Wolo, Si Siluman Harimau

 

“Siapa gerangan di balik gerakan?”

“Saya, Tu-”

Tanpa ia sadari sepatu lars mendarat tepat di dadanya. Dalam sepersekian detik ia limbung dari kursi.

Tangannya masih terikat. Seketika darah mengalir pelan dari sudut bibir. Sepertinya tendangan barusan sampai ke ulu hati. Mungkin merobek paru-paru, ia tak tahu. Sakit yang hebat membuatnya tak bisa berpikir.

Ia meringkuk kesakitan, mengerang sebab sesuatu seperti sedang mengiris hatinya perlahan. Dalam kesempatan yang sempit, ia menatap seorang lelaki tambun datang dari pintu mendekat ke arahnya.

Pak Bupati? Ia tak yakin. Lelaki itu semakin dekat. Ia berusaha keras tetap terjaga, ia ingin pastikan siapa dalang yang menggerakkan wayang. Sayang, yang ia lihat hanya sebatas siluet sebelum akhirnya ia tak sadarkan diri.

***

“Sudahlah Mei, hentikan semua ini,” kata Inang kepadanya suatu pagi di halaman rumah.

“Tak sayangkah engkau kepada suami dan anak-anakmu?” Lanjutnya sembari menumbuk kopi.

Sesekali Inang berhenti menumbuk sambil terus berceramah tentang banyak hal. Ia akan mengoceh banyak tentang kebun dan jagung yang dua bulan terakhir tidak diurus Mei. Bahwa babi hutan sudah merambah hampir sebagian dari kebun itu, bahwa dapur keluarga Mei hidup karena hasil kebun tersebut, dan bahwa dahulu kedua orang tuanya meninggal diterkam harimau di sana.

“Lagipula apa urusanmu dengan mereka yang di Bukit sana, Mei? Biarkan saja mereka.”

Mei hanya terdiam sambil mengayunkan kakinya sebelum beranjak masuk rumah.

Sejak dahulu Mei dipelihara oleh Inang, saudari kandung bapaknya. Sudah terhitung enam tahun sejak bapaknya berjuang mati-matian mempertahankan diri dari terkaman harimau. Bermodalkan parang panjang dan sekop, ia tak mampu mengalahkan harimau yang kata orang taringnya hampir sepanjang jari tengah.

Kata orang juga, ibunya berteriak memohon ampunan. Teriakan itu terdengar hingga gerbang desa, membuat orang-orang segera berlari membawa kayu dan pentung serta parang dan pisau ke arah kebun. Sampai di sana nihil, tak tersisa apa-apa selain bercak-bercak darah di rerumputan. Warga desa terdiam ketakutan, sebab keyakinan mereka akan Wolo, Si Siluman Harimau telah terbukti.

Sejak hari itu mereka selalu menggantung botol-botol berisi air wewangian di setiap sudut kebun, termasuk di kebun milik Mei. Wolo diyakini takut mencium aroma harum yang tajam. Siapa lagi kalau bukan Inang yang menggantungkannya?

Mei sangat trauma dengan kejadian yang menimpa kedua orang tuanya. Jauh berbeda dengan Inangnya yang tak ambil pusing. Baginya kehilangan adalah bagian dari kehidupan. Apa yang dirasakan Mei telah ia rasakan saat orang tuanya mati dibunuh dalam perang tanding.

“Bapakku mati dipenggal orang, kulihat dengan mataku sendiri, begitu pula ibuku. Sedangkan kau, tak kaulihat keadaan mereka saat meregang nyawa,” ucapnya setiap kali ingin menang berdebat dengan Mei.

Tetapi bagi Mei semuanya memang tak mudah. Membayangkan kedua orang tuanya disantap hidup-hidup oleh harimau bukanlah masalah sepele.

Mei termasuk orang yang tak percaya takhayul. Kematian kedua orang tuanya, baginya adalah kedukaan yang disebabkan alam, bukan setan. Kalau toh memang takdir keduanya diterkam harimau, tidak perlu dipautkan dengan Wolo, Si Siluman Harimau yang tak seorang pun pernah lihat. Ia tak pernah mempelajari hal-hal gaib seperti itu di sekolah.

Selain itu, ketika orang tuanya meninggal, ia sudah di kelas akhir di sebuah SMA, sudah memiliki cukup daya pikir untuk membedakan mitos dan fakta, terutama tentang kebenaran akan kejadian mengerikan itu.

Suatu keberuntungan baginya dapat menempuh pendidikan sampai SMA, mengingat di desanya hampir setengah gadis seumurannya sudah memiliki anak.

Namun, keberuntungan itu ternyata hanya seumuran jagung yang ia lihat di kebunnya. Sejak kematian kedua orang tuanyalah ia tidak lagi bersekolah. Inang tidak memiliki uang yang cukup untuk membiayai sekolahnya, ditambah lagi Inang adalah seorang janda. Konon suaminya merantau ke Kalimantan, sudah hampir delapan belas tahun tak pulang-pulang. Terakhir berkabar, Inang menangis sesenggukan. Baru hari itu Mei melihat Inang sesedih dan seduka itu. Perempuan tegar yang cerewet itu akhirnya tumbang di kaki asmara. Suaminya mengambil istri muda, bahkan sudah memiliki anak satu. Sejak saat itulah Inang menjanda dan sibuk mengurus Mei.

Saat bersama Inanglah di kemudian hari Mei dilamar oleh seorang pemuda dari desa seberang, anak Amang Gaguk, petani kopi. Melihat kesempatan baik itu, Inang dengan senang hati mengatakan ya, begitupun Mei yang dengan terbata-bata mengatakan hal yang serupa sambil mengangguk pelan.

Sungguh, percintaan itu bagi Mei adalah sebuah romantisme zaman penjajahan. Selain karena umurnya masih tujuh belas, juga karena semuanya serba terpaksa dan atas suruhan. Ia sadar, sekalipun tiada bedanya ia dengan budak (karena disuruh Inang untuk menikah), pernikahan itu adalah momen untuk berterima kasih kepada Inang yang telah merawatnya sejauh ini. Ditambah lagi dengan rumah yang mereka tinggali hingga saat ini, ketika puting susunya semakin gelap pertanda anak dua, adalah milik Inang.

Semenjak menikah, Mei tak pernah merasakan pertumbuhan cinta dan sayang terhadap suaminya itu. Sudah hampir empat tahun mereka hidup bersama, sama sekali tak sedikit pun Mei merasa bahwa rumah tangganya mengandung cinta, selain untuk kedua anaknya, tentu saja. Mei sangat menyayangi kedua anaknya. Setiap hari ia berharap bahwa kelak anaknya menjadi pribadi yang lebih baik darinya.

Kekhawatiran terbesarnya sesekali muncul terhadap anaknya yang bungsu, gadis kecil dengan mata bulat sempurna dan pipi gemas yang empuk setiap kali dicubit. Ia sama sekali tak ingin si bungsu menjadi sama sepertinya di kemudian hari. Maka sejak kelahirannya, Mei berjanji untuk menyekolahkannya ke suatu tempat yang jauh, tempat di mana pernikahan bukanlah semata menjadi momen mutual seperti yang dilakukan Inang kepadanya.

Ia ingin anak perempuannya bebas memilih pasangan hidupnya dan berbahagia setelah berhasil menamatkan sekolah. Bahkan ia selalu berangan-angan anaknya menjadi seorang perempuan yang berkarir, minimal menjadi guru honor di sebuah sekolah.

Sesekali Mei menangis di malam hari, ketika anak-anaknya sudah hanyut terbawa mimpi dan suaminya tak jua pulang berburu. Sambil menatap bulan melalui jendela, ia rindu dengan kedua orang tuanya. Sekalipun telah dewasa, ia masih membutuhkan hangat pelukan orang tuanya di kala sedih dan hilang harapan. Ia ingat sekali, setiap kali hendak tidur malam, ibunya akan selalu menyanyikan lagu Ina Maria di sampingnya. Suaranya merdu, membuat Mei tak lama kemudian tertidur pulas dalam pelukannya.

Ia sering membayangkan ketika dahulu ibunya menanyakan cita-cita, “Aku ingin jadi PNS, Bu,” jawabnya singkat kala itu, sedang ibunya tersenyum bangga melihatnya. Kenangan-kenangan itulah yang kini justru menyakitkan, menyayat hatinya sebegitu dalam.

Akhir-akhir ini juga Mei merasakan kesedihan yang mendalam. Entah mengapa kebun peninggalan orang tuanya menjadi sebab paling besar dari kesedihan itu. Kesedihannya bertambah karena setiap hari Inang memarahinya akibat tidak pernah mengurus kebun itu selama dua bulan terakhir.

“Untuk apa kauurus mereka yang di Bukit, Mei? Biarkan saja nasib mereka berantakan. Lagipula, investor-investor itu tak mungkin ke lembah sini,” nasihat Inang kepada Mei pagi ini. Mereka duduk berhadapan di dekat tungku api.

“Jangan besar-besar, Inang, nanti anak-anak dengar,” sahut Mei sambil mengaduk nasi di atas tungku.

“Setelah makan aku akan ke Bukit, aku tak ingin di desaku ada proyek tak jelas,” lanjut Mei.

Percakapan-percakapan antara keduanya memang kebanyakan akan berujung pertengkaran, tetapi Mei tahu bahwa Inang sangat perhatian dengan keadaannya dan anak-anak.

“Apa dayamu, Mei? Kau ini perempuan lemah dan tak punya kekuatan untuk melawan mereka-mereka itu! Pergilah kau ke kebun, tanam jagung dan singkong di sana! Mau kau beri makan apa anak dan suamimu?” Inang mulai meninggikan nada bicara.

Mei terdiam sejenak. Ia lantas menatap tajam ke arah Inang.

“Tak perlu singgung aku dan anak-anakku, Inang!” Mei menjawab dengan nada yang sama. “Bukan aku! Bukan aku yang menginginkan semua ini! Kalau bukan karena Inang, aku mungkin tidak memiliki keluarga yang semenyedihkan ini!” Mata Mei memerah menahan tangis.

Inang menatapnya penuh marah.

“Lantas kau kira kau akan bertahan bila bukan karena aku, Inangmu yang memberi kau makan dan bahkan kehidupan!?? Seorang janda yang serba kekurangan dan terpaksa harus memelihara kau di tengah kekurangan??!” Inang berdiri dan menghempas bangku kecil yang tadi didudukinya.

Mei masih terduduk sambil mendalami semua perkataan Inang. Sesaat kemudian Mei berdiri, matanya kini berair.

“Kau bukan ibuku!”

Kata-kata itu sungguh menyakitkan buat Inang. Ia tertunduk dan menangis sedih, sementara Mei langsung berjalan cepat ke arah pintu, hendak ke Bukit.

Perkelahian kecil itu membuat Mei bersedih sepanjang perjalanan menuju Bukit. Ia mencoba menenangkan pikiran, tetapi kenangan akan kedua orang tuanya kembali terputar seperti lagu Nike Ardila, mengalun menabur kedukaan yang demikian pedihnya. Perjalanan sepanjang satu kilometer itu tak terasa akibat pikirannya yang kacau.

Sesampainya di Bukit, di gerbang kampung dilihatnya banyak warga berhadap-hadapan dengan polisi dan tentara. Ketika orang banyak itu melihatnya, mereka lantas bersorak gembira. Anak-anak melewati barisan polisi dan tentara, menjemputnya. Ia lantas mengikuti anak-anak tersebut dan mengambil posisi di depan barisan warga. Seorang lelaki muda memberinya pengeras suara. Tanpa berlama-lama, Mei langsung berorasi.

“Saudara-saudariku, tanah yang kita pijak ini haram untuk dimasuki investor serakah yang ingin mengisi pundi-pundi dan memperkaya diri.”

Warga banyak itu berteriak “Usir saja mereka!!!” Teriakan yang panjang, terdengar sampai ke telinga Inang yang sedang mengurus kedua anak Mei di lembah.

“Saudara-saudariku, tikus-tikus tanah ini tak kenyang makan uang negara, sekarang hendak makan darah masyarakat kecil!! Mereka ingin membunuh harapan dan mematikan masa depan!!” Lanjut Mei semakin keras.

Warga di belakangnya mulai maju sambil mengangkat pamflet berisi tulisan penolakan terhadap tambang timah.

“Usir saja mereka!!!” Teriak mereka sekali lagi membelah langit. Barisan warga itu terus-terus maju dan hendak mendesak polisi dan tentara.

“Saudari-saudaraku!!!! Pantang kita mengizinkan pencuri masuk dan memperbudak kita!!! Percayalah, sekali tambang ini dibuka, selamanya kita akan diperbudak di sana!!”

Teriakan Mei membangkitkan semangat warga. Mereka sudah begitu dekat dengan barisan polisi dan tentara.

“Usir saja mere-”

Teriakan warga belum berakhir ketika akhirnya terdengar bunyi “Dorrrrrrrr!!!”

Salah seorang polisi menembakkan senjata ke arah langit. Mendengar suara tembakan, mereka semua kocar-kacir.

Mei hampir kehilangan akal, tetapi ia bertahan di tempatnya berdiri. Seorang polisi di hadapannya menatapnya sinis. Mei mundur selangkah. Pelan-pelan ia meletakkan pengeras suara di tanah.

Beberapa detik kemudian ia perlahan membuka baju. Ia tak peduli. Meski seorang perempuan di hadapan polisi, ia tetap teguh. Baju yang penuh keringat itu kini tanggal dari tubuhnya. Tersisa bra putih, yang kini sedang berusaha ia lepaskan. Mei meletakkan semuanya ke tanah sambil menangis. Tak ada yang tersisa padanya. Tubuhnya kini terbuka.

Tangisan Mei semakin keras, tetapi sama sekali ia tak tundukkan kepala. Ia tegar. Tak ada lagi perasaan malu demi membela tanah moyangnya. Tangisan itu seperti mantra pemanggil yang membuat warga pelan-pelan kembali berbaris di belakangnya.

Satu demi satu kekuatan itu kembali terbentuk. Para perempuan mengambil barisan paling depan sembari membalut tubuh Mei dengan sehelai kain. Semua perempuan yang berbaris juga ikut menangis membela tanah moyang mereka. Sesaat kemudian hening. Barisan warga yang kuat itu membuat para polisi dan tentara mundur. Mereka segera masuk ke mobil masing-masing dan segera pergi.

Hari itu Mei dan warga Bukit menang. Mereka lantas bersorak dan bergembira. Mei berpelukan dengan seorang ibu tua di sampingnya. Seorang ibu lainnya mengangkat baju Mei dan mengenakannya kembali ke tubuhnya. Setelah mobil-mobil tadi hilang di kejauhan, mereka kembali ke rumah adat dan berkumpul untuk menyiasati kedatangan polisi dan tentara di esok hari.

Hari menjelang petang, burung-burung beterbangan kembali ke sarang. Di bawah cahaya matahari senja, perasaan takut dan was-was menyelimuti kampung itu. Bukan tidak mungkin esok hari polisi dan tentara itu akan datang lagi untuk menekan warga.

Sudah hampir dua bulan mereka tak henti datang memberikan tekanan agar warga segera mengizinkan pembukaan tambang timah yang entah siapa pemiliknya itu. Satu-satunya yang mereka ketahui adalah bahwa di tanah ulayat merekalah tambang itu akan dibuka.

Tanah yang diwariskan dari generasi ke generasi itu tidak akan mereka serahkan ke tangan yang salah. Bagi mereka tanah itu adalah ibu yang memberi kehidupan. Selama bertahun-tahun lamanya mereka menyandarkan hidup dari hasil tanah tersebut.

Sedikit bagian dari tanah ulayat itu adalah kebun milik orang tua Mei. Mendengar bahwa di sana akan dibukakan tambang, Mei dengan tegas menolak. Kebun itulah satu dan tunggal harapan baginya. Di sana jugalah terakhir kali kedua orang tuanya berjuang mempertahankan hidup. Itulah alasan yang membuat Mei tidak mengurus kebun tersebut selama dua bulan terakhir, sebab hampir setiap hari ia ke Bukit membantu warga menolak setiap tekanan dari polisi dan tentara.

Meskipun Inang selalu memarahinya akibat hal itu, ia tak menyerah. Inang kemungkinan belum mengetahui bahwa kebun mereka adalah salah satu bagian dari lahan yang akan terkena dampak. Tentu saja Mei tak ingin Inang mengetahui hal tersebut, sebab dapat dipastikan Inang juga akan turut serta dalam melakukan penolakan. Meskipun seringkali bertengkar, Mei tetap mencintai Inang sebagai seorang Ibu. Ia sejatinya ingin sekali memanggil Inang dengan sapaan Ibu, tetapi ia malu.

Malam itu ia menginap di rumah adat di Bukit, dan di malam itulah untuk pertama kalinya ia menangis merindukan Inang.

Hari masih pagi sekali ketika seorang pemuda jangkung berlari kencang ke arah rumah adat.

“Mereka datang!! Mereka datang!!” Teriaknya membangunkan semua yang masih tertidur di sana.

Semua orang langsung bergegas ke gerbang kampung, termasuk Mei. Di sana sudah banyak warga yang menghadang mobil polisi dan tentara agar tidak memasuki gerbang. Mei berlari cepat ke bagian depan barisan.

Para polisi dan tentara tampak turun dari mobil. Hari ini jumlahnya lebih banyak dibandingkan hari-hari sebelumnya dan semuanya bersenjata. Mei merasakan firasat buruk. Sesaat kemudian, setelah semua warga telah berkumpul, seorang pria tambun dengan baju rapi dan berkacamata hitam maju menghadap warga, tepat di depan Mei.

“Warga Bukit yang terhormat, sekali lagi kami datang bukan untuk menimbulkan kekacauan. Kami datang untuk membukakan jalan bagi kemajuan bangsa dan negara kita!” Kata pria itu lantang.

Semua warga mendengarkannya dengan seksama.

“Selaku bupati, saya amat kecewa apabila warga Bukit menolak kemajuan yang telah dicita-citakan sejak lama oleh leluhur di sini!” Lanjutnya dengan nada tegas.

“Tidak!! Tidak ada sejarah yang mencatat kemajuan diciptakan oleh tambang, Pak! Semuanya akan hancur, lagipula moyang kami tidak pernah memimpikan kemajuan yang banyak bohongnya!!” Teriak Mei keras di hadapan bupati.

Warga sontak menyahut “Setujuuu!!”

Mei tak ada takutnya, bahkan ketika bupati melepas kacamata hitamnya dan menatapnya tajam, ia tak tunduk.

“Baiklah, jika itu mau kalian!!!” Warga terdiam sejenak, sepertinya kemenangan sudah di tangan mereka.

“Mulai hari ini, tak akan ada lagi polisi dan tentara yang datang, rencana pembukaan tambang timah ini dibatalkan!!”

Mendengar itu, para warga melompat kegirangan, mereka berpelukan dan segera membopong Mei.

Bupati lantas memerintahkan semua polisi dan tentara untuk kembali. Setelah mereka semua pergi, warga segera menurunkan Mei. Mereka semuanya senang dan berbahagia menyambut hari kemenangan itu, kecuali Mei. Ia merasakan sesuatu yang aneh dan janggal. Seperti ada rencana terselubung yang mengintai pelan-pelan hendak menghancurkan mereka. Tetapi Mei tentu saja harus bersuka bersama warga Bukit. Kemenangan itu harus dirayakan.

Sebelum hari itu berakhir, Mei pamit pulang. Warga Bukit mengantarnya sampai gerbang kampung. Ia pulang dengan penuh rasa bangga. Akhirnya ia bisa tenang kembali mengurus keluarga dan kebunnya yang sudah dua bulan terbengkalai. Sore itu ia sampai di pintu rumah, diantar menggunakan sepeda motor oleh seorang remaja dari kampung Bukit.

Inang memeluknya ketika ia masuk ke rumah, begitupun kedua anaknya.

“Kenapa semalam tak pulang, Mei? Kami semua mencemaskanmu.”

Mei tak menjawab pertanyaan Inang, ia hanya tersenyum kecil sembari memeluk Inangnya dengan sekuat tenaga.

“Aku merindukanmu, Ibu.”

Mendengar itu, Inang tidak bisa berkata-kata, baru pertama kalinya ia mendengar itu dari mulut Mei.

Semuanya kini bernafas lega. Mei segera masuk kamar bersama anak-anak untuk beristirahat.

Kemenangan Mei dan warga Bukit membawa semangat baru. Dengan semangat yang baru itu, segera setelah matahari terbit, Mei bersiap diri hendak ke kebun.

“Selamat pagi, Ibu,” ucap Mei kepada Inang yang sedari tadi sibuk di dapur.

“Selamat pagi, Mei,” jawab Inang singkat sambil tersenyum menatap Mei. “Hendak ke mana?” Lanjut Inang penasaran.

“Aku ingin melihat kebun, sudah lama sekali tak diurus,” jawab Mei sambil menyiapkan peralatan. Inang menatapnya senang.

“Pergilah supaya cepat pulang, nanti anak-anak biar aku yang urus,” tukas Inang penuh kegembiraan.

Mei lantas langsung bergegas, ia sudah tak sabar melihat kebun yang lama ia tinggalkan itu.

Mei berjalan selama tiga puluh menit sebelum akhirnya sampai di kebun. Benar saja, separuh kebunnya sudah dirambah babi hutan. Rerumputan dan semak belukar bertumbuh liar di setiap petak yang dahulunya ditanami jagung.

Mei menghembus nafas panjang, mengingat kembali perjuangan kedua orang tuanya. Betulkah ada harimau yang demikian ganasnya di kebun ini? Ia bertanya dalam hati. Atau mungkin memang benar ada entitas yang di luar logikanya, yang warga kampungnya percayai sebagai Wolo?

Pertanyaan-pertanyaan itu tak sampai terjawab olehnya sendiri sebelum akhirnya sebatang kayu menghantam tepat di bagian belakang kepalanya. Mei langsung ambruk tak sadarkan diri. Darah mengucur deras dari kepalanya.

Sebelum kesadarannya benar-benar habis, Mei sempat mendengar seseorang berkata,

“Bukankah ini anak pemilik kebun yang dahulu kita bantai di sini?”

Kemudian gelap.

Mei, perempuan yang tegak berdirinya di hadapan kekuasaan, sejak hari itu dinyatakan hilang diterkam Wolo, Si Siluman Harimau. 

Comments

Popular posts from this blog

Ngeri, ada potongan kaki di tumpukan kayu jati untuk bahan bakar lokomotif kereta api kuna

Cerita misteri kelereng pembawa keberuntungan 3, hanya tiga tahun sudah menjadi orang kaya

Penyesalan Ayah