Sebelum Kita Membakar Jembatan

 Aku selalu membayangkan pertemuan pertama kita sebagai takdir yang digariskan jauh sebelum kita lahir. Waktu itu, hujan turun deras, dan aku sedang bersembunyi di bawah payung yang terlalu kecil untuk tubuhku. Kau datang dari arah berlawanan, menggenggam buku-buku tebal dengan sampul yang sudah usang, serupa penyair yang terlempar dari dunia lain. Aku tidak pernah menyangka, pria dengan kemeja biru basah dan rambut yang kacau itu akan menjadi seseorang yang membuatku ingin melawan dunia.

“Hati-hati, Mbak. Licin,” katamu waktu itu, saat kakiku terpeleset di trotoar basah.

Kita tidak bicara banyak setelahnya, hanya saling tukar senyum, dan aku melanjutkan langkahku sambil memikirkan bagaimana mungkin seseorang bisa begitu peduli pada orang asing di tengah deras hujan.

Sejak hari itu, kau menjadi alasan untuk pertemuan-pertemuan kecil. Awalnya, kita berbincang soal buku. Kau sering membawa novel-novel lama yang aku pikir sudah punah dari rak toko. Kita bertukar pikiran tentang banyak hal: politik, budaya, dan, akhirnya, agama. Aku tahu ini akan menjadi rumit sejak awal, tapi aku tidak bisa menahan diriku.

“Apa yang membuatmu yakin pada jalanmu?” tanyaku suatu sore di kafe kecil tempat kita biasa bertemu. Di luar, matahari hampir tenggelam, menyisakan jejak cahaya keemasan di langit yang gelap.

Kau tersenyum kecil, menatap kopi hitam di depanmu sebelum menjawab. “Karena aku merasa damai. Bagiku, hidup bukan hanya tentang benar atau salah, tapi tentang bagaimana kita bisa hidup tanpa melukai orang lain.”

Aku terdiam. Jawabanmu sederhana tapi mengena. Aku ingin bertanya lebih jauh tapi aku tahu itu hanya akan menuntunku ke jurang yang lebih dalam. Kita berbeda, dan aku tahu dunia tidak pernah terlalu ramah pada mereka yang berbeda.

Ketika akhirnya kita memutuskan untuk saling mencintai, aku tahu aku juga sedang memutuskan untuk bertarung. Keluargaku tidak pernah terlalu kaku soal agama, tapi mereka juga tidak pernah benar-benar terbuka. Ibuku adalah seorang yang taat, rajin ke gereja setiap Minggu pagi. Ayahku, meski jarang bicara soal iman, selalu percaya bahwa pernikahan hanya bisa terjadi jika pasangan berada dalam keyakinan yang sama.

Keluargamu, di sisi lain, seperti benteng kokoh yang tidak mudah diterobos. Ayahmu adalah tokoh terpandang di komunitas masjid, dan ibumu sering bercerita tentang bagaimana ia berdoa untukmu setiap malam agar kau selalu berjalan di “jalan yang benar”.

“Apa kita bisa?” tanyaku padamu suatu malam. Kita sedang duduk di teras rumahku, memandangi bintang-bintang yang samar di langit kota.

Kau tidak langsung menjawab. Aku bisa melihat wajahmu tegang, seperti sedang memikirkan jawaban yang tidak menyakiti. “Aku tidak tahu,” katamu akhirnya. “Tapi aku ingin mencoba.”

Cobalah. Kata itu menjadi mantra kita selama beberapa tahun berikutnya. Kita berusaha meyakinkan keluarga, meyakinkan diri sendiri, bahwa cinta bisa mengatasi apa pun. Aku mengenalkanmu pada keluargaku, dan kau melakukan hal yang sama. Tapi upaya itu seperti air yang menghantam batu karang: hancur, pecah, dan akhirnya menghilang tanpa bekas.

Ibuku mulai mengutip ayat-ayat Alkitab setiap kali aku menyebut namamu. Ayahku lebih memilih diam, tapi aku tahu diam adalah bentuk penolakan yang paling menyakitkan.

Di keluargamu, situasinya tidak jauh berbeda. Aku ingat bagaimana ibumu memelukku dengan hangat saat pertama kali bertemu, tapi pelukan itu terasa seperti ujian. Saat aku pulang, kau bilang Ayahmu tidak bicara sepatah kata pun tentangku, hanya duduk di ruang tamu sambil memandangi sajadahnya.

Puncaknya terjadi pada sebuah malam yang seharusnya menjadi perayaan ulang tahun ibuku. Kau datang dengan baju yang rapi, membawa kue cokelat yang kau beli di toko favoritku. Aku tahu kau gugup, tapi kau tetap tersenyum dan mencoba menyesuaikan diri di tengah keluargaku yang memandangmu dengan penuh tanda tanya.

Semuanya baik-baik saja sampai salah satu pamanku, yang mungkin sudah terlalu banyak minum anggur, mulai bertanya soal imanmu.

“Jadi, kalau nanti menikah, anak-anaknya bakal ikut agama siapa?”

Nadanya lebih tajam dari pisau dapur.

Kau terdiam, dan aku merasa darahku membeku. Malam itu berakhir dengan keluargaku menatapmu seperti alien, dan aku mengantarmu pulang sambil menahan air mata.

“Maaf,” kataku. “Aku tidak tahu mereka akan seperti itu.”

“Tidak apa-apa,” jawabmu, meskipun aku tahu kau sedang terluka.

Setelah malam itu, segalanya menjadi lebih sulit. Kita mulai bertengkar, bukan karena kita tidak saling mencintai, tapi karena dunia tidak pernah berhenti menekan kita. Kau merasa bersalah karena aku harus melawan keluargaku, dan aku merasa bersalah karena kau harus mempertanyakan keyakinanmu.

“Aku hanya ingin kita bahagia,” kataku suatu malam, ketika kita duduk di taman kota yang sepi.

“Aku juga,” jawabmu. “Tapi bagaimana kalau jalan menuju kebahagiaan itu tidak sama?”

Aku tidak punya jawaban. Dan untuk pertama kalinya, aku merasa cinta tidak cukup.

Akhirnya, kita sampai pada keputusan yang tidak pernah ingin kita buat. Kau memutuskan untuk pergi, bukan karena kau tidak mencintaiku, tapi karena kau tidak ingin aku kehilangan keluargaku. Aku memutuskan untuk membiarkanmu pergi, bukan karena aku tidak mencintaimu, tapi karena aku tahu dunia ini tidak adil bagi mereka yang mencoba menantangnya.

Malam itu, aku mengantarmu ke stasiun. Hujan turun deras, sama seperti hari pertama kita bertemu. Kau memelukku untuk terakhir kalinya, dan aku bisa merasakan tubuhmu bergetar.

“Jangan lupakan aku,” katamu.

“Aku tidak akan,” jawabku, meskipun aku tahu itu tidak akan membuat segalanya lebih mudah.

Setelah kau pergi, aku sering memikirkan kita. Apakah kita terlalu lemah untuk melawan? Atau justru terlalu kuat untuk saling menghancurkan? Aku tidak tahu. Yang aku tahu, cinta kita adalah api yang pernah menyala terang, sebelum akhirnya padam karena angin yang terlalu kencang.

Tapi aku tidak menyesal. Karena sebelum jembatan itu terbakar, aku tahu aku pernah menyeberanginya bersamamu. Dan itu cukup.

Lima tahun kemudian, aku bertemu kembali denganmu di sebuah pesta pernikahan. Aku datang bersama suamiku, seorang pria yang berbagi iman denganku dan telah mengisi kekosongan yang dulu kau tinggalkan. Kau juga tidak sendiri. Di sampingmu berdiri seorang perempuan dengan senyum lembut, mengenakan hijab warna pastel, yang tampak memandangmu dengan mata penuh cinta.

Kita saling menyapa, awalnya canggung, sebelum akhirnya nostalgia mengambil alih. Suamiku dan istrimu berbincang dengan hangat, sementara kita mencoba menghindari pertanyaan-pertanyaan lama yang sudah terkubur di masa lalu.

“Kamu bahagia?” tanyaku pelan saat kita berdua berdiri di balkon, menghindari keramaian.

Kau menatapku, lalu tersenyum kecil. “Aku bahagia. Kamu?”

Aku mengangguk, merasakan kejujuran di setiap kata. “Ya, aku juga.”

Kita tidak berkata banyak setelah itu. Hanya berdiri di sana, membiarkan angin malam membawa pergi sisa-sisa kenangan yang dulu terasa begitu membebani. Aku tahu, pada akhirnya, kita telah menemukan jalan masing-masing. Jalan yang tidak sama, tapi tetap membawa kita ke tempat yang seharusnya.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya, aku merasa benar-benar damai

Comments

Popular posts from this blog

Ngeri, ada potongan kaki di tumpukan kayu jati untuk bahan bakar lokomotif kereta api kuna

Penyesalan Ayah

Cerita misteri kelereng pembawa keberuntungan 3, hanya tiga tahun sudah menjadi orang kaya