Logam Hitam

 

Sudah satu bulan sejak Bos Lali memerintahkanku untuk menjadi mata-mata Jalu, pencuri itu, di desa yang tak begitu banyak penghuni ini.

“Target kau nanti adalah seorang pria berusia tiga puluh tahunan, dia mengaku bekerja menjadi petani. Tapi entahlah, coba kau cari tahu sendiri.” Titah Bos Lali sebelum mengirimku pergi.

Saat pertama menginjakkan kaki di desa ini, aku berpura-pura menjadi seseorang yang gagal hidup di kota. Menjadi luntang-lantung, berbaju kumuh, dengan alas kaki sandal jepit berwarna merah menyala.

“Oalah, iya, silakan saja kalau memang bapak ingin tinggal di desa ini. Kalau soal bertani, nanti saya antarkan ke rumah Kepala Tani. Dia yang biasa membagi tugas para petani di sini,” kata Kepala Desa, setelah aku mencoba menceritakan secara dramatis tentang alasanku datang ke desa ini.

Beruntung! Aku sungguh beruntung. Betapa senangnya aku, tak perlu lama-lama mencari, aku langsung bertemu target yang dicari. Kepala Tani yang dimaksud itu adalah Jalu, pria yang menjadi alasanku ke sini. Lebih beruntungnya, dia memperbolehkanku untuk tinggal di rumahnya. Dirinya belum berkeluarga, hanya sebatang kara di rumah sederhana.

Bos Lali sebenarnya tidak menceritakan secara lengkap alasannya menarget Jalu. Namun, Jalu pernah mengurus persediaan obat terlarang di gudang utama miliki Bos Lali dan dia mencuri sebuah logam langka yang sangat bernilai harganya. Begitulah, maka di sini aku bertugas untuk mendapatkan kembali logam itu dan menyerahkannya kepada Bos Lali.

Awalnya aku merasa tugas ini mudah, ya seperti yang telah kukatakan sebelumnya, aku beruntung karena sungguh begitu dekat dengan target tujuan. Namun, nyatanya tidak semudah itu. Pada minggu pertama, aku sempat mendapatkan kesempatan untuk menggeledah seluruh isi rumahnya. Saat itu, Jalu mengatakan bahwa dirinya harus pergi ke Lampung untuk membeli cultivator bekas seorang temannya.

Dengan senang hati aku menelusuri setiap sudut, kotak-kotak apa saja, kolong meja, laci, tas-tas yang menggantung di tembok, dan apa saja yang terlihat mata. Hasilnya? Nihil. Satu hari terbuang sia-sia. Mungkin kalian berpikir aku mungkin tidak melihatnya karena logam itu kecil, sehingga mataku mungkin melewatkannya. Kalian jangan meremehkanku, satu tahun yang lalu bahkan aku pernah ditugaskan untuk mencari sebuah batu kerikil yang katanya adalah jimat andalan.

Seminggu berjalan lagi tanpa hasil. Bos Lali sudah mewanti-wanti. Aku selalu mengamati gerak-gerik Jalu, anehnya tidak ada yang mencurigakan. Di saat-saat aku mulai kesal, aku mengetahui informasi bahwa Jalu memiliki sebuah gudang tempat menyimpan hasil panennya. Harapanku mulai terang kembali, mungkin saja logamnya disimpan di sana, ya semoga.

Aku meminta izin untuk ikut pergi ke gudang saat beberapa karung padi telah selesai dipanen. “Tidak perlu, tugasmu hanya di ladang. Biar yang bertugas mengantar saja yang pergi ke sana.” Jawabnya. Berbagai alasan kusampaikan agar aku bisa ke sana, tapi Jalu sangat keras kepala. Maka, aku menggunakan cara kotor saja.

Saat makan siang bersama, aku sengaja memasukkan obat diare ke makanan dua kurir yang bertugas pergi ke gudang hari itu. Dengan begitu, mau tidak mau Jalu harus memerintahkan orang lain untuk pergi, dan aku langsung maju paling depan. Aku berhasil pergi ke sana, kemudian aku beralasan mencari cincin yang terjatuh di dalam gudang kepada salah satu petani yang ikut pergi ke gudang. Sekitar dua jam lebih aku menyisir gudang, lagi-lagi nihil.

Aku mulai kesal, tapi tidak akan menyerah. Hari-hari kujalani dengan fokus mengamati setiap gerak-gerik Jalu. Barangkali aku menemukannya di suatu kesempatan. Bahkan saat dirinya terlelap, diam-diam aku masuk ke kamarnya untuk mengamati tidurnya, siapa tahu ia mengigau tentang logam itu. Dua minggu berlalu lagi, hingga sampailah satu bulan aku masih di sini.

Mungkin sudah sejak dua hari yang lalu Jalu terlihat pucat. Dari pagi hingga pagi lagi, batuk terus-terusan keluar dari mulutnya, berisik sekali karena batuknya sangat keras. Saking kerasnya batuk itu, ia sampai beberapa kali muntah.

Hari ini, seluruh petani tidak bekerja di sawah. Kami pergi ke rumah Kepala Desa untuk menghadiri sekaligus membantu acara khitan anaknya yang kesebelas. Orang-orang desa berdatangan untuk menengok sekaligus memberi doa. Acaranya lumayan besar-besaran; ada organ tunggal, prasmanan dengan lauk-pauk lengkap, bakso, siomay, berbagai macam es, dan buah-buahan. Kami—para petani—ikut membantu mencuci piring, mengambil piring kotor, menjadi juru parkir, dan lain sebagainya. Katanya bentuk terima kasih karena ternyata ladang yang kami kerjakan semuanya milik kepala desa ini.

Seharian aku bertugas menjadi pengambil piring kotor. Sekitar pukul setengah sembilan malam, organ tunggal semakin keras dikumandangkan. Biduan-biduan dengan lincah memandu tarian dan nyanyian. Sambil memakan sisa-sisa makanan yang ada, seluruh petani ikut serta melepaskan penat selama seharian.

Di antara ramainya sorak dan meriahnya jogetan, kulihat Jalu duduk di sudut panggung sendirian. Mukanya terlihat sangat pucat, tangan kanannya tak berhenti meremas perutnya. Ia terlihat tidak nyaman duduk, sesekali berdiri, kemudian duduk lagi. Di saat-saat seperti itu, salah seorang petani malah menyeretnya untuk ikut joget bersama di tengah-tengah kerumunan. Ia terlihat pasrah saja, tanpa bicara apa-apa.

Satu lagu selesai, ia terlihat sesekali ikut bergoyang, tapi tetap terlihat tak nyaman. Dasar orang-orang bodoh, sudah tahu wajahnya pucat pasi, masih saja ditarik berjoget ke sana-sini. Saat di tengah-tengah lagu kedua, tiba-tiba saja Jalu mengerang kesakitan. Tubuhnya tersungkur di tanah, batuk-batuk keras, sambil meremas perutnya.

Seketika orang-orang berkerumun melihat kondisi Jalu, ia tak mau diangkat, katanya sangat sakit. Maka semua orang kebingungan. Aku dengan cepat menelepon ambulans. Dua menit setelah panggilan diiyakan, orang-orang berteriak terkejut. Aku mendekatinya, kulihat darah keluar dari mulut Jalu bersamaan dengan batuk yang semakin keras dan tak berhenti. Lebih mengejutkan, celananya bersimbah cairan hitam pekat, itu kotorannya. Sangat bau dan menjijikkan.

Ambulans datang, aku ikut masuk menemani setelah mengaku menjadi teman tempat tinggalnya. Celananya semakin dipenuhi kotoran. Tanpa menunjukkan rasa jijik, petugas kesehatan membuka celananya, berniat membersihkan.

Dan kalian tahu apa yang kutemukan? Logam! Logam yang kucari selama ini ada di sana, di tumpukan kotoran hitam. Sesampainya di rumah sakit, aku mengetahui fakta bahwa ternyata logam itu ia simpan di dalam perutnya. Logam itu tetap selalu keluar setiap kali ia buang air besar, tetapi ia menelannya terus-terusan. Jadi setelah logam itu keluar, ia bersihkan, kemudian ia telan. Begitu terus selama kurang lebih dua bulan. Akhirnya tugas ini dapat aku selesaikan. 

Comments

Popular posts from this blog

Ngeri, ada potongan kaki di tumpukan kayu jati untuk bahan bakar lokomotif kereta api kuna

Penyesalan Ayah

Cerita misteri kelereng pembawa keberuntungan 3, hanya tiga tahun sudah menjadi orang kaya