Teteh Esih

 

Umurnya sudah menjelang enam puluh tahun. Tapi tetap saja ia masih sering dipanggil teteh, yang berarti kakak perempuan. Mungkin karena ia belum juga menikah sampai umurnya sudah pantas punya cucu. Seiring berjalannya waktu Teteh Esih mulai juga dipanggil dengan sebutan Ibu Esih. Teteh Esih masih ramping, dengan sisa-sisa kecantikan yang dimilikinya. Rumahnya ada di pinggir jalan kecil kampung, terletak di bawah. Maksudnya, dari jalan kecil itu harus melewati beberapa turunan untuk sampai di rumah Teteh Esih. Rumah kecil dengan sebagian bertembok bata sebagian berdinding kayu. Sudah agak lama rumah itu berlantai keramik.

Yang cukup menarik adalah sepetak kebun di depan rumah. Ditanami aneka bunga, dan sangat nyata bahwa kebun kecil itu dirawat dengan sangat baik. Tangan Teteh Esih yang merawatnya setiap hari. Biasanya orang-orang yang lewat di jalan kecil itu menengok ke bawah ke kebun bunga Teteh Esih. Rumah perempuan itu juga dekat dengan makam desa. Makam yang tidak berapa luas. Ada pohon-pohon kamboja dan puring di makam itu. Di situlah bapak dan ibu Teteh Esih dimakamkan. Di dekat makam kedua suami isteri itu ada nisan makam anak-anak. Mungkin berusia dua tahun. Ada foto dipasang di nisan itu. Foto gadis kecil yang cantik. Ini satu-satunya nisan dengan foto yang ada di makam itu. Juga satu-satunya nisan yang paling bagus di makam desa itu.

Nuraini, begitu nama yang tertulis di bawah foto. Adalah puteri seorang dokter yang bertugas di Rumah Sakit tak terlalu jauh dari rumah orang tua Teteh Esih. Rumah yang sekarang ditinggalinya. Dokter itu minta bapak Teteh Esih yang bekerja sebagai tukang kebun di Rumah Sakit untuk merawat makam anaknya. Tentu saja dengan tanda terima kasih berupa uang sebulan sekali. Itu sudah berlangsung bertahun-tahun, sampai kedua orang tua Teteh meninggal. Perawatan makam tetap diteruskan oleh Teteh Esih. Sampai sang dokter dan isterinya meninggal, putera-puteri mereka yang telah berumah tangga tetap setia berziarah ke makam Nuraini. Sebulan sekali Teteh tetap menerima uang jasa dari saudara-saudara almarhumah Nuraini. Bahkan perbaikan rumah juga Teteh terima dari mereka.

Mengapa Teteh Esih berat jodoh? Mungkin orang-orang yang selevel dengan dia tidak berani meminangnya. Teteh berhasil lulus dari SMP. Tapi gaya hidup dan penampilannya begitu anggun. Mungkin itu karena waktu SMP dia membantu juga di keluarga orang tua Nuraini. Isteri dokter itu mengajarinya macam-macam keterampilan yang ternyata bisa menopang hidupnya sampai hari tua. Menyulam, merajut, merangkai bunga, yang semuanya itu bisa dijual. Memang tidak mendatangkan banyak uang, tapi tetap saja ada penghasilan. Ada ayam kampung peliharaannya yang lumayan juga untuk menambah pendapatannya. Ditambah uang yang diterimanya dari para saudara almarhumah Nuraini. Jadi misalnya sopir angkot, penjual sayur keliling, pedagang asongan, buruh bangunan, merasa tidak setingkat dengan Teteh Esih. Tapi yang lebih dari kategori itu pun, sepertinya juga masih merasa kurang cocok untuk memperisteri Teteh Esih. Entahlah.

Ditambah lagi kebiasaan Teteh yang begitu rajin merawat makam Nuraini, dan kadang memandangi foto anak itu berlama-lama, sering juga membuat pertanyaan di hati para tetangganya. Pernah tetangga dekat mengingatkan Teteh.

“Teh, jangan terlalu rajin merawat makam itu. Orang-orang sering bergunjing dengan kelakuan Teteh. Sebulan sekali membersihkan makam itu, cukuplah.”

“Ah, mereka kan tidak merasakan. Bagaimana aku mendapatkan rezeki cukup. Dari pemberian keluarga Neng Nur. Dari usahaku yang tidak seberapa. Tapi selalu cukup untuk kebutuhan hidupku sehari-hari. Ini berkat ketekunanku merawat makam Neng Nur dan orang tuaku.”

Akhirnya para tetangga itu membiarkan saja Teteh Esih melakukan kegiatannya. Toh Teteh tidak merugikan siapa-siapa. Dan Teteh dikenal sebagai tetangga atau warga lingkungan yang baik. Hanya memang Teteh jadi berat jodoh. Mungkin karena Teteh tetap dianggap agak aneh.

Biasanya Teteh makan roti dan minum kopi susu di emperan rumahnya. Duduk di bangku kayu dan di depannya meja pendek kecil untuk menempatkan cangkirnya. Roti murah saja yang dibeli di pedagang keliling yang lewat di dekat rumahnya. Dinikmatinya sarapan paginya itu sambil memandang bunga-bunga di kebunnya. Sambil memandang makam yang terlihat jelas dari depan rumahnya. Bertegur sapa dengan orang-orang yang lewat di dekat rumahnya. Yang biasanya memang sudah dikenalnya.

Suatu pagi ada seorang laki-laki lewat di jalan dekat rumah Teteh. Ya, di jalan yang agak tinggi itu. Teteh melihat sekilas, juga laki-laki itu memandang Teteh. Sekilas, lalu mengangguk dan tersenyum. Teteh membalasnya mengangguk kecil dan tersenyum. Teteh memperkirakan laki-laki itu lebih tua dari dirinya. Meskipun penampilannya masih cukup gagah, dan nampak sehat. Teteh memperkirakan laki-laki itu sekadar jalan-jalan. Esoknya laki-laki itu lewat lagi. Pada waktu yang kurang lebih sama. Saat Teteh menikmati roti murahnya dan secangkir kopi.

“Selamat pagi,” dia menyapa Teteh. Mengangguk dan tersenyum. Teteh balas sapaannya: “Selamat pagi,” lalu laki-laki itu melanjutkan perjalanannya.

Beberapa hari acara saling selamat pagi  mengangguk dan tersenyum itu berlangsung. Suatu hari sapaan laki-laki itu bertambah. “Selamat pagi…! Bunga-bunga di halaman Ibu bagus sekali. Boleh saya melihat sebentar?”

“O… silahkan, Pak.”

Laki-laki itu melewati beberapa turunan sampai di depan rumah Teteh. Teh Esih mengulurkan tangan dan mengatakan bahwa ia hanya menanam bunga-bunga biasa saja. Laki-laki itu mulai mendekati tanaman bunga-bunga itu, dan nampak suka memandangi bunga-bunga segar yang memang terkesan mendapat perawatan sebaik-baiknya.

Hari-hari selanjutnya laki-laki itu selalu singgah di rumah Teteh. Sekadar berkomentar tentang bunga-bunga, dan sebentar ikut duduk di bangku kayu di emperan rumah Teteh Esih.

Hari-hari selanjutnya laki-laki itu mulai ikut minum kopi, dan makan roti murah itu. Mereka sudah saling mengetahui nama. Teteh mengenalkan namanya, Sukaesih. Panggil aku Frans, begitu laki-laki itu memperkenalkan dirinya kepada Teteh.

Teteh Sukaesih mulai menerka-nerka laki-laki itu mungkin keturunan Eropa, barangkali Belanda. Roman mukanya, warna kulit, tinggi tubuhnya, nama yang diperkenalkan kepadanya. Mengarah pada perkiraannya. Lebih-lebih lagi cara mengucapkan kata-katanya.

Pagi itu Frans singgah di rumah Teteh seperti biasanya. Kali ini membawa kantong plastik putih berisi roti, sebungkus kopi, gula, dan juga sekantong susu bubuk.

“Maaf, sudah berapa kali saya ikut minum kopi dan makan roti? Baru sekarang saya bisa membawakan sedikit belanjaan ini.”

“Wah… terima kasih, Pak Frans. Sebenarnya tidak perlu repot-repot. Tapi ya… terima kasih banyak.”

Teteh melirik sekejap ke isi kantong plastik. Berbungkus-bungkus roti yang Teteh tahu, itu harganya mahal. Teteh tentu akan berpikir-pikir ulang kalau mau membelinya. Kehadiran Frans membawa binar-binar bahagia di hati Teteh. Meskipun hanya sebentar melihat bunga-bunga, sebentar omong-omong sambil makan roti dan minum kopi. Itu sudah sungguh berarti bagi Teteh. Bahkan Teteh mulai bercerita kepada Nuraini dan ayah ibunya saat ia membersihkan makam. Tetangga dekatnya hanya bisa menggelengkan kepala mendapati Teteh lebih berlama-lama duduk di depan nisan.

Pagi itu seperti biasa Teteh duduk di depan rumahnya. Dengan secangkir kopi susu, dan sepotong roti murahnya. Ia memandangi keindahan bunga-bunganya. Bahkan sejak Frans bertandang ke rumahnya bunga-bunga itu terlihat bercahaya. Terlihat tersenyum, dan Teteh suka membalas tersenyum kepada bunga-bunganya. Melayangkan pandangan ke makam, dan Teteh tersenyum kepada Nuraini dan kedua orang tuanya. Begitulah Teteh menunggu laki-laki itu, Frans. Mereka berdua akan memandangi bunga-bunga, minum kopi susu, makan roti, dan bercerita tentang apa saja.

Sudah sekian pagi Teteh menunggu tamu istimewanya. Tapi dia tak pernah muncul-muncul lagi. Teteh memang sangat kecewa, tetapi dengan tenang ia menerimanya. Dia kembali beraktivitas seperti semula. Merawat tanaman bunganya, memberi makan ayam-ayamnya dan membersihkan kandangnya. Minum kopi susu dan makan roti murahnya. Kadang menyulam, kadang merajut. Sering juga diundang merangkai bunga di tempat orang akan melaksanakan hajatan. Dan tentu saja merawat makan Nuraini dan kedua orang tuanya.

Siang itu Teteh ke makam membawa sabit. Ia bermaksud menyabit alang-alang yang tumbuh rimbun di sudut makam. Di situ memang ada beberapa makam yang nampaknya tak pernah lagi diperhatikan oleh keluarganya. Teteh pun juga belum pernah membersihkannya. Jika setahun sekali warga kampung bergotong-royong membersihkan makam, barulah sudut makam itu nampak sedikit rapi. Tapi begitulah, Teteh tak pernah memperhatikan pojok makam itu. Hanya makam Nuraini, kedua orang tuanya, nisan di dekat-dekatnya, itu saja yang dibersihkannya.

Dengan mengenakan sarung tangan, Teteh menebas rimbun alang-alang. Gerakannya sudah tidak gesit. Tapi sedikit demi sedikit tersibak juga rimbun rerumputan itu. Ada beberapa nisan di tempat itu yang kelihatan sudah rusak. Modelnya berbeda dengan nisan-nisan lain. Ada tulisan-tulisan di situ yang juga sudah rusak. Teteh mencoba membacanya, tapi tak tahu apa itu artinya dan bahasa apa. Tapi tetap saja Teteh memperhatikan nisan itu satu per satu dengan tulisan-tulisan yang tertera. Teteh terhenti pada sepotong tulisan yang sudah tidak utuh karena sebagian sudah rusak terhapus, Frans… 

Comments

Popular posts from this blog

Ngeri, ada potongan kaki di tumpukan kayu jati untuk bahan bakar lokomotif kereta api kuna

Penyesalan Ayah

Cerita misteri kelereng pembawa keberuntungan 3, hanya tiga tahun sudah menjadi orang kaya