Saya Terpaksa untuk Merangkak
Suami saya bukanlah buaya. Air matanya bukan air mata buaya. Perangainya, saya kira, bukanlah seperti buaya. Dia itu bukan buaya, Minah! Berapa kali saya harus beri tahu kamu soal ini? Suami saya itu manusia. Em-a-en-u-es-i-a. Perlu saya eja lagi?
“Ya, karena dia lelaki gatal! Suka berpindah-pindah pasangan! Makanya disebut buaya!”
“Apakah betul begitu, Min? Adakah sebutan buaya untuk perempuan?”
Minah meremas-remas jarinya. Menggelengkan kepala. “Tapi, sudah sejak lama saya lihat suamimu itu tatap-tatapan sama Jelita! Pantaslah dia dapat karmanya!” katanya, ngotot. Kali ini Minah sampai mengguncang-guncang bahu saya. “Kau tahu seperti apa bukan, perihal dia?”
Jelita. O, Jelita. Nama yang indah. Seindah parasnya yang selalu dipuja-puja desa. Seindah rambutnya yang berwarna merah gelap. Seindah kulitnya yang manis dan mulus seperti kulit gurita. A, tidak seperti saya! Akhir-akhir ini entah kenapa kulit saya, terutama di bagian bawah, mengalami gatal-gatal yang cukup parah. Jadilah setiap hari saya garuk-garuk kulit saya sampai bopeng-bopeng. Sampai terasa kasar dan keras seperti bersisik. Dokter bilang kulit saya itu agaknya terinfeksi oleh air yang tercemar, sebab sekarang banyak nelayan yang memilih memakai bensin atau sabun colek untuk menangkap gurita.
Hanya Minah yang mau mendekati saya sampai saat ini. Bahkan, suami saya enggan bermalam dengan saya lagi. Dari sore hingga pagi, dia sibuk mengarungi laut. Membawa tombaknya. Menaiki sampan. Memancing gurita.
“Jelita itu perempuan baik. Tidak ada hubungannya dengan kematian suami saya.”
“Baik-baik, tapi bisa bikin puluhan rumah tangga hancur!”
“Ah, kau ini Minah.” Saya beranjak berdiri, mengambil obat krim saya. “Kau itu sebenarnya iri dengan kecantikan Jelita, ya? Tidak heran aku.”
Minah menelan ludah. Kepalanya menunduk sembari menggaruk-garuk lantai kayu yang tubuh gendutnya duduki. Beberapa waktu lalu, Minah curhat pada saya. Suaminya, Suhardi, si pengepul teripang itu membanding-bandingkannya dengan Jelita. Mulai dari yang paling tampak, bentuk tubuh dan berat badan, lalu dilanjut bentuk mata, bibir, bahkan sampai warna rambutnya. Tidak heran, rambut merah Jelita memang sangat ikonik di desa ini.
“Perempuan itu mesti dibakar!” Tersengguk-sengguk Minah bercerita, sekonyong-konyong diambilnya kotak lilin di meja sebelah saya, dan berdiri dengan mata berkobar-kobar seperti bara. “Bakar perempuan itu, Aya!”
Saya oles-oles krim itu di bagian kulit saya yang sebagiannya mulai bersisik dan mengeluarkan nanah. Minah masih saja menunduk sembari menggaruk-garuk lantai kayu yang ia duduki. Saya pecah keheningan. “Nanti, kau dan perempuan-perempuan lain akan aku ajarkan untuk berbisnis. Supaya kalian tidak bergantung dengan lelaki-lelaki sompral itu! Supaya jika sewaktu-waktu Jelita meraup habis semua suami di desa ini, kalian bisa ikut aku pergi ke kota. Tinggalkan mereka!”
“Kau serius, Ya?” Tanpa perlu menjawab, Minah tahu segala yang keluar dari mulut saya tentu bersifat serius. Mata saya yang tajam dan rahang wajah saya yang tegas sudah bisa bicara hal itu. Lagi pula, dia tahu salah satu anak saya ada yang jadi pebisnis sukses di luar kota.
Minah melompat-lompat kegirangan. Saya garuk-garuk kulit saya kesakitan. Di tengah-tengah kegembiraan itu, Minah tak sengaja melihat snorkel anak saya yang tergeletak di meja depan. Kemarin, anak saya yang bungsu berkunjung dan memutuskan untuk tinggal selama beberapa minggu.
Langit terlihat cerah. Ombak bergulung-gulung di laut begitu deras. “Alioke, moi yawa nidano!” Ayahnya memanggil-manggilnya di pesisir pantai. Pukul tujuh pagi, waktu para nelayan berangkat. Membawa tombaknya. Menaiki sampan. Menjelajahi Samudera Hindia. Memanen gurita.
Saya beri lakhe gurita dan titip sebuah pesan untuknya sebelum pergi. Lakhe gurita itu saya buat sendiri dari botol plastik berwarna kuning. “Ingat, jangan terlalu lama menyelam! Apalagi ke tengah laut! Kalau bisa jangan menangkap gurita! Tangkap saja ikan atau pelagis!” Saya suruh juga mereka untuk mancing di area terumbu karang yang dangkal dan berjaga jarak dengan perahu nelayan-nelayan lain.
Anak itu mengangguk-angguk, gegas mengambil snorkel-nya. Mereka berdua lalu pergi menggunakan perahu bantuan. A, rasanya begitu janggal melihat mereka berdua bisa akrab. Namun, apa boleh buat? Meski bulan ini adalah bulan Juni, musim para gurita bersembunyi di batuan karang dan bertelur, anak bungsu saya itu sangat ingin untuk mencicipinya. Dia sudah bilang itu tempo hari lewat telepon. Katanya, “Apa rasanya memakan gurita segar dari laut?”
“Sangat enak!” seru saya di ujung panggilan. “Tapi jangan sekarang! Lagi musim bertelur! Biarkan gurita-gurita itu beranak-pinak dahulu.” Waktu itu, saya sedang membantu suami saya memasukkan daging-daging hewan bersulur itu ke mesin pendingin. Di atas sampan, kami tangkap sekitar tujuh belas ekor gurita. Walau kebanyakan hewan bersulur itu susah ditombak karena bersembunyi di batuan karang. Kalau mau menombak, harus kena kepalanya atau kedua matanya. Kalau hanya mengenai sulurnya, bisa-bisa gurita itu kabur dan semprotkan tintanya pada wajah kami. O, itu adalah hal yang paling pahit.
Namun, tidak ada yang lebih pahit dibanding kehilangan anak sendiri. Saya sudah nanti-nanti kedatangannya sejak lama. Dibanding kakak-kakaknya, tentu seorang ibu pada umumnya paling sayang dengan anak bungsunya. Seperti saya. Kemarin pagi, Minah datang ke rumah saya dengan wajah panik. Tubuhnya kelojotan.
“Ya! Aya! Hardi! Hardi!”
“Ada apa, Min?”
“Hardi… Hardi… Hardi dimakan buaya!”
Saya gegas keluar. Dari kejauhan, saya lihat banyak orang mengerumuni pesisir pantai. Di sana saya lihat seorang laki-laki dengan bentuknya yang tidak keruan dan seekor hewan reptil besar di sebelahnya. Mereka berdua terbujur kaku. Sama-sama memiliki luka. Sama-sama mengeluarkan darah. Cangkang moluska dan pecahan terumbu karang di antara debur ombak dan pasir putih pantai yang saya injak perlahan-lahan berubah jadi warna merah.
Dalam kerumunan, di belakang dua jasad mengenaskan itu, saya lihat seorang lelaki dengan tubuh bergemetar sedang ditenangkan oleh seorang perempuan di sebelahnya. Perempuan itu berambut merah gelap. Lelaki itu memegang snorkel-nya sambil meringis-ringis ketakutan. “Barman!”
Seketika, kaki saya gatal-gatal tak tertahankan. Saya hapus sejenak krim itu. Menggaruk-garuknya sedikit.
“Kalau suamimu itu tatap-tatapan sama Jelita, tak apalah! Komar memang buaya. Jadilah dia dimakan buaya! Aku tahu kau dan keluargamu tidak akan sedih soal itu. Tapi, kalau Barman? Anakmu? Akan kau biarkan, Ya?”
Mendengar itu, saya jadi teringat sepulang ayahnya meninggal. Saya lihat sampan yang mereka berdua naiki. Dalam mesin pendinginnya ada banyak sekali tangkapan gurita. Bahkan, gurita-gurita yang kecil. Sudah berulang kali saya katakan padanya, termasuk pada ayahnya jangan lagi menangkap gurita! Apalagi gurita yang kecil! Di bulan Juni pula!
“Bagaimana jika aparat itu melakukan patroli laut dan mengetahui perbuatan kita?”
Sore hari, belasan tahun lalu, sekitar jam lima selepas Komar memancing, saya temukan satu ekor gurita kecil terhimpit di antara badan-badan gurita lainnya di atas sampan. Gurita itu Komar tangkap dengan alasan sekadar penasaran. Berbeda dari gurita-gurita lainnya, warna gurita itu betul-betul mencolok. Menarik perhatian Komar.
“Kita sembunyikan saja di sini.”
“Maksudnya? Hewan ini mau kita pelihara?”
Komar tidak menjawab. Diletakkannya hewan bersulur yang menggeliat-geliat itu di dalam ember hitam. Sambil terus mengisinya dengan air dari kamar mandi, sesekali Komar mengajak hewan itu berbicara, lalu tertawa-tawa. Saya sangat merinding. Hampir saya buang Komar ke tengah laut waktu itu. Tapi, dua hari kemudian, hewan itu menghilang. Serta-merta raib menyisakan genangan air yang tenang di dalam ember. Tanpa jejak. Tanpa sisa.
Keesokannya tahu-tahu desa dihebohkan dengan kelahiran seorang bayi perempuan berambut merah.
Saya colek krim itu dan mengusapkannya kembali. Meski masih ada rasa gatal di sela-sela jari-jemari. Saya tahan rasa gatal itu. Sekuat mungkin. “Barman itu tidak seperti ayahnya kan, Ya?” Minah menyikut lengan saya.
“Maksudmu?”
“Buaya!”
Saya menggelengkan kepala. Ingin saya jawab bahwa Barman itu manusia, tapi saya tahu maksud Minah sekarang. Buaya itu berartikan lelaki gatal. A, saya jadi belajar istilah baru! “Tidak. Barman itu saya didik dengan baik, kau tahu itu. Untung saja ayahnya jarang di rumah. Jadi tabiat buruknya tidak akan diturunkan pada anak-anaknya.”
Minah menghela napas. “Untung juga kemarin si Komar yang menyelam! Bukan si Barman. Kata orang-orang desa, mereka itu perginya sampai ke tengah laut. Ya, tidak heran. Di tengah laut itu banyak guritanya. Banyak tangkapannya. Tapi, kau tidak peringati mereka soal buaya?”
Saya kupas luka kering di bawah lutut saya. Saya amati lamat-lamat. Saya angkat benda itu ke terik matahari, mata saya menyelidik. “Saya kira hanya di Nias Utara yang ada buayanya, Min.”
Buaya air asin itu ternyata adalah dalang di balik banyaknya para nelayan yang seketika raib tiga bulan terakhir ini. Saya dengar dari orang-orang desa, buaya yang membunuh suami saya itu berjenis kelamin jantan. Selepas kejadian kemarin, buaya itu langsung dibunuh dan dikuliti dan dijual ke luar kota. Namun, besar kemungkinan, masih ada buaya betina dan telur-telurnya di laut ini. Bermukim di suatu tempat.
“Buaya betina itu bisa lebih kejam dari buaya jantan, Ya.” Minah berteori. “Tapi, buaya betina akan mengamuk kalau telur-telur atau anak-anaknya diusik. Sekalipun itu oleh bapaknya sendiri. Buaya itu kanibal, Ya! Suka memangsa kawannya yang lebih kecil!”
Saya manggut-manggut. Bekas luka kering itu saya buang jauh-jauh. Termasuk pikiran-pikiran dalam kepala saya yang sekonyong-konyong terbayang sisik-sisik buaya. Saya jadi bergidik merinding.
“Barman di mana? Sedang apa?”
“Tadi berangkat ke laut.”
“Lagi?” Minah berdiri. Memelototi saya.
“Barman mau makan santapan laut, Min. Hasil tangkapannya sendiri. Saya suruh saja untuk menangkap kima.”
“Kau pikir begitu? He, dengar sini, Ya! Sebelum aku sampai ke rumahmu, di perjalanan tadi aku melihat Barman, tahu? Dia memegang lakhe gurita! Dia mau memancing gurita, Ya!”
Saya terperanjat. Lekas saya tolehkan kepala ke kanan, saya bidik gantungan alat-alat pancing milik Komar pakai mata saya. Lakhe gurita itu tidak ada. Gegas, saya berlari. Krim itu tak sengaja saya tendang ketika saya buru-buru keluar rumah. “O, Barman!” Dari belakang, Minah berteriak, “Pakai perahu bantuan, Ya! Kalau kau mau menyusulnya ke tengah laut!”
Saya garuk-garuk kaki saya dan terus berlari sejauh-jauhnya menuju pesisir pantai. Namun, kaki saya tahu-tahu terasa berat. Terasa perih dan pedih ketika diangkat. Bau amis lalu menguar dan mengawang-ngawang. Saya berhenti. Saya lihat darah mengalir. Tiga detik kemudian, saya terjatuh. Saya beringsut ke balik semak-semak. Masih jauh langkah saya untuk ke pesisir, tapi saya tidak sanggup lagi untuk berdiri. Saya merintih. O, saya terus memikirkan nasib Barman. Tidak ada yang lebih pahit dibanding kehilangan anak sendiri. Anak bungsuku!
“Ikutlah bersamaku!”
Terdengar suara seseorang bercakap-cakap di hadapan saya, sekitar lima meter jaraknya saya rasa. Saya seret kaki saya ke depan. Di sana, saya lihat Barman bersama perempuan itu, Jelita. Di tangan Barman ada lakhe gurita. Digenggamnya alat itu kuat-kuat. Dicengkeramnya kencang-kencang. Sedang di depannya, Jelita menatap Barman lamat-lamat.
Matanya berbinar-binar seperti buih. Mengerjap-ngerjap dan menghanyutkannya seperti deras ombak di tengah laut. Dan, dari kedua bola mata itu, keluar delapan sulur merah yang menarik Barman, anak bungsuku, ke perairan matanya. Sulur-sulur itu lalu menenggelamkannya dalam-dalam. Membelitnya.
Comments
Post a Comment