Dunia Ibu

 

mah sakit. Agar lebih cepat, ia sengaja masuk melalui halaman belakang, melalui deretan pepohonan yang teduh. Bang Reza lunglai menyambut Jehan. Mereka duduk di bangku panjang di bawah pohon ketapang yang rindang. Adik kakak itu hanya terpaut jarak dua tahun, macam kembar, atau seperti seumuran.

Jehan kaget melihat kedua mata kakaknya sembab. Bang Reza menangis? Walaupun Bang Reza berhati lembut, seingat Jehan, kakaknya itu jarang menangis. Bahkan waktu Ayah berpulang, Bang Reza terlihat tegar dan kuat. Jehan makin bingung saat Bang Reza memeluknya dengan erat. Suaranya parau.

“Ini gila,” katanya, sorot matanya mengambang, seolah tak tertuju pada satu titik.

“Kenapa, Bang? Bagaimana keadaan Ibu?”

Kakaknya melepaskan pelukan. Lama terdiam, dan itu membuat perasaan Jehan semakin tak menentu.

“Di kamar. Sekarang dia tidur, dikasih obat penenang.”

“Lho, kok penenang?”

“Dia histeris.”

“Kenapa? Kok asam lambung bisa jadi histeris?” Jehan semakin penasaran dan tidak mengerti. Bang Reza masih saja diam. Lengang suasana rumah sakit siang hari.

“Jadi… Ibu punya pacar,” Bang Reza membuka mulut.

“Hah?!” Jehan mendadak mual. Apa lagi ini?

“Pacar khayalan,” sambung Bang Reza. Pikiran Jehan semrawut.

“Pacar macam apa maksudnya, sih?”

“Kamu jangan komentar dulu…” potong Kakaknya. Jehan menarik nafas, menenangkan diri.

“Jadi, dalam 5 bulan ini, Ibu punya sosmed…”

“Siapa yang buatin?”

“Gak tahu. Yang pasti Ibu punya, mungkin ada teman reuni SMA-nya buatin. Nah, di situ, Ibu punya banyak teman baru. Salah satunya adalah Thoriq. Dia tinggal di luar negeri katanya.”

“Tapi pernah ketemu?”

“Tidak pernah. Namanya pun pasti bohong, juga alamat dia sebetulnya. Tidak ada yang tahu!”

“Terus?”

“Yah terus mereka berkawan, si penipu itu mengaku bahwa dia masih keturunan Indonesia, mereka ngobrol lancar pakai bahasa indonesia, aktif mereka berhubungan, komunikasi, terus…” Bang Reza diam sebentar seperti perlu mengambil oksigen untuk paru-parunya agar kembali penuh, membuangnya pelan-pelan. “Yah, begitulah, laki-laki itu merayu, dan kemudian menjadi dekat, sangat dekat dan membuat Ibu ketergantungan. Ibu tak bisa lagi membedakan yang nyata dan yang bukan. Orang itu berjanji akan menemui Ibu, akan tetapi semua terhambat karena dia terlilit hutang di pekerjaannya, dan dia membuat cerita seolah hanya Ibulah yang bisa membantu dia keluar dari pekerjaannya untuk bertemu Ibu secepatnya.”

“Ibu percaya?”

“Yah, begitulah.”

Jehan dan kakaknya terdiam dengan pikiran masing-masing.

“Dan ibu kasih pinjam?” Tanya Jehan.

“Betul.” Jawab Bang Reza, “Ibu meminjam-minjam uang dari orang, bahkan menjual juga perhiasannya.” Di Bagian ini suara kakaknya gemetar, “Perhiasan yang sebagian adalah kenang-kenangan dari ayah, semua sudah dijual!”

Jehan seperti limbung dan berusaha mencerna semua yang didengarnya ini dengan penuh kesadaran. Dia mencari pegangan, begitu pula kakaknya. Mereka berdua berpegangan saling menguatkan.

Semua seperti tidak masuk akal. Jehan telah sering mendengar berita-berita semacam itu. Kini terjadi pada Ibu. Ibu yang soleh, yang manis, tapi bisa begitu naif. Bahkan sampai menjual perhiasan dari Ayah yang begitu mereka sayangi. Terlintas banyak pertanyaan, apakah Ibu selama ini tidak mencintai Ayah? Pikiran mereka berkecamuk. Mereka merasa dikhianati.

“Abang ambil HP-nya saat ibu tibur,” Bang Reza berkata lagi. “Abang tahu semua obrolan mereka.” Suara kakaknya masih gemetar, lalu bertanya, “Apa salah kita, yah, Je?”

“Tidak tahu, Bang, ini memalukan.”

*

JEHAN dan Bang Reza memutuskan untuk mendatangi kamar Ibu. Mungkin Ibu sudah bangun, dan kalau suasananya tepat, mereka berharap bisa mendapatkan penjelasan.

Ya, agar rasa marah, sedih, kecewa serta kebingungan mereka tidak berlanjut jauh. Mungkin saja setelah membicarakannya dengan Ibu, ada sesuatu yang lebih pasti dari sekadar membaca semua pesan dari gawai. Karena semua masih juga menjadi pertanyaan.

Karena sebuah gawai, sepasang kakak beradik bisa melihat sebuah kenyataan baru tentang perempuan yang selama ini mereka kenal dan mereka cintai. Bahwa ibu mereka bisa menjelma menjadi seorang perempuan yang linglung. Seorang ibu yang mau saja meminjam-minjam uang, bahkan menjual perhiasan dari bekas suaminya yang telah pergi, untuk memberikannya kepada seorang lelaki yang tidak pernah ia temui.

Sesepi itukah hati dan jiwa Ibu?

Berkelebatan pertanyaan itu tanpa sedikit pun jawaban. Hingga akhirnya mereka bersama berada di kamar rumah sakit untuk meminta jawaban. Tetapi sejujurnya, Jehan dan Bang Reza tak tega hati setelah melihat langsung Ibu mereka yang duduk layu dengan senyum tipis nan bingung. Dia adalah korban. Mereka sadar itu, karenanya mereka tak membenci, setidaknya untuk saat ini.

“HP Ibu di mana, Bang?” Kata-kata yang ternyata pertama terdengar. Sungguh menyakitkan. Bukan membahas apa kabar anak-anaknya! Protes Jehan dalam hati.

“Ibu sudah baikan?”

“Masih pusing. HP Ibu di mana, Je?”

“Ibu kenapa pinjam uang?” Jehan tak bisa menguasai diri, dia kesal dengan pertanyaan Ibu saat pertama kali berjumpa. Jehan ingin protes! Mana ibunya yang bijaksana dan lugu itu? Dan mana ibu yang manis dan penuh cinta itu?

“Kembalikan dulu HP Ibu, agar ibu urus, dan uangnya bisa dikembalikan secepatnya.” Gemetar suara Ibu.

“Dikembalikan oleh siapa, Bu?” Bang Reza memotong. “Thoriq tidak ada, Bu. Dia penipu!”

Mendengar kalimat itu, Ibu meradang.

“Bang, kamu tega! Kamu membaca semua isi HP Ibu?”

“Ibu! Thoriq tidak ada!”

“Ada!!! Dia akan datang ke sini. Jangan khawatir, uang yang dipinjam akan dikembalikan!”

“Kata-kata dia semua bohong, Ibu!”

“Abang sudah cek semua. Ini sindikat dan banyak orang sudah tertipu, Bu!”

“Dia ada!” Ibu tambah meradang, tak mampu menguasai diri. “Kembalikan HP ibu!” Ibu meraung.

“Tidak ada, Bu!”

“Thoriq itu kepalsuan, yang dia katakan bohong semua, bohong! Sudah dilacak, penipu itu ada di Turki.”

Mendengar itu Ibu menangis tersedu-sedu.

“Tidak mungkin! Dia baik sekali, setiap hari dia temani Ibu, dia perhatian sama Ibu. Sampai Ibu mau tidur pun, dia selalu temani ibu lewat HP. Dia akan datang, dia pasti datang! Uang-uang pinjaman akan dikembalikan!” Ibu tersedu, seakan berbicara pada dirinya. Kalimat-kalimat sepi itu membuat hati Jehan dan Bang Reza terasa sakit.

Apakah Ibu kurang cinta dan perhatian dari anak-anaknya? Mengapa Ibu tak pernah berterus terang? Selalu saja bilang semua baik-baik saja, tak mau merepotkan. Begitu selalu Ibu bilang.

Tapi kini, ada rasa pedih pada hati Bang Reza. Dia menyadari sering dengan halus melarang Ibu berlama-lama di rumahnya, karena semata-mata menuruti keinginan istrinya. Ya, dia tidak ingin Ibu bertikai dengan menantunya, apalagi lebih dari sekali Ibu dan istrinya berselisih paham soal bagaimana memperlakukan anak mereka satu-satunya, sekaligus cucu Ibu satu-satunya.

Senyap. Jehan dan Bang Reza tidak tahu apa yang harus diucapkan. Selain diam dengan mata perlahan basah. Ibu mulai meradang. Berteriak meminta gawainya. Ia ingin membuka media sosialnya dan menghubungi orang yang bernama Thoriq. Orang yang tidak pernah ada. Iblis dan penipu yang telah memperdayanya dengan perhatian dan cinta.

Jehan dan Bang Reza sedih sekaligus marah. Hati mereka tidak karuan. Merasa bersalah kepada ibunya. Merasa marah kepada iblis yang bernama Thoriq. Suara ibu yang keras terdengar seperti sayup-sayup di telinga mereka.

“Kembalikan, Bang, kembalikan, Jehan! Kembalikan HP Ibu…”

“Ibu gak boleh dulu pakai HP dan tidak ada lagi boleh main sosmed, Bu, tidak baik juga buat kesehatan Ibu,” Jehan berkata.

“Nanti Jehan akan temani Ibu, sementara Jehan akan tinggal dengan Ibu,” Bang Reza membujuk. “Atau, Ibu mau di rumah saya, Bu? Miranti akan jaga Ibu. Kalau Ibu mau Abel juga pasti senang kalau neneknya datang.”

Tetapi Ibu tetap dengan pikirannya.

“Maaf, Bu, sudah tidak ada lagi sosmed Ibu. Itu ilusi, yang nyata dan yang bukan, bikin Ibu bingung.”

Mendengar kalimat itu, semakin marahlah Ibu, lalu ia mengguncang-guncang tubuh anaknya dengan frustasi, kemudian memukul-mukul dada anak lelakinya dengan tangisan.

“Tega sekali Abang, kenapa hapus sosmed ibu! Dia akan datang, dia sudah janji, sungguh! Uangnya akan kembali, Ibu pinjam itu uang, dia tidak mungkin jahat sama Ibu, dia akan kembalikan!” sedu sedan itu kemudian berubah menjadi tangisan sepi yang ganjil. “Dia akan datang…” isaknya.

Ada perasaan aneh mendengar tangisan Ibu. Ingatan kakak beradik itu belum mengenali perasaan tersebut, seperti mimpi buruk; dunia Ibu yang tak terbayangkan sebelumnya.

Perawat masuk kamar, tergopoh-gopoh. Memastikan semua baik-baik saja. Dia khawatir karena mendengar teriakan Ibu. Setelah selesai dengan tugasnya, perawat itu pergi.

Hening, dan kembali hanya mereka bertiga dalam pikiran masing-masing. Dalam dunia Ibu yang masih belum mampu terjamah oleh kedua anaknya. Samar suara Ibu berbisik.

“Kembalikan HP Ibu… .”

Comments

Popular posts from this blog

Ngeri, ada potongan kaki di tumpukan kayu jati untuk bahan bakar lokomotif kereta api kuna

Penyesalan Ayah

Cerita misteri kelereng pembawa keberuntungan 3, hanya tiga tahun sudah menjadi orang kaya