Melayat
“Aduh!”
“Hati-hati.”
Kami masih harus menempuh jarak lumayan jauh untuk sampai ke rumah saudara laki-laki nenek yang meninggal itu. Aku agak kesal. Pematang sawah ini becek sekali. Di sini, Desember adalah bulan dengan langit terbasah dan udara terbau-tanah. Andai saja bapak tak datang ke rumah mama sambil marah-marah, dan mengemasi pakaianku, dan menyeretku ikut serta dengannya, mungkin sekarang ini aku sedang menikmati semangkuk bakso ikan pedas buatan mama.
“Nanti sampai di sana, jangan jauh-jauh main. Diam duduk yang tenang. Ada jajan.” Nenek berkata demikian sambil tetap menatap lurus ke depan dan tangan kanannya tetap menggenggam tangan kananku. Aku mengangguk.
“Dengar, tidak?” digoyangkannya genggaman itu satu kali.
Aku mendengus, “Iya!”
Tak lama, kami tiba di sebuah jembatan bambu kuning kotor, seperti kotor berdebu. Di mataku bambu-bambu itu jumlahnya tak kurang dari lima bilah. Rongga mereka besar-besar dan tampak rapuh, rapuh sekali. Kelimanya diikat oleh tambang, banyak tambang; berwarna coklat pucat dan dekil, seperti dekil berlumpur. Di sebelah kiri kami, ada sebilah bambu dipasang sebagai pegangan.
Spontan kupandangi nenek dan sebilah bambu itu secara bergantian. Tinggi bambu itu kira-kira sebahu nenek, sedangkan tinggiku tak sampai sebahu nenek. Jadi, jika mesti berpegangan pada si bambu supaya aman menyeberang, maka nenek tinggal berpegangan di sana sementara si cucu ini hanya mampu menjangkau-jangkau.
“Gendong!” seruku kepada nenek.
“Lepas sandalmu,” tanggap nenek sembari merapikan bawaannya.
Tentu tanpa satu-dua-tiga kulepas sepasang sandalku, dan kumasukkan ke dalam kantung celana kodok ini.
“Astaga, jangan taruh di sana. Kotor! Pegang pakai tangan.”
Omelan nenek seperti dapat ditebak tapi tak diduga akan sebesar itu nada suaranya. Aku seperti disiram air dingin tiba-tiba. Kesal. Kutarik paksa dua sandal ini dan memakainya di kedua tangan (seperti pakai sarung tangan begitu; kalian paham, kan?)
Nenek menghela napas, dan menyuruhku untuk melangkah hati-hati. Dipegangnya pergelangan tangan kananku setelah memindahkan bawaannya ke atas kepala (ya, nenekku tadi sempat menggulung selendang kecil lalu ditaruh di atas kepalanya, dan ditumpuk dengan bawaannya itu).
“Hati-hati!”
“Iya, ini hati-hati!”
“Dikasih tahu kok senang sekali nyahut!”
Aku teriak. Aku teriak di punggung nenekku. Aku teriak tepat di sana. Kuserak daun-daun kering dengan kaki-kaki telanjangku, dan tangan kiriku yang bersandal ini menghantam-hantam pipiku serta telingaku sendiri. Aku nyaris akan meludah ketika nenek tiba-tiba melangkah mundur menjauhi jembatan. Punggungnya mendorong wajahku.
Aku mundur sedepa lalu berteriak kembali sambil menatap punggungnya. Punggung yang beraroma minyak angin itu. Punggung yang sebenarnya tak ingin kusentuh tapi sudah siap kupeluk andai saja dia mau menggendongku. Aku benci punggung itu!
“Kamu mau diam di sini? Diam saja.” Nenek berucap tanpa menoleh sedikit pun.
Aku merasakan genggaman tangannya yang melonggar. Apa nenek benci padaku? Pelan-pelan aku merasakan dingin, dan berkeringat, ini seperti habis lari-lari jauh dan sekarang sedang istirahat. Tapi aku tadi jalan kaki, tidak lari-lari. Oh, aku tak suka ini. Tak suka sama sekali. Aku benci tangan nenek yang berwarna dan berbau kunyit. Aku tak suka dia tak menatapku ketika bicara kepadaku! Dia seperti bapak. Bapak sangat seperti dia.
Aku anak mama, jadi aku akan sangat seperti mama.
Pikiran tentang mama membuatku tak ingat sejak kapan genggaman tangan nenek di tangan kananku kembali menguat. Kami melewati jembatan bambu ini seperti dua siput yang sedang jalan-jalan selepas hujan. Oh, tadi aku sempat memandangi siput-siput di belakang rumah nenek. Mereka tampak santai menikmati perjalanannya yang lambat-lambat itu. Di buku biologiku, katanya siput takut garam. Aku lupa kenapa begitu, tapi aku ingat mereka berdua tak cocok bersama, tapi aku belum pernah lihat secara langsung yang begitu itu. Jadi, aku pergi ke dapur dan kembali dengan segenggam garam.
Ketika nenek mendapati aku sedang menggarami siput, dia tak bicara apa-apa. Hanya mendengus, lalu melipir ke dapur. Kalian tahu, itu akan berbeda jika yang melihatku adalah bapak. Ia bakal memarahiku habis-habisan sebelum mencuci paksa kedua tanganku. Omong-omong, siput dan garam itu mirip mama dan bapak. Mereka tak cocok bersama. Kerjanya bertengkar terus. Aku pikir mereka begitu sejak dulu, bahkan mungkin sebelum aku lahir. Apa saja selalu bisa jadi bahan pertengkaran.
“Kenapa kamu diam? Ayo jalan, mau hujan ini!” seru nenek tiba-tiba.
“Hah?”
Nenek diam menatapku. Kali ini dia menatapku, dan aku tak bisa menebak itu apa maksudnya. Untuk kali pertama dalam hidupku dia menatapku dengan cara seperti itu.
“Iya, jalan, ini… jalan,” ujarku sambil menunduk, memperhatikan kuku-kuku kakiku yang rapi tanpa satu kuku pun yang panjang melebihi batas jari. Kata bapak, mulai minggu depan aku akan pindah sekolah ke sekolah dasar di kampung ini. Mulai minggu depan, mungkin aku harus bisa potong kuku sendiri. Tahu-tahu air mataku mengalir. Aku ingin teriak seperti tadi, tapi tak bisa. Dadaku seperti dipukul-pukul. Sakit sekali.
Kudengar dengusan nenek sebelum akhirnya dia melepas genggaman tangannya. Kemudian, tangan kanannya itu melewati selangkanganku lalu menggenggam pantatku erat, dan akhirnya aku terangkut. Tangan-tanganku otomatis melingkari tangan kanan nenek (semacam koala yang menemplok pada pohon). Kemudian, nenek melangkahkan kakinya cepat-cepat seperti koala yang sedang terancam.
Kurang dari dua atau tiga kejapan mataku, kami berdua telah kembali menapakkan kaki di atas tanah. Nenek menyuruhku segera memakai kembali kedua sandal, dan berjalan cepat. Gerimis mulai datang dan tanah yang dipenuhi daun-daun bambu ini jadi semakin licin. Di saat seperti ini, kenapa nenek tak mengingatkanku untuk hati-hati?
***
Namanya Baharuddin, tapi orang-orang seumuranku memanggilnya Kek Udin, dan yang seumuran bapakku memanggilnya Nde Udin. Ketika kutanya nenek kenapa Kek Udin bisa meninggal, dia hanya mendengus dan menyuruhku duduk diam di dekat anak-anak lainnya—yang tampaknya memang seumuranku, atau lebih besar sedikit—di ruang tengah.
Ruangan yang seluruh lantainya dilapisi karpet dan ada televisinya ini menyimpan banyak sekali air kemasan gelas plastik, tertata sekitar empat gelas di setiap piring porselen. Beralaskan piring-piring sejenis, ada juga beberapa kue kering, satu jenis kue untuk masing-masing piring. Aku suka kue berwarna putih pucat dengan rasa yang mirip kacang hijau ini, bentuknya pun unik: lihat, menyerupai daun tiga kelopak, ya? Aku suka sekali ini, dan mulai berpikir untuk belajar membuatnya jika sudah remaja nanti. Apakah nenek mau mengajariku? Aku tak yakin.
Ugh, aku ini sedang asyik mencicipi kue ketika seorang anak laki-laki menjawil pundakku sambil berkata, “Kamu ditanya itu!”
Aku baru sadar sudah ada beberapa anak yang duduk di hadapanku. Mereka semua punya badan yang besar, berkulit sawo matang, dan beraroma potongan rumput. Seorang anak perempuan yang badannya paling besar di antara kami semua berkata dengan lantang, “Iya, sudah, dia anaknya Nde Huma! Yang ibunya bikin marah Kek Udin itu!”
Perkataannya lantas disambut seruan riuh oleh anak-anak lain. Gara-gara dia, anak-anak lain mulai saling bisik-bisik sambil sesekali menatapku dari atas sampai bawah. Aku berusaha kembali fokus pada kue-kue di hadapanku dan tak menghiraukan mereka semua, tapi anak yang tadi menyebut nama bapakku itu mulai mendekati aku sambil berkacak pinggang. Dia bertanya, “Siapa nama ibumu? Yang namanya aneh itu?!”
Aku tentu tak terima nama mamaku dibilang aneh. Sibyl itu nama yang bagus, tahu! Oh, tak bisa dibiarkan, aku harus membalas omongannya! Begitu aku hendak memajukan tubuhku ke arahnya, sebuah bunyi krompyang dari arah dapur terdengar sampai kemari. Hampir semua orang bergegas mendatangi sumber suara, termasuk anak-anak di ruangan ini. Aku mau menyusul, tapi kakiku tiba-tiba tak bisa digerakkan.
Dua-duanya mendadak berat dan dingin. Aku menoleh: apakah tiba-tiba kakiku bersepatu bot besi? Tidak, kulihat mereka masih telanjang. Karena makin lama makin dingin dan berat, aku mencoba minta tolong. Aku baru akan teriak memanggil nenek ketika selintas suara—mirip suara kakek-kakek—masuk ke lubang telingaku: “Anak Sibyl… Anak Sibyl…”
Comments
Post a Comment