Testimoni

 

Hari ini, Lukisan 13 Api terpajang di ruang utama Galeri Nasional.

Lukisan berukuran 1,5 x 2 meter itu hanya dipenuhi lukisan api yang tengah membara. Ada 13 puncak api yang nampak berkelindan satu dengan lainnya. Sekilas sama, namun siapa pun yang melihat dari dekat akan menemukan perbedaan di setiap apinya. Di balik api-api membara itu samar-samar terlihat obyek-obyek yang hancur: sebuah rumah, seorang anak kecil, kursi berkaki patah, jam dinding tanpa jarum, dan lainnya. Tak hanya itu, piguranya pun dibuat seakan-akan menjadi bagian dari lukisan, dengan kayu-kayu yang sebagian menghitam akibat terbakar, dan sebagian lainnya masih menyalakan percik api!

Pelukis lukisan itu: Satro Geni, yang di sepanjang hidupnya hanya melukis api, dan berikut adalah testimoni yang ada dalam katalog yang berhasil dirangkum panitia dari beberapa orang yang dianggap memiliki hubungan dekat dengan pelukis:

Amanda Sardie, wartawan senior

Sudah beberapa kali saya menonton pameran lukisan Satro Geni, dan masih saja saya dibuat kagum. Melukis obyek api sepanjang hampir 30 tahun karirnya sebagai pelukis, tentu bukan sesuatu yang mudah. Anehnya, saya selalu bisa menikmati lukisan-lukisannya. Saya merasa selalu mendapat tawaran yang berbeda dari setiap api yang dilukisnya. Beberapa kali saya mencoba mengobrol dengan beliau, dan saya dibuat kagum dengan apa yang menelatari setiap lukisannya. Dari situ saya mulai menyadari kalau lekukan api yang digambarnya selalu berbeda. Saya bahkan mulai bisa menyadari kalau warna api yang dilukisnya pun tak pernah sama satu dan lainnya.

Di Lukisan 13 Api ini seperti menjadi rangkuman perjalanan karir pelukisnya selama ini. Saya sangat bersyukur Galeri Nasional mau mengadakan pameran ini. Satu pameran yang tak akan saya lupakan.

Barata Gito, sahabat

Sudah hampir sepanjang hidup, aku mengenal Satro Geni. Aku yakin semua orang telah tahu seberapa terobsesinya dia pada api. Tapi yang mungkin tak banyak yang tahu, di umur 11 tahun, akulah yang menemaninya datang ke kelurahan untuk mengganti nama aslinya.

Dulu ia memang belum melukis, tapi ia sudah bermain-main dengan api. Ia kerap membakar apa pun yang dirasanya menarik. Kertas, sandal, batu, dan lainnya. Makin dewasa, kupikir ia makin gila. Ia mulai membakar makluk hidup seperti jangkrik, kodok, ular, bahkan seekor anjing buta.

Kegilaan ini sempat membuatku tak lagi ingin berteman dengannya. Beberapa tahun aku selalu menghindarinya. Sampai saat lulusan SMA, ia datang dan berkata, “Aku tak lagi membakar apa pun. Sudah kuputuskan aku akan melukis semuanya saja.” Jadi setelah itu, kami berteman lagi.

Aku tak tahu apa-apa tentang seni, apalagi melukis. Tapi dari memperhatikan sahabatku itu, aku sedikit bisa memahaminya. Lukisan telah mengajarkannya arti meredam kemarahan. Aku tahu dibalik sifatnya yang pendiam, dirinya penuh gejolak kemarahan. Ia marah pada orang tuanya yang berpisah dan pergi darinya, marah pada guru-guru sekolah yang tak mengerti dirinya, juga marah pada lingkungan yang tak bisa menerimanya. Tapi ia tak bisa apa-apa. Yang bisa ia lakukan hanyalah mengeluarkan kemarahan itu di lukisannya.

Satu yang kusesali, aku tak bisa selalu bersamanya. Aku hanya bisa mengikutinya perjalanan karirnya, dan merasa sedih karena walau waktu telah cukup berlalu, ia tetap menumpahkan kemarahannya dalam lukisan berbentuk api. Jadi sewaktu aku mendapat kabar kalau ia ditemukan tewas bunuh diri dengan membakar dirinya di kubangan api, aku tak terlalu terkejut. Untuk orang yang sepanjang hidupnya terobsesi dengan api, aku sudah membayangkan akhir hidup seperti itu untuknya!

Irmadara, mantan istri

Aku tak mau mengomentari laki-laki gila itu! Apalagi memberi testimoni di pameran untuk mengenangnya. Hubunganku dengannya sudah usai sejak aku pergi darinya!

Agar kalian tahu, pernah di satu malam ia memanjakanku sedemikian rupa. Ia memberikan tas mahal, baju indah, dan perhiasan emas, agar aku mau mewujudkan keinginannya. Kau tahu apa yang dimohonnya? Ia ingin agar aku mengizinkannya untuk membakar diriku!

Sungguh, tak pernah kupikirkan permintaan seperti itu. Benar-benar gila! Jadi sebelum semuanya jadi lebih mengerikan, kuputuskan pergi meninggalkannya. (dialihkan dari hasil wawancara)

Wahyu Ireng, rekan pelukis

Yang saya ketahui, seorang yang menjadi pelukis biasanya karena mengikuti bakatnya. Tapi saya rasa tidak dengan Satro Geni. Ia melukis karena ia tak punya pilihan lain. Keinginannya melihat segala sesuatu terbakar, membuat melukis jadi pilihan hidupnya. Karena di situlah ia bisa mengabadikan apa yang dibakarnya.

Saya tentu tak mau terjebak membicarakan teknik melukisnya. Saya orang yang percaya kalau: siapa pun bisa menjadi pelukis, terlebih orang yang memiliki keinginan kuat terhadap sesuatu, seperti Satro Geni.

Sumastira, pembeli lukisan

Saat aku mendengar Galeri Nasional akan menggelar pameran lukisan terakhir Satro Geni, dan membuat lembar testimoni untuk rekan-rekannya, aku tahu aku tentu bukan orang yang diminta untuk itu. Jadi aku mendatangi panitia dan meminta izin untuk ikut menuliskan sepatah dua patah kata untuk itu.

Aku tak mengenal siapa Satro Geni. Aku toh bukan penggemar lukisan. Hanya saja ada satu cerita yang ingin kuceritakan berkaitan alasan kenapa aku membeli salah satu lukisannya.

Satu kali aku pernah menemani kawanku menonton pameran lukisannya. Temanku ini memang seorang penggemar lukisan, sedang aku waktu itu, masih berprinsip tak akan mengeluarkan uang sepersen pun untuk sebuah lukisan. Tentu awalnya aku bete sekali melihat lukisan yang hampir sama seluruhnya. Tapi tanpa sengaja mataku bersiborok pada satu lukisan berjudul Api Tuhan. Di situ aku seperti melihat anakku –yang telah lama meninggal– ada di tengah api. Jadi yang kulakukan kemudian saat itu adalah segera melompat masuk ke sana, dan menyelamatkan anakku. Setelah itu, aku kembali keluar dari api. Yang kudapati kemudian, aku tergeletak di lantai, tepat di depan lukisan itu. Temanku tak mengerti kenapa aku bisa begitu. Terlebih saat ia melihat bajuku yang sedikit terbakar.

Aku tentu tak bisa menjelaskan apa-apa padanya. Yang bisa kulakukan hanyalah membeli lukisan itu.

Darto Kopiah, kolektor lukisan amatir

Bertahun-tahun ai berharap harga lukisan-lukisan Satro Geni bisa naik. Jujur saja, sekali-dua kali ai pernah mencoba menggorengnya, sekadar untuk membantunya. Tapi menjual lukisan yang nyaris sama satu dengan lainnya, memang bukan perkara yang mudah. Sampai beberapa tahun, harga lukisannya hanya terjual segitu-segitu saja.

Hari ini, di pameran lukisan terakhirnya, ai masih berucap sama seperti dulu: yu pelukis yang luar biasa, pilihan yu sesuatu yang tak bisa diikuti oleh pelukis lain. Hanya saja, yu jangan berharap lebih ya, karena setiap pilihan punya konsekuensi sendiri! (dialihkan dari hasil rekaman)

Mamish Lambe, kritikus lukisan

Sebuah lukisan tentu bukan hanya karya, karya, karya, tanpa narasi dan gagasan. Ke depannya, saya harap Lukisan 13 Api menjadi contoh bagaimana sebuah lukisan disusun berdasarkan gagasan, bukan sekadar lukisan tanpa narasi, tanpa gagasan. Urutannya harus jelas bukan hanya karya saja, tetapi karya yang berbasis narasi, narasi berbasis gagasan.

Marta Janu, penulis buku biografi Satro Geni

Awalnya saya agak bimbang menerima proyek membuat buku Bapak Satro Geni. Tapi sekali bertemu dengan beliau untuk penjajakan, saya jadi bersemangat. Sebagai seorang penulis buku, saya sudah menemui banyak tokoh, tapi Bapak Satro Geni salah satu yang paling berbeda.

Saya sempat datang saat Bapak Satro Geni menyelesaikan Lukisan 13 Api yang kini dipamerkan. Saat itu saya sempat nyeletuk, apakah ia termasuk orang yang takut pada angka 13? Waktu itu Bapak Satro Geni hanya tertawa. Sekadar cerita, ternyata awalnya Bapak Satro Geni sama sekali tak menghitung jumlah api yang dibuat, barulah setelah selesai, ia menyadari jumlahnya 13.

Sintanara, anak semata wayang

Bagiku, ayah bukanlah ayah yang baik. Ia selalu berada di studionya, tanpa pernah memperdulikan keberadaanku. Bahkan waktu Ibu memutuskan pergi, ia sama sekali tak merasa sedih. Ia tetap melukis seperti biasa. Malah ia menyelesaikan lukisan berjudul Membakar Surti, yang kuanggap sebagai sindiran untuk Ibu, karena Ayah sengaja memberi warna hijau pada baju sosok Surti, yang merupakan warna kesukaan Ibu.

Awalnya Ibu sengaja meninggalkanku, karena ingin Ayah yang merawatku. Tapi aku tak betah bersamanya, jadi kuputuskan menyusul Ibu.

Bertahun-tahun aku nyaris tak pernah melihat Ayah. Tapi satu yang pasti, kiriman uangnya selalu tiba tepat waktu. Sampai aku berusia 23 tahun dan mulai bekerja dan mandiri, ia masih saja mengiriminya, walau aku sudah minta untuk menghentikannya.

Ayah baru berhenti mengirim uang beberapa hari sebelum kematiannya. Kawan-kawannya kemudian memintaku untuk menulis testimoni untuk pameran terakhirnya. Anehnya, aku tak menolaknya. Bagaimana pun, uang yang dikirimnyalah yang membuatku sampai seperti ini.

Tapi aku tak ingin mengomentari lukisan yang dipamerkan. Aku hanya ingin mengomentari satu lukisan yang kutemukan tersimpan di lemarinya beberapa hari setelah ia pergi, lukisan yang tak pernah dipajangnya, atau ditawarkan untuk dijual. Di situ, ayah menggambar api-api kecil –sekecil butir kacang– berjumlah ratusan, yang bila dilihat dalam satu sudut… ternyata membentuk sketsa wajahku.

Lukisan itu berjudul Anak Api, dan menjadi satu-satunya lukisan ayah yang kusimpan sampai hari ini.

Dinamari, teman pelukis perempuan

Sebagai seorang teman –yang sempat dituduh memiliki hubungan istimewa dengannya– aku pernah mengatakan padanya: lukisanmu membosankan. Aku tentu kagum pada konsistensinya melukis api, tapi di dunia yang bergerak cepat seperti sekarang, siapa pun tak bisa hanya mengandalkan konsistensi seperti itu. Tapi, saat kukatakan kalimat itu padanya, ia hanya tertawa saja.

Tapi hari ini, di pameran lukisan terakhirnya, aku sadar kalau ia menang. Aku yakin, konsistensilah yang ia bawa sampai mati, tak akan bisa diulang oleh pelukis mana pun, dan aku angkat topi untuk itu.

Silah, murid

Walau hanya beberapa bulan bersamanya, aku tetap menganggap Mas Geni adalah guruku. Aku tahu, Mas Geni sebenarnya tak ingin memiliki murid, tapi aku dibawa langsung oleh salah satu sahabatnya, jadi ia sungkan menolaknya.

Beberapa bulan bersamanya aku tak henti memperhatikannya. Tentu untuk mencuri ilmunya. Tapi entah kenapa, apa yang kupelajari seperti tak pernah cukup berhasil saat kucoba sendiri di rumah. Mungkin aku yang tak terlalu berbakat, atau teknik Mas Geni yang memang tak bisa diikuti siapa pun. Aku tak tahu.

Pananda, kolektor lukisan

Sebelumnya saya sudah menyimpan 3 lukisan Satro Geni. Saat melihat Lukisan 13 Api ini, saya merasa yakin kalau ini akan menjadi lukisan terbaik dalam dekade ini. Perasaannya sama seperti saat saya menatap lukisan Raden Saleh, Watersnood op Midden Java, yang hilang misterius sampai hari ini, atau lukisan Pertempuran Sultan Agung dan J.P. Coen dari S. Sudjojono.

Kenapa saya bisa seyakin ini? Lihatlah lukisan ini baik-baik! Tentu saya tak mau bicara tentang filosofinya. Sudah banyak media yang mengartikan arti api di 13 benda yang terbakar di dalamnya. Saya ingin bicara tentang teknik lukisnya yang membuat saya terkagum-kagum. Perhatikanlah 13 api yang ada, ternyata api-api itu dibentuk dari api-api berukuran sedang, dan api-api berukuran sedang itu dibentuk dari api-api kecil. Tak hanya itu, api-api kecil ternyata masih dibentuk dari api-api yang lebih kecil lagi. Sekilas memang tak nampak, tapi siapa pun yang memperhatikan dengan seksama akan segera menyadarinya. Tak hanya itu, cara pelukis menggores kuasnya saat membuat 13 api ini pun ternyata berbeda. Setiap api mewakili satu unsur gerakan: garis lurus, garis melengkung, lingkaran, kotak, jajaran genjang, dan lainnya.

Sungguh ini adalah lukisan terbaik Satro Geni, dan saya gembira bisa mendapatkannya.

Maulana, pengelana

Saya sebetulnya tak berniat datang ke gedung ini. Saya hanya sedang melewatinya dalam pengelanaan saya ke arah timur. Tapi saya kemudian seperti melihat bayangan api di gedung ini. Api besar yang meluluhlantakkan semuanya. Jadi saya putuskan mendatangi gedung ini, dan mendapati sebuah lukisan bergambar 13 api sedang dipamerkan.

Saya mungkin sedikit berlebihan. Tapi lukisan itu bukanlah sekadar lukisan, ada bara yang bersemayam di dalamnya. Saya harap pesan ini dapat dibaca panitia, dan segera menutup pameran ini! Bila tidak, di hari ke-13 nanti, bersiaplah api paling buruk akan membakar semuanya. (merupakan teks dalam kertas yang ditempel di tumpukan katalog) 

Comments

Popular posts from this blog

Ngeri, ada potongan kaki di tumpukan kayu jati untuk bahan bakar lokomotif kereta api kuna

Penyesalan Ayah

Cerita misteri kelereng pembawa keberuntungan 3, hanya tiga tahun sudah menjadi orang kaya