Menunggu Uncu

 

Tahun itu disebut Uncu Dodi tahun dua telur angsa di bawah pohon tanpa daun. Tentu saja ingatan Rio yang rapuh tidak bisa mengingat tahun yang rumit itu, tidak peduli betapa sering Uncu mengulangi. Dengan terbata-bata, Rio menghitung tanggal di kalender tahun itu, mengikuti gerakan telunjuknya. Kenapa dua angka pada kalender dilingkupi lingkaran merah telah melayang pergi dari ingatan Rio. Dia hanya ingat, Uncu pulang pada salah satu angka di kalender itu; hari Sabtu. Lalu mereka akan bermain bola. Tidak masalah kalau harus mencabut rumput dulu. Tapi mungkin dia akan melempar buku lusuh yang selalu harus dibacanya ke sudut kamar, sambil menghentak-hentakkan kaki, sebelum akhirnya Uncu berhasil membujuknya membaca kata demi kata membosankan itu—tidak heran kalau kata demi kata itu tidak mau menetap di kepalanya—baru bermain bola. Setelah bermain bola, mereka akan mencuci pakaian bersama. Oh, Rio suka sekali busa dan air.

Deru motor menghentikan Rio berhitung. Tidak, itu bukan motor Uncu. Rio yakin itu. Dia bahkan mengenal deru motor Uncu saat tidur, atau ketika mixer Ibu meraung berputar dalam kecepatan tinggi. Sepertinya itulah satu-satunya suara yang tidak akan pernah hilang dari ingatannya yang rapuh. Hanya karena ingin tahu, Rio bangkit berdiri dari lantai. Hidungnya menyentuh terali jendela, saat mengintip dari balik tirai.

Rio tidak tahu rumput di bawah jendela kamarnya telah tumbuh melampaui mata kaki; atau kenapa jendela rumah di sebelah ditutupi tirai biru tua setelah bertahun-tahun lamanya telanjang dan berdebu. Tapi dia ingat, Ibu selalu menarik tirai jendela kamarnya menutup dan melarangnya mengintip, apalagi ketika terdengar suara ramai di sebelah. Seperti pasar, mirip saat terakhir kali bersama Uncu.

Sudah lama Rio tidak menepuk-nepuk kepalanya, tapi, sekarang dia tidak sanggup lagi menahan pertanyaan yang meletup-letup di sana—dan rasa menusuk pada perut bagian bawah. Hari terus berganti; kenapa Uncu belum pulang juga? “Uncu pulang hari Sabtu. Sabtu,” bisik Rio. Karena sama seperti dirinya yang begitu mengenal deru motor Uncu, Ibu juga bisa mendengar suaranya di antara suara raungan mixer.

Pintu triplek kamar Rio tiba-tiba mengayun membuka setelah kunci berputar tergesa dan kasar. “Hoi, makan,” panggil Ibu dari ambang pintu.

Rio menggeleng, bergeming di bawah jendela.

Uncu pulang hari Sabtu.” Jemarinya bergantian saling menarik.

Ibu membawa helai rambut yang berjatuhan di wajahnya ke balik telinga, bersinggungan dengan sanggulnya yang berantakan, lalu mengayunkan sapu ijuk di genggamannya. Sepertinya Ibu tidak peduli perasaan sedih telah membungkam rasa lapar Rio.

Rio segera berdiri—di atas genangan air kencingnya. Dia juga baru sadar telah kencing di celana—sudah lama dia tidak seperti itu. Berlari terbirit-birit ke kamar mandi, sama sekali tidak bisa meredakan amarah Ibu. Mungkin juga karena Rio menyenggol meja kayu tua di dapur; hampir membuat jatuh dua bolu kismis yang menunggu dingin. Setiap kali Rio berteriak memohon ampun, semakin sering kakinya yang kurus dan mulai meregang beberapa bulan terakhir merasakan tamparan gagang sapu. Rio meringkuk di sudut kamar mandi, memeluk kakinya tanpa suara. Kakek pun datang mengusir Rio karena mau kencing.

Rio berlari menghindar ke kamar, bertubrukan dengan kakak laki-lakinya. Uda berusia tujuh belas tahun, lebih tua tiga tahun dari Rio. Meski Uda tidak sejangkung dulu bagi Rio, tetap saja dengan mudah dia menendang jatuh Rio, sambil mendesis jijik.

Mixer Ibu mulai lagi meraung, setelah Rio selesai mengepel lantai tegel itu. Sekarang, selain harus mencuci pakaiannya, Rio juga harus mencuci pakaian Uda, yang katanya pergi main keluar. Senyum menawan Rio yang sempat menghilang semenjak Uncu pergi, mengembang lagi di balik masker, saat memainkan busa sabun. Seandainya Uda tidak memasang masker itu, mungkin ludah Rio sudah menetes jatuh, berbaur dengan busa sabun.

Sebenarnya Uda tidak akan memasang masker itu, kalau bukan Uncu yang mulai duluan. Kata Uncu, supaya ludah Rio yang tidak bisa diatur itu tidak menambah masalah ketika Rio ingin membantu Ibu membuat kue. Tentu saja itu tidak masuk akal bagi Ibu. Bukan hanya karena seulas senyum anak itu sudah cukup memancing amarahnya. Tapi juga betapa anak itu semakin hari terlihat semakin mirip dengan lelaki tukang judi, pemabuk dan memberinya lebam, sebelum tidur dengannya. Dua bulan setelah berhasil lari dari lelaki itu, dia menangis sendiri di sudut kamar, menyadari lelaki itu telah meninggalkan jejak di perutnya. Jejak yang mulai menunjukkan masalah ketika berumur dua tahun. Ucapan simpati dari kedua adik perempuan di Jawa dan adik bungsu, Uncu Dodi, tidak mengurangi rasa sesaknya pada kenyataan hidup.

Pada suatu siang yang sepi, Ibu membuka kunci pintu kamar Rio. Tidak ada gagang sapu di tangan Ibu, melainkan sebungkus tepung dan sebilah pisau. (Pada suatu waktu yang tidak bisa dipastikan Rio, pisau benar-benar telah memberinya pelajaran kalau benda itu bukan mainan.) Mata Rio mengikuti ayunan pisau itu ketika Ibu mengatakan, diam. Hanya itu.

Suara mixer di dapur menghilang, digantikan suara seorang wanita yang tidak dikenal Rio. Rio merangkak cepat ke sudut kamar, memeluk lututnya. Dia menunggu datangnya tamparan dan tendangan dengan jantung berdebar, seperti ketika dia ingin memeluk gadis berkuncir yang memanjat naik ke jendela bertirai biru tua itu pada suatu malam yang sepi. Namun kali ini hanya terdengar suara dentingan sendok yang bertemu mangkuk plastik, tak! tak! tak! pertanda Ibu sedang mengocok telur. Lalu terdengar suara Ibu. “Adek, orang Lurah?”

“Petugas sensus, Bu. Setiap sepuluh tahun sekali ada sensus penduduk se-Indonesia di tahun-tahun genap—2010; sekarang.”

“Seperti dua telur angsa di bawah pohon tanpa daun.”

“Angsa….” ulang Rio di kamar. Dia menampar kepalanya, mencoba mencari tahu arti kerlip kecil angsa di pikirannya.

“Nama-nama di Kartu Keluarga semuanya ada di rumah, Bu?”

Untuk sesaat tidak ada jawaban dari Ibu. Rio ikut menangis, ketika mendengar tangis Ibu. “Indak. Dodi, adik bungsu ambo… sudah jadi pegawai di Pekanbaru dua bulan lalu. Kalau saja….”

“Pekanbaru,” ulang Rio. Kerlip kecil baru di ingatan Rio menepis si angsa.

“Di rumah hanya Ibu, orang tua laki-laki Ibu, sama satu orang anak laki-laki Ibu?”

“Iyo.”

Rio mondar-mandir di kamar hingga kakinya lelah, lalu berganti menampar kepalanya berkali-kali. Peluit panjang kereta api sedikit menghiburnya hari itu.

“Tut… tuuut.…” ujar Rio lirih.

Dia menghentakkan kaki, melawan getaran di lantai ketika kereta itu berlalu, seperti yang selalu dilakukannya bersama Uncu. Lalu dia mematung, memandang pucuk tanaman rambat pada pagar bambu, hingga siang yang sepi berganti sore yang sepi.

Malam itu, Rio menampar-nampar kepalanya saat berbaring di atas tempat tidur. Kenapa Uncu tidak pulang-pulang dari Pekanbaru? Kemudian, gagang sapu tidak lagi bisa membungkam Rio yang menjerit memanggil Uncu, sembari mengguncang terali jendela kamar. Untunglah pisau tidak ikut mendekat, mengendalikan Rio. Namun, pada suatu pagi menjelang siang, ketika Ibu sedang menjemur pakaian; Uda telah pergi ke sekolah, Rio berhasil menjebol pintu triplek kamar yang telah berubah menjadi penjara semenjak Uncu tidak pulang-pulang. Saat mengendap-endap ke pintu belakang, tanpa sengaja Rio melihat pisau di atas meja dapur. Rio akan selalu ingat rasa sakit dari si pisau. Tapi, bisa saja kalau dia main pisau lagi, Uncu akan datang dan berlari menggendongnya keluar seperti dulu.

Rio mengacungkan pisau pada kakek, membuat kakek jatuh terjungkal dari kursi di depan televisi.

“Marni! Marni!” teriak kakek.

Rio berlari keluar dari rumah. Di depan pagar bambu yang telah miring—tidak sanggup lagi menahan beban tanaman rambat—Rio memungut gagang sapu yang telah patah. Ibu datang dan Rio membalik, mengacungkan pisau.

Ibu mundur selangkah. “Pergi! Pergi!” raung Ibu dengan linangan air mata.

Sambil menggenggam erat pisau dan gagang sapu, Rio berlari kecil melintasi jalan setapak yang sepi. Uncu pernah mengejarnya di jalan ini, sampai ke jalan ramai di depan.

Uncu di Pekanbaru,” gumam Rio.

Rio menaiki mikrolet yang berhenti.

Uncu di Pekanbaru.”

Dengan kata-kata itu, sopir menurunkan Rio di belakang minibus yang sedang ngetem. Tepat pada saat itu, seorang pria dewasa berkulit gelap, berpakaian serba jin, berteriak mencari penumpang.

“Pekanbaru! Pekanbaru!” Rio berlari mendekat dengan wajah tertunduk, mengulum senyum. Sebentar lagi dia akan bertemu Uncu.

“Ya, ya, Pekanbaru,” jawab pria itu, lalu melambai pada seorang gadis yang menyandang ransel di seberang jalan. Rio pun masuk ke dalam minibus, membawa pisau dan gagang sapu.

Suara jeritan memenuhi minibus, hingga Rio menghempas jatuh ke aspal dengan mulut berdarah.

Uncu di Pekanbaru!” seru Rio, mengejar kepergian minibus. Suara klakson muncul bersahutan, menarik Rio ke suatu masa yang samar-samar, ketika Uncu bermotor mengejarnya. Rio berhenti, menoleh ke belakang dan sesuatu yang meremukkan tulang menghantamnya.

Langit biru terlihat suram, sebelum Rio menyerah, memejamkan mata. Dalam kegelapan, dia mendengar dengung ramai seperti di pasar dan suara nguing-nguing di kejauhan, seperti di masa yang samar-samar itu. Uncu datang! Rio memaksakan bangkit. Sayang, ingatan Rio yang rapuh tidak bisa memberitahu, Uncu tidak akan pernah kembali semenjak nguing-nguing itu mengangkutnya dari jalan.

Comments

Popular posts from this blog

Ngeri, ada potongan kaki di tumpukan kayu jati untuk bahan bakar lokomotif kereta api kuna

Penyesalan Ayah

Cerita misteri kelereng pembawa keberuntungan 3, hanya tiga tahun sudah menjadi orang kaya