Hikayat Pembabakan Tembakau Deli-Klaten

 

Monceau tak habis pikir ia bakal meracik ramuan arsenik campur bubur bordo, substansi yang bikin kaisar terakhir Tiongkok, Guangxu meregang nyawa, demi menyelamatkan tembakau pesakitan di Deli. Semua ini gara-gara patolog di Belanda kurang dari hitungan jari, sehingga ia harus esa dalam regu Proefstation voor Vorstenlandsche Tabak ditemani satu ahli kimia dan satu ahli pertanian yang berangkat bersamanya dari Pelabuhan Texel. Delapan tahun ia berkutat di lahan Sultan Bumi Bahari demi menyelamatkan pokok, batang, dan daun tembakau, tapi atasannya Meneer Fliert malah tak mengharapkan perkebunan ini bisa ditolong.

Saat itu ia tengah menabur kapur tohor di atas kaki tembakau dan area tanah yang mengitarinya, Meneer Fliert dan Haji Mustakim tiba-tiba nongol untuk mengucilkannya sebentar dari regu penelitian, mengaraknya ke tempat sepi. Tiga puluh tiga pribumi yang juga dikerahkan dalam misi penyembuhan tembakau sibuk dengan racikan pupuk kohe (kotoran hewan), seperti biasa Monceau yang tiba-tiba diseret orang-orang penting ketika proses pengobatan berlangsung tidak membuat mereka kaget.

“Nanti malam kita menghadap Sultan Bumi Bahari―”

“Kami sudah tahu sumber penyakitnya,” Monceau memotong mukadimah Haji Mustakim, “saya jamin penyembuhan kali ini bakal berhasil.”

“Tidak, kawan, tidak,” Meneer Fliert meringis, “justru saat kau berhadapan dengan Sultan Bumi Bahari nanti, kau harus berkata padanya bahwa perkebunannya tak terselamatkan. Kau juga harus sampaikan padanya sebuah kemungkinan kecil nan muskil yang bisa ia lakukan untuk menyelamatkan perkebunan ini, ia harus mengundang paling tidak satu lusin peneliti dari Amsterdam, itu berarti ia akan rugi besar sebelum tembakaunya membuahkan keuntungan.”

Monceau disumpah atas nama ratu dan Yesus sebelum bertolak dari pelabuhan Texel, menjadi pelayan negara dan ilmuan bermoral. Pertama kali ia menginjakkan kaki di Hindia Belanda, ia juga disumpah untuk mengabdikan diri pada Meneer Fliert.

“Monceau, saya yakin Anda adalah ilmuwan, selain itu Anda berbudi pekerti luhur,” Haji Mustakim menyimpulkan sekejap setelah membaca kemelut pikiran Monceau. “Saya tahu Anda sudah menemukan solusi untuk perkebunan Sultan Bumi Bahari, tapi masalahnya adalah, demi alam apakah Anda membiarkan perkebunan ini tetap berada dalam pengawasan sultan bahlul? Apakah Anda rela membiarkan perkebunan ini dimiliki pribumi yang pengetahuannya sebatas pupuk kohe dan kohe?

“Suatu saat nanti penyakit-penyakit baru bakal datang, dan minta tolong ke siapa sultan bahlul satu ini kalau bukan pada Meneer? Ah itu bukan perkara ruwet kalau cuma minta tolong. Tapi, apakah Anda yakin Sultan Bumi Bahari adalah wali Allah yang layak dibebani tanggung jawab bumi?”

Meneer Fliert manggut-manggut dan Monceau sendiri tidak mampu menggeleng. Monceau ingat pernah melabrak Maneer Fliert satu bulan pertama ia ditugaskan ke Deli. Sultan Bumi Bahari mengumpulkan lusinan pribumi paling brilian di Deli untuk mengentaskan masalah tembakaunya.

Bulan pertama Monceau bekerja dengan para pribumi yang katanya brilian ini, mereka malah mencegat bocah-bocah liar di gang-gang dusun. Bocah-bocah ini kemudian dikerahkan ke perkebunan dengan instruksi mengantongi daun-daun yang terjalari virus dan memanen hama ulat di tubuh tembakau. Ini yang sebetulnya bikin Monceau pening, Sultan Bumi Bahari kerap berulah ngawur dan tak berdasar, semua demi penduduknya agar bisa sedikit lebih berguna.

Haji Mustakim benar, Monceau mulai serong dari persepsi awal. Sumpah seorang ilmuwan yang melatari moral dan prinsipnya tentu saja bisa bergeser untuk kepentingan yang lebih berfaedah. Lebih baik Maneer Fliert yang mengurusi perkebunan, orang yang lebih beradab, berpengetahuan, juga berduit, bukan begitu?

***

“Jadi apakah Tuan Monceau sudah tahu penyakit tembakau saya?” Kelesuan di wajah Sultan Bumi Bahari berlipat ganda, dan setelah lima tahun berlalu untuk praktik uji coba penyembuhan tembakau, kelesuan itu kini merupa adik tiri kematian menggantung di wajah baginda sultan.

Bahkan bila disebutkan nama penyakitnya pun, Sultan Bumi Bahari tak bakal paham. Jangankan memahami, mengucapkan nama penyakitnya pun lidahnya tak bakal mampu. Meskipun begitu Monceau tetap menyampaikannya, “Phytophthora nicotianae, Paduka Sultan.”

“Aduh,” Sultan Bumi Bahari mengaduh, “bagaimana menurut Tuan, apa yang mesti saya lakukan untuk penyakit… apa itu tadi?”

“Phytophthora nicotianae, Paduka,” Monceau sadar ini adalah saat yang tepat untuk berdusta, bibirnya tiba-tiba bergetar, dan ia harus bekerja keras untuk mengendalikan situasi. “Paduka Sultan tidak bisa berbuat apa-apa, saya datang ke sini untuk menyampaikan keputusasaan saya. Paduka Sultan akan bangkrut, penyakit ini memerlukan banyak pakar dari Belanda. Bahan-bahan yang dibutuhkan juga sangat mahal karena sudah langka.”

“Itulah mengapa Meneer Fliert membersamai Tuan Monceau saat ini, Paduka Sultan,” Haji Mustakim mengisi jeda. Saat ini tubuh Sultan Bumi Bahari melorot dari kursi, ia memijit kepala untuk memerangi kalut. “Tidak ada cara lain yang menguntungkan Paduka Sultan selain menjual tanah perkebunan pada Meneer Fliert―”

“Tuan mau membeli tanah saya yang tidak menghasilkan?” Sultan Bumi Bahari memangkas sembah takzim Haji Mustakim. “Mengapa Tuan melakukannya, padahal Tuan sendiri tahu perkebunan ini hanya bisa membuahkan kerugian?”

“Selama saya di Deli, Paduka Sultan menjamin kehidupan saya. Saya kira tidak ada cara lain untuk membalas budi Paduka Sultan selain membeli tanah-tanah tak bernyawa itu,” Meneer Fliert menandaskan jawabannya dengan tatapan meyakinkan―sayu dan tulus. Sampai Monceau terkesima, kira-kira di teater apa Meneer Fliert berguru?

“Tuan baik sekali,” halimun menyisih dari rona Sultan Bumi Bahari, sekarang ia mulai tersenyum dan menegakkan pundak. “Kalau begitu bersamaan dengan serah terima surat tanah, saya juga akan membunuhkan tanda persahabatan dan pembebasan. Anda, Meneer Fliert silakan melakukan kehendak Tuan, semua diperbolehkan dan saya sendiri yang menjaminnya.”

***

Sebagaimana virus itu sendiri, ia menggilas waktu, merajai Deli, lalu merebak hingga wilayah dengan suhu potensial; Doekoehan, Ngoepit, Klaten. Monceau tak lagi dibutuhkan di Deli, atas nama dinas ia didepak ke wilayah terpencil di lempengan bumi yang begitu asing baginya dan menelurkan ragam virus yang berbeda. Tiga bulan pertama di Klaten, Monceau menyewa lusinan buruh untuk menguji 3.028 bibit tembakau dan menempatkan seratus biji lainnya di pot untuk disebarkan di tujuh titik berbeda di wilayah Klaten demi menguji temperatur. Sementara, Deli Baru atau Medan Baru, ditargetkan bakal bermuara di Sporogedoog, Djonggrangan, dan Gajamprit.

Deli sudah bukan Deli yang ia kenal. Ratusan ribu buruh dari penjuru Hindia Belanda, juga dari dataran Tiongkok, Penang, dan India diguyur ke perkebunan tembakau Deli. Bersamaan dengan itu, Haji Mustakim dikabarkan menepati istana kesultanan yang tiangnya menjulang bertelekan ukiran khas Bangsa Moor di Andalusia. Monceau teguh dengan pendiriannya; kalau pribumi tidak menjual lahannya pada Meneer Fliert, bumi Hindia Belanda takkan menghasilkan apa-apa. Maka dengan sikap patriotik, ia bangga menenteng tasnya untuk menyongsong Klaten, antah-berantah.

Deli dan Klaten adalah dua objek penelitian yang luar biasa berbeda, tapi keduanya tidak mengubah kebiasaan Monceau. Di pagi buta Monceau sudah nangkring dengan kaca pembesarnya, menyorot sumsum batang tembakau yang daunnya keriting. Tangannya sibuk menggambar urat tanaman yang menurutnya terjangkit jamur atau bisa jadi kena kejutan iklim. Ia berhipotesis dengan dirinya sendiri, memeras otaknya juga untuk menemukan jawaban sendiri.

Tubuhnya bisa mangkrak di tempat yang sama hingga berjam-jam; menggambar area batang yang terjangkit dan menekuri reaksi jamur pada udara dan semprotan obat. Ia bisa melakukan itu bahkan sampai senja menjelang, sambil membayangkan, ia sudah setara dengan para kesatria yang rela mati di medan perang untuk negeri, padahal dari seluruh usahanya ini, ia dihadiahi wasir dan gagal ginjal.

Ia membayangkan kelak di kemudian hari, dalam waktu dekat dan pasti, Klaten bisa sama berhasilnya dengan Deli. Kalau sudah membayangkan ini Monceau bakal nyengir sendiri; ia merasa lebih berguna dari mereka yang berkuda dan mengacungkan pedang, tanpa dirinya, Belanda takkan mampu menebus biaya perang dan senjata yang diselundupkan.

Aduhai Monceau terbuai, itu juga berarti, baginya, ia adalah pahlawan pribumi itu sendiri, bahkan seluruh Asia berhutang padanya; ribuan babu Tiongkok dikerahkan ke perkebunan Deli dan puluhan ribu lainnya suatu saat nanti juga bakal tersebar di seluruh Jawa. Kalau sudah begini, rejeki bukan di tangan Tuhan, rejeki di tangan Monceau.

Maka tak heran bila Monceau, sebelum tidur dan gosok gigi, menghayati keagungannya mengenakan seragam serba putih, dari ujung kepala hingga kelingking kaki, menjejak papan penopang yang liangnya mengayomi berbanjar-banjar babu yang mengesot bertelanjang dada diawasi para mandor. Babu-babu ini, jangankan bekerja, sekarat juga diawasi mandor. Kalau sudah banyak yang mati bergelimpangan, mandor tinggal memesan babu. Lagi pula mengusung ribuan babu dari Tiongkok misalnya, tak terlalu merepotkan, kalau ada yang mati terjepit, sesak di kapal, mayat tinggal dibuang di perairan Pasifik.

Ia ingat betul rasanya berdiri di antara mereka yang merangkak, ia bahkan hapal di luar kepala berapa ratus babu yang dipekerjakan di bandar-bandar Deli, kecuali total yang mati. Lama kelamaan ia juga memikirkan, ada baiknya buruh Klaten juga mengesot begitu, kalau perlu dirantai saja lehernya―sebuah bangsa juga harus belajar mengenal siapa yang mendulang dan siapa yang menelan.

Dengan suka cita Monceau kemudian melayangkan surat ke Deli;

Meneeratas nama pengabdianku pada negeriatas nama kemanusiaan dan sainsaku bersumpahtak lama lagiKlaten juga gemilang seperti Deli.

Klaten, sebagaimana prediksi Monceau di kemudian hari telah gemilang. Ia sudah semahir peramal gipsi nomaden yang kebetulan singgah di Kota Macondo. Begitulah kejayaan demi kejayaan, yang kata orang hanya hal baik yang bisa membuahkan hal besar dan perubahan signifikan. Sedangkan zaman ini, lembar keagungan tak terbuka, kecuali bila kebaikan ditumbalkan di bab pertama. 

Comments

Popular posts from this blog

Ngeri, ada potongan kaki di tumpukan kayu jati untuk bahan bakar lokomotif kereta api kuna

Penyesalan Ayah

Cerita misteri kelereng pembawa keberuntungan 3, hanya tiga tahun sudah menjadi orang kaya