulang,” kata Wiwin, terisak. “Teh, kenapa orang-orang selalu ingin tahu urusan orang lain…”
“Wiwin, akan Teteh hangatkan gandasturinya sekarang. Rasanya manis,” jawab Gandasturi.
Comments
Post a Comment