Di Pabrik Gula, Seorang Gali Hampir Mati
Pagi masih berkelebat hangat saat Salim mengayuh sepedanya melintasi pabrik gula yang sepi. Seperti mati suri, tak ada tanda-tanda pabrik gula itu masih beroperasi. Hanya ada seorang satpam di pos jaga. Di samping bangkai lori, Salim berhenti: melepas topi penutup rambut putihnya dan menghayati hembus-hela semilir angin. Dedaunan pohon angsana berguguran seperti kenangan dalam kepalanya.
Di dalam pabrik itu, ia pernah dianggap seorang gali. Ia digelandang satpam dan aparat, diikat tali kekang, lalu dibaringkan bersama gigil dingin yang merayapi tubuhnya. Bulu kulit Salim tiba-tiba berdiri penuh gidik ngeri. Bulu tubuhnya seakan-akan mengingat kayu, pentung, dan lonjor tebu. Pada suatu malam puluhan tahun lalu.
“Oh, ini provokatornya!”
“Dasar tukang protes!”
Gebuk merajalela mendera tubuh Salim. Pukul dan hantam terus menghujam. Kayu, pentung, dan batang tebu menghantam. Seorang satpam menggamit lengannya sambil bertanya: “Kau berani melawan negara, ha!?”
Sekali hentak, lengan Salim patah. Tulang bahunya seperti bergemeretak. Salim meringis dan merintih dan meraung: “Ba-pak! Ba-pak!”
“Apa kita buat dia gentayangan di pabrik ini, seperti bapaknya!?” tantang lelaki lain seraya menghantamkan sesuatu ke kepala Salim. Darah mengucur. Ambyar selonjor tebu. Untung, bukan kepalanya yang ambyar, batin Salim.
***
Seraya menata isi kepalanya, Salim mengitari pabrik. Pabrik gula di desanya ini sudah hampir runtuh. Tak berpenghuni. Menjelma markas hantu dan dedemit. Tembok-tembok telah mengusam. Besi-besi dan seng-seng telah aus dan usang. Sisa-sisa kejayaan pabrik telah menguap bersama zaman yang terus bergerak.
Ia terus menarik pedal sepeda selayaknya pedal ingatannya yang terus berputar. Mengenang saat-saat ia menonton pagelaran pengantin tebu bersama bapaknya. Hari itu, bapaknya mengeluarkan sepeda kumbang baru yang seolah-olah mengkilat penuh cahaya. “Ayo nonton manten tebu!” ajak bapaknya.
Penuh kegirangan, ia segera melompat ke boncengan belakang. Kaki bapaknya mengayuh pedal begitu lincah. Salim menempelkan tubuh kecilnya erat-erat pada punggung bapaknya yang gagah. Sesekali ban sepeda meleot-leot melintasi garis debu tanah. Di tepi jalan yang berkelok-kelok, sungai mengalir deras. Sederas mulut bapaknya meluncurkan cerita.
“Manten tebu ada sejak zaman Londo. Ketika pabrik gula hendak memulai giling. Selepas panen tebu. Nanti kamu akan lihat! Dua lonjor tebu terbaik—laki dan perempuan—dimandikan dengan kembang tujuh rupa. Dihias janur kelapa. Layaknya pengantin sungguhan. Di kebun-kebun tebu, orang-orang juga menabur bunga-bunga dan wewangian.”
Bapak terus mengayuh. Senja terasa begitu segar. Semilir angin dan harum uap air sungai membuat Salim kecil terkantuk-kantuk. “Manten tebu itu wujud syukur kita, para petani, pada Tuhan. Sudah diberi tanah subur. Telah dikasih hasil panen melimpah. Jika kita menghargai alam, alam juga menghormati kita dengan hasil panen terbaiknya,” kisah Bapak penuh nasihat.
Beberapa kilometer menjelang pintu masuk pabrik, lori-lori penuh tebu berjejer-jejer. Salim kecil makin penasaran. Seperti ia dan bapaknya, warga berduyun-duyun datang. Hendak menonton upacara buka giling.
“Kata orang-orang, sesaji manten tebu diperuntukkan bagi genderuwo-genderuwo di pabrik gula. Agar genderuwo kelak tak mengganggu pekerja pabrik.”
“Di pabrik gula, banyak genderuwo ya, Pak?” tanya Salim seraya makin menguatkan pegangan.
“Tak perlu takut, mereka tak akan muncul. Kan sudah dikasih makan sesajian,” jawab Bapak.
Mereka tiba saat sepasang lelaki-perempuan naik gerobak berkuda diarak keliling pabrik gula. Masing-masing menggamit selonjor tebu. Tertera nama pada batang tebu tersebut. Raden Bagus Rosan dan Dyah Ayu Roro Manis. Salim membacanya dengan terbata-bata. Gending gamelan bertalu-talu. Arak-arakan terus bergerak. Mereka membawa tumpeng, kepala sapi, dan ubo rampe. Salim dan bapaknya menonton tepat di bawah pohon-pohon trembesi yang rindang. Di samping lori-lori berderet-deret penuh tebu. Di ujung pabrik, truk-truk sudah mengantri kebak tebu. Di ujung pabrik yang lain, penjual aneka permainan dan penjaja ragam makanan berbaris-baris. Pengunjung berjibun dan berjubel-jubel.
“Salim! Ayo lihat roda gila!” panggil Bapak. Konon, kata Bapak, roda itu didatangkan dari negara jauh yang dulu pernah menjajah negeri ini. Negara mereka tak punya matahari hingga tak mampu menanam tebu. “Hanya pada pesta giling tebu, kamu bisa melihat roda gila. Roda penggiling tebu.”
Pesta giling tebu dihelat tujuh hari tujuh malam. Pagelaran wayang digelar semalam suntuk. Desa Temu penuh hingar-bingar kebahagiaan. Begitu juga hati Salim kecil. Karena ia pulang membopong macam-macam mainan: truk dan bus dan kereta api.
“Gula dan pabriknya, adalah anugerah bagi desa ini!” ujar Bapak. “Warga bahagia. Warga dapat kerja.”
Salim hanya manggut-manggut tanda setuju.
***
“Gula bukanlah anugerah, melainkan musibah!” pikir Salim setelah mendengar cerita-cerita Mbah Bejo. Salim mengadu padanya selepas kematian bapaknya yang berselimut kejanggalan.
“Kalau dulu bapakmu memuji-muji pabrik gula, ya jelas! Dia kan pekerja pabrik!” kata Mbah Bejo mengagetkan Salim. “Bagi petani, hidup tak semanis gula. Kami jelas tahu kalau harga tebu yang ditebas pabrik jarang sekali menguntungkan petani!” lanjutnya.
Mbah Bejo seringkali mengecer cerita di rumahnya—tempat kumpul para petani. Bahwa pabrik gula telah jadi musibah bahkan sejak pabrik gula pertama kali didirikan di negeri ini. Zaman Londo itu, para petani menjelma gali. Dengan beringas, mereka menyerbu rumah bekel dan pengelola pabrik sambil bawa kelewang dan golok dan pentung dan linggis dan parang. Petani berubah jadi preman-preman yang melawan akibat pabrik menyengsarakan mereka. Ambil pajak tanah tinggi-tinggi. Dipaksa tanam tebu yang harga hasil panennya tak seberapa. Padahal, padi lebih menguntungkan. Belum lagi, sungai yang berubah jadi abu-abu. Hasil tani tak sebaik sebelum pabrik gula berdiri.
“Kan sampai sekarang masih begitu, Mbah. Sungai penuh limbah,” timpal warga yang lain.
“Petani kecil macam kita bisa apa!? Puluhan tahun kita mengairi sawah dari sungai tercemar!” warga lain menyahut.
“Hasil panen padi tak pernah bagus. Apalagi saat musim giling tiba!”
“Belum lagi, debu membumbung sampai rumah!”
“Kampret! Katanya dulu pabrik menjamin takkan ada sebutir debu masuk rumah warga! Tai! Tai!”
“Kita harus berbuat sesuatu! Apa kalian mau jika hanya asap dan debu pabrik ini yang mengotori rumah kalian, tapi harga tebu anjlok terus! Dari dulu, kita menolak pabrik!” ucap Mbah Bejo dengan nada tinggi.
“Bahkan, kakekku pernah ditahan polisi Belanda karena protes dengan membakar puluhan hektar tebu!” lanjutnya. “Konon, upacara manten tebu itu hanya akal-akalan Londo dan para lurah. Agar warga senang kalau ada pabrik tebu. Warga bahagia sesaat dengan pasar malam, tapi aslinya menderita berbulan-bulan kemudian.”
“Meski kakekku dianggap gali dan bromocorah, aku bangga sebagai keturunannya!” pungkasnya.
Sering berkumpul bersama petani—setelah bapaknya mati, Salim menyimpulkan jika manten tebu dan pasar malam tak seindah kenangan masa kecilnya. Mendekati masa buka giling, amarah warga makin bergelora. Musyawarah warga makin rutin digelar. Desas-desus beredar jika Lurah bertindak di luar nalar. Warga mulai gerah dengan perilaku Lurah yang hanya memilih orang-orang terdekatnya untuk buka stan pasar malam pada pagelaran manten tebu.
“Pasti ongkos sewa stan-stan itu juga disikat lurah dan pamong-pamongnya!”
“Uang parkir juga diembat!”
“Dari dulu, tak ada lurah yang membela warga. Lurah selalu dan pasti berkawan karib dengan pabrik gula!”
“Yang kasih ongkos nyalon lurah kan juga pabrik!”
Mendengar keluhan petani, kebencian Salim pada pabrik gula makin berlarat-larat. Salim juga makin sering ikut berkumpul bersama para petani. Dan akhirnya, bersama para warga, Salim pun menggelar unjuk rasa di depan pabrik gula saat prosesi manten tebu. Memprotes limbah sungai dan asap pabrik. Mengutuk Lurah dan antek-anteknya yang menilap ongkos sewa stan dan dana parkir. Dan, tentu saja, menuntut kematian bapaknya yang terlindas roda penggilingan tebu.
Ketika malam tiba dan pasar mulai bergeliat, bentrok warga dengan satpam pabrik tak dapat dielakkan. Teriakan-teriakan membahana ke angkasa. Obor dinyalakan dan dilemparkan ke pabrik. Suasana ricuh. Kerumunan warga mulai bergerak anarkis. Kaca-kaca pabrik pecah. Dengan pentung di tangan, Salim menghantam kepala satpam hingga nyaris membunuhnya. Salim membabi buta. Kepal tangannya seolah tak terima ketika bapaknya mati dan pihak pabrik hanya berkata, “Genderuwo pabrik memilih bapakmu sebagai tumbal.”
Tiba-tiba, sekompi aparat datang. Ledakan pistol bermunculan. Bentrok mulai mereda. Tak ada korban jiwa. Namun, Salim ditangkap dan tubuhnya jadi sasak bagi penghuni pabrik. Tiga belas hari kemudian, ia pulang dengan tubuh remuk dan tulang-belulang patah. Kematian bapaknya tak pernah masuk pengadilan. Dianggap hanya kecelakaan kerja.
Sejak reformasi, hari itu adalah hari protes terbesar sekaligus terakhir pada pabrik tebu. Setelah itu, pabrik gula terus berproduksi dan beroperasi hingga zaman membunuhnya.
***
“Hei, Salim!”
Seseorang memanggil saat Salim hendak menaiki pedal sepedanya. Saking kagetnya, ia hampir terjengkang. Seorang satpam pabrik mendekat ke arahnya. Salim tak mengenalnya, meski ia telah membaca “Rudi” di seragamnya. Tak ada tetangganya bernama Rudi. Namun, Salim merasa begitu akrab dengan tatapan matanya.
“Lama tak jumpa kita! Ke mana saja kau!?”
Rudi terus mendekat. Salim mencoba menggali nama tersebut dari palung memorinya, tapi ia tak mampu mendapatinya. Satpam tersebut mengulurkan tangan. Salim membalasnya dengan jabat erat. Persis saat satpam itu menarik tangannya, terpampang tato kobra di antara ibu jari dan telunjuknya. Tato kobra yang pernah menggamit dan mematahkan lengan Salim selepas gonjang-ganjing upacara manten tebu.
Comments
Post a Comment