Mencari Gelas
Aku masih menerka-nerka, di mana sebenarnya kau sembunyikan selusin gelas itu. Di kolong ranjang, tidak ada. Begitu pula pada laci di bawah televisi. Bahkan, di lemari tempat dulu kau simpan pakaianmu pun, tetap tak kutemukan. Kuseka keringat di dahi. Ternyata, pencarian ini cukup melelahkan.
Jadi di mana? Tanyaku menatapmu yang masih saja diam. Kau tak menjawab. Jangan begitu. Maaf. Tapi aku benar-benar harus membongkar pintu lemarimu. Aku lupa di mana kau simpan kuncinya.
Tak ada suara lain selain bunyi jarum jam yang berputar. Sebenarnya, aku sangat ingin memujimu cantik dalam balutan gaun putih itu. Namun, kurasa waktunya kurang tepat. Baiklah, ujarku sambil bangkit. Aku tanya dispenser saja. Aku sempatkan melirikmu. Kau tidak tersenyum.
Hei, kau tahu di mana dia menyimpan gelas? Bisikku pada dispenser. Ayolah, aku butuh itu untuk minum. Untuk mengeluarkan air dalam dirimu. Galon hanya bergemuruh. Aku berdiri dan menatapmu. Kuangkat kedua bahuku sambil tersenyum. Kau tetap saja mematung.
Kupikir, aku harus pura-pura menyerah. Kuembus napasku cukup panjang sambil berjalan ke dekat jendela. Duduk di kursi. Kulepas kemejaku dan melemparnya ke meja. Mungkin dengan cara itu, kau akan menghampiriku. Mengambil pakaianku dan menggantungnya. Kemudian sedikit berceramah soal kerapian. Lalu kau akan mengelus bekas luka di dadaku. Seperti biasanya. Ya, seperti biasa.
Ternyata, angin di luar cukup kencang. Tirai menari-nari. Meski begitu, aku tetap saja gerah. Sejak aku tiba, AC sudah tidak menyala. Kau selalu sigap memanggil seseorang yang bisa mereparasi. Aku tidak pernah tahu dari mana kau mengenal penjual jasa seperti itu. Saban hari, ketika kulkas rusak, dua lelaki datang untuk memperbaiki. Sepulang mereka dari sini, untuk pertama kalinya kau berhati-hati perihal gelas.
“Kenapa?” tanyamu. Kau terlihat ketakutan dalam kaos merah yang longgar. Di lantai, gelas-gelas telah pecah. Aku ingat, napasku sangat terburu kala itu. Kutendang kulkas. “Heh! Itu baru selesai diservis.”
Setelah itu, kurasa aku hanya duduk memandangimu. Sedangkan kau membersihkan pecahan kaca. Kubuka kemeja dan kulemparkan ke meja. Untuk kali itu, kau tidak mengomel. Mungkin karena terlalu sibuk. Atau karena terlalu takut. Aku tidak tahu. Aku tidak pernah bertanya.
“Kamu kenapa, Sayang?” Kau menghampiriku setelah selesai membereskan lantai. “Ada masalah di perusahaan?” tanyamu lagi seraya merapikan kemejaku. Aku hanya diam. Kau mengelus bekas luka di dadaku. “Aku suka ini,” ujarmu selalu.
Sore itu, kita bercinta. Ketika aku mengelus rambut sebahumu, sambil melihat tato bunga di payudara kirimu, kau berkata: “Untung piring kusimpan di laci.” Aku tahu kau ingin kembali bertanya. Atau setidaknya, mengharapkanku untuk menjawab. Namun, aku tak bicara apa-apa. Ketika itu, aku merasa ada goresan darah di jari manismu. Mungkin karena gelas-gelas tersebut.
Sekarang, aku hanya bisa menyalakan rokok. Apakah saat itu pun aku merokok? tanyaku. Ketika kau membersihkan serakan kaca? Ketika bercinta? Setelahnya? Sesuai dugaan, kau tidak menjawab. Kutiup asap dari mulut. Aku mencoba menghitung, sudah berapa lusin gelas yang pecah. Mungkin dua belas, atau tiga belas. Yang jelas lebih dari tujuh, tapi kurang dari dua puluh. Aku ingin bertanya padamu, karena selalu kaulah yang membereskan pecahannya. Namun, aku sangsi kau akan menjawab.
Kupalingkan wajah ke luar. Di bawah sana, anak-anak kecil sedang berenang. Kolam itu memang tak pernah sepi. Meski aku sendiri tak pernah ke sana. Bunyi-bunyian terdengar. Tak terlalu jelas. Mungkin ada suara tawa. Ada juga seorang ibu yang menyemangati anaknya. Juga mungkin, ada bunyi air yang tengah diselami.
Jika aku tidak salah ingat, kau sering sekali mengamati mereka dari sini. Menatap lama. Sambil merokok. Membiarkan asap-asap terbang mengelilingi, seolah menyelimutimu. Sekali waktu sehabis bercinta kau bertanya, “Menurutmu, apa itu hidup, Sayang?”
Aku merenung beberapa jenak. Kemudian menjawab, “Hidup, ya, hidup. Aku tak mengerti pertanyaanmu.”
“Aku merasa hidup adalah penderitaan.” Setelah mendengar itu, dengan perlahan, aku memelukmu.
“Tidak.” Aku mengecup pipimu. “Kenapa kau menderita? Padahal aku di sini,” godaku.
“Kamu tahu kenapa aku menderita.” Aku bertanya pada diri sendiri. Benarkah aku tahu? Ataukah tidak tahu? Atau aku pura-pura tidak tahu? Atau pura-pura tahu? Jika tak salah, kau lanjut bertanya: “Kamu ingin punya anak?” Kau mengucapkan itu tanpa memandangku. Tidak kujawab. “Kamu sedang memikirkan apa? Ada masalah akhir-akhir ini?” tanyamu lagi, sambil menatapku.
“Tidak ada,” jawabku. Kau yang hanya memakai bra hijau, menjawab itu dengan tawa. “Kenapa?” Aku tersenyum. Kurasa tawamu selalu menular. Kau menggeleng sambil menghisap rokok. “Ayolah, apa yang lucu?”
Setelah mengeluarkan asapnya, kau berkata, “Tentu saja kamu gak ada masalah. Kalau ada, pasti membanting-banting gelas.” Aku, yang masih tersenyum, mulai membawa sebatang rokok, menyelipkannya pada bibir. Kau memberikan api pada rokokku. “Kamu bisa cerita jika ada masalah. Aku sudah bosan membersihkan pecahan kaca terus.”
Aku hanya menghisap rokokku. Jika tidak salah, angin juga sekencang ini waktu itu. Tirai pun menari-nari. Namun, aku tak menatap anak-anak di bawah sana. Aku memperhatikanmu. Melihat bunga di payudara kirimu. Menatap goresan darah yang selalu ada di jari manismu. Mengamati asap-asap yang keluar pergi lewat jendela yang terbuka.
“Lagipula, Sayang. Apartemen ini terlalu kecil. Aku ingin punya rumah. Uangmu takkan cukup untuk itu jika aku harus selalu membeli selusin gelas baru.” Kau mengatakan itu tanpa melirik ke arahku. Mungkin saat itu kau menatap seorang gadis kecil yang berenang. Atau seorang bocah yang kedinginan. Aku tidak tahu apa yang ada dalam kepalamu. Aku tidak pernah bertanya.
Aku bangkit kali ini. Kumatikan rokok. Kau masih terpaku tak bicara. Astaga. Akan sampai kapan kau membisu terus. Kubaringkan tubuh ke ranjang. Ingin sekali kucoba mencari gelas itu lagi. Namun, aku sudah mengecek seluruh ruangan selama tiga kali. Atau mungkin lima. Aku sedikit lupa. Padahal kejadian itu baru saja terjadi. Ingatanku memang agak lemah.
Kuhirup aroma seprai. Rasanya masih tersimpan parfummu. Membuatku terkenang satu peristiwa. Anehnya, kali ini teringat sangat jelas. Seperti kemarin. Bukan. Seperti baru saja berlalu. Kadang-kadang, aku membayangkan peristiwa itu terulang, dan aku bisa mengubahnya. Bagaimana lembutnya kulitmu. Bagaimana kau menyentuhku. Di sini. Di ranjang ini.
Aku sedang memeluk tubuhmu dari belakang. Mencium tengkukmu. “Apakah kamu akan menikahiku?” tanyamu. Aku tak menjawab. Aku ingat itu bukan kali pertama kau bertanya hal serupa. Kau jauhkan tubuhmu dariku kemudian menatap mataku dengan tajam. “Aku butuh jawaban, Sayang.”
Aku tak pernah ingin menjawab pertanyaan itu. Sampai detik ini. “Tidak.”
Kau tersenyum. Kemudian bangkit. Mengambil rokok dan langsung menyalakannya. Tanganmu bergetar. Seluruh tubuhmu terguncang. “Setelah bertahun-tahun?” Kau terlihat menahan sesuatu. Kau berjalan menuju lemari. Memakai pakaianmu. Biru. Aku ingat jelas. Biru.
“Kau tahu, aku tidak bisa.”
“Kamu bisa! Kamu hanya tidak mau.”
“Aku tidak bisa.”
“Pecundang! Kamu hanya tidak mau kehilangan sesuatu.” Aku ingat ada jeda cukup lama sebelum kau melanjutkan, “Kamu hanya tidak mau kehilangan gelas di rumahmu.” Aku hanya menghisap rokokku. “Aku akan pergi.”
Jika aku boleh menyesal, aku akan menyesali jawabanku: “Tak apa. Enyahlah.” Entah kenapa, kau menurut saja. Kau kunci lemarimu. Apakah kau membawa kuncinya? Itu adalah satu-satunya yang kulupa. Malam itu, aku tetap tidur dengan nyenyak. Tak terpikirkan untuk menghentikanmu di dekat pintu. Tak ingin mengejarmu. Mungkin menahan tubuhmu di lift. Atau memintamu masuk ke mobil di pertigaan kota. Aku tak berpikir tentang itu.
Aku bangun jam dua siang. Barulah kusadar kau benar-benar pergi. Hari itu hari Minggu. Aku tak perlu keluar. Kuterima kiriman darimu yang kau simpan di dapur. Selusin gelas. Bersama sepotong surat. ‘Aku tahu suatu saat gelas-gelas ini akan pecah. Jadi kusembunyikan satu lusin lagi. Telepon aku jika kamu butuh’. Sayangnya aku lupa berapa nomormu.
Ponselku berbunyi kali ini. Istriku menelpon. “Halo, Sayang … Mas masih di luar kota … Dua hari lagi paling pulang … Paket?” Kulihat kau berjalan mendekatiku. “Isinya gelas dan undangan?” Kau sampai di ranjang. Mengelus bekas luka di dada.
Kau tersenyum. Pantas saja kau cantik dengan gaun itu, ujarku. Dari telepon, kudengar suara gelas pecah.
Comments
Post a Comment