Lagu Malam yang Terpenggal
Ibu sangat menyukai lagu Ave Maria. Lagu itu selalu dinyanyikan, dengan suara gemetar. Suara yang berpilin nada menjelma jadi gelombang yang menembus pori-pori udara. Ruang sekitar pun terasa bergetar.
Berulang kali ibu menyeka air matanya. Aku mendekatinya. Menggenggam tangannya. Sangat erat. Udara malam terasa padat.
“Ibu istirahat saja … Sudah malam …” kataku mengusap basah pipinya yang penuh kerutan.
“Lagu belum selesai, nduk. Biarkan ibu tetap di sini …”
“Kubikinkan wedang jahe ya … Biar suara ibu tidak parau …”
Ibu mengangguk. Aku bergegas menuju dapur. Ave Maria terdengar sayup-sayup. Ketika aku sedang mengaduk wedang jahe, mendadak suara ibu tercekat lalu terhenti. Kontan aku kembali menuju kamarnya. Ibu tersungkur di atas kasur. Kubangunkan dia. Kecemasan terasa menikam-nikam dada.
“Ibu, kenapa?”
Ibu tak menjawab. Dua aliran anak sungai membelah pipinya.
“Aryo ….” ucap ibu. Lirih sangat lirih. Aku langsung mengambil minyak kayu putih dan menggosokkannya ke dada ibu.
“Aryo …” ucap ibu, makin lirih.
Aku berbisik di telinga ibu, ”Mas Aryo pasti pulang …”
Mata ibu yang lelah, menatapku. Penuh pengharapan.
***
Aku sering merasa bersalah setiap mengucap, “Mas Aryo pasti pulang”. Itu sama saja menyiksa hati ibu. Mas Aryo sudah puluhan tahun hilang … atau dihilangkan. Entah oleh siapa. Rezim penguasa telah berganti-ganti, tapi tidak ada yang tegas memberikan jawaban pasti.
“Nduk, Sawitri …, besok kamu ke Komnas HAM lagi kan … Tanyakan nasib kakakmu,” ucap ibu sambil menyiapkan sarapan. Nasi putih, sayur lodeh dan ikan asin. Tak lupa tempe garit goreng dan sambal terasi.
Aku terdiam. Menatap susunan menu yang menunggu disentuh itu.
“Kamu tak mau ke Komnas HAM lagi ya? Bosan? Capek?”
“Bu …, Komnas HAM juga bingung kasih jawaban.”
“Begitu ya? Aneh … Itu kan tugas mereka …”
“Benar … Tapi kasus penculikan mahasiswa tahun 1998 itu kan tidak sesederhana yang kita kira, Bu … Sangat rumit. Sangat pelik.”
“Terus kita hanya pasrah. Menyerah?”
“Ya, tidak, Bu…Tetap berusaha. Entah sampai kapan.”
“Apa perlu kita minta tolong malaikat?”
“Lho, ibu kan setiap waktu selalu berdoa pada Tuhan.”
Ibu tersenyum kecil. “Iya, iya … Tapi Tuhan kayaknya belum berkenan mengabulkan. Tapi saya akan terus meminta, memohon, sampai Tuhan terharu …”
Aku tersenyum. Kucium aroma sedap sayur lodeh yang masih panas.
Tangan ibu sibuk meracik makanan di piring. Satu piring diberikan padaku. Satu piring untuk dia. Dan satu piring diletakkan di tengah meja.
“Itu untuk siapa?” tanyaku penasaran.
“Untuk masmu, Aryo. Dia pasti datang. Aku selalu masak lodeh kesukaan dia …”
Hatiku tersayat. Nasi di piring tak kusentuh. Yang terbayang hanya wajah Mas Aryo.
Wajah ibu mendadak berubah semringah. “Nah …dia datang kan … Ayo … Aryo segera sarapan …”
Hatiku terbadai. Tangis pun tak bisa kutahan. Dadaku sesak.
“Kamu sehat Aryo? Syukurlah … Puji Tuhan. Oh ya, Sawitri sekarang sudah kuliah … Dia pintar seperti kamu … Tapi soal pacar, dia belum pernah cerita …” Ibu bicara sambil menatapku lalu beralih ke kursi kosong.
Ibu sangat bergairah bicara. Semua dia ceritakan. Dari soal bapak yang meninggal karena serangan jantung sampai renovasi rumah. Tak ketinggalan cerita tentang ayam-ayam peliharaan ibu yang rajin bertelur. Juga tanaman sayuran yang sangat subur dan bunga-bunga yang mekar harum. Dan, kolam ikan yang ditebari bibit ikan nila.
“Kapan-kapan kita panen ikan, Aryo … Kamu datang ya …” ucap ibu sambil menuangkan air putih di gelas kosong dan menyodorkan pada “Mas Aryo”.
Tangisku makin terisak-isak. Dadaku semakin sesak.
“Sawitri … Lihat, mas mu Aryo makan sangat lahap …”
Kulihat isi piring untuk Mas Aryo, tetap utuh.
Ibu lalu diam. Dia mengajakku berdoa, bukan hanya untuk mengucapkan rasa syukur pada Tuhan tapi juga untuk mengantar Mas Aryo pamit “meninggalkan” rumah.
“Jaga dirimu baik-baik, Aryo …” Ibu menutup doanya.
***
Dingin malam menggigit tulang. Ruang dan waktu membeku. Jam dinding berkeloneng dua belas kali. Ibu tampak sudah siap di kamarnya. Tangannya memutar tasbih. Mulutnya komat-kamit. Beberapa saat kemudian, terdengar alunan Ave Maria. Tak terhitung lagi lagu itu sudah dinyanyikan ibu. Mungkin sudah ribuan kali. Ibu selalu menyanyikannya dengan khidmat dan takzim, meskipun suaranya terdengar parau. Juga selalu bergetar.
Usia ibu kini sudah lebih dari 75 tahun. Namun badannya masih lumayan sehat. Kecuali batuk-batuk kecil yang mengganggu, kiranya tak ada penyakit lain yang menggerogoti. Kadar gula dan kolesterolnya normal. Juga tensi darahnya.
Ibu rajin minum jamu yang dibuatnya sendiri. Daun beluntas, daun pepaya, adas, jahe, kunir, asam dan kencur dia tumbuk sampai halus. Kemudian diperas dan disaring. Airnya lalu diminum. Kadang ibu juga mencampurinya dengan madu dan telur ayam kampung.
“Sejak muda aku selalu minum jamu, nduk.”
Aku mengangguk. Bangga. Kutatap wajah ibu lekat-lekat. Ada cahaya di dalam sorot matanya. Di antara kerut-merut wajahnya, masih tampak garis-garis kecantikan. Juga senyumnya yang manis dan selalu disertai lesung pipit di pipinya.
“Besok kita ziarah ke makam bapak ya … Aku akan cerita banyak soal Aryo yang masih sering pulang ke rumah dan makan bersama kita …”
Aku mengangguk. Aku juga rindu bapak. Sudah hampir sepuluh tahun bapak meninggal. Dia sakit-sakitan sejak Mas Aryo dikabarkan hilang setelah kerusuhan melanda ibu kota. Waktu itu, para demonstran mahasiswa menentang tiran. Demonstrasi besar-besaran itu menimbulkan kekacauan. Peluru-peluru tajam melesat-lesat. Berdesingan. Banyak mahasiswa roboh ditembus timah panas. Rakyat pun murka. Mereka ikut melawan tentara dan polisi.
Ibu kota pun terbakar. Entah siapa yang memulai dan melakukan, banyak supermarket dijarah massa. Banyak orang berhasil menggondol barang-barang elektronik, makanan dan minuman, tapi tidak sedikit pula yang mati terpanggang api dan jadi arang. Orang-orang itu seperti dijebak. Mereka didorong masuk ruang, lalu seketika api pun menyambar-nyambar.
Setelah kerusuhan pecah, Mas Aryo tidak pernah pulang ke rumah. Dia hanya sekali menelepon ibu. Katanya dia sedang dalam pelarian karena dikejar tentara.
Arum, pacar mas Aryo, suatu hari menelepon ibu. Dengan menangis, dia bilang, Mas Aryo dan kawan-kawannya diculik dan ditahan. Arum pun bilang, Mas Aryo diinterogasi dan disiksa agar mau mengaku sebagai otak kerusuhan. Sejak saat itu nasib Mas Aryo tidak jelas.
***
Jam dinding berkeloneng satu kali, mengabarkan pagi sudah datang bersama embun yang melekat di daun-daun. Ibu belum juga tidur. Dia masih khusuk berdoa. Terdengar suara isak tangisnya. Lalu disusul sayup-sayup nyanyian Ave Maria.
Ave Maria belum selesai dilantunkan, mendadak terdengar suara ketukan pintu. Aku kaget. Cemas. Juga takut tapi ibu menyuruhku membuka pintu.
Di depan pintu berdiri seorang pria kekar. Wajahnya sangar. Kumisnya tebal. Tatapan matanya tajam. Nanar. Ibu menemuinya dan mempersilakan dia masuk.
“Maaf mengganggu. Maaf … Eeee … Apa benar ibu ini bernama Sekar Kinasih?” ucap laki-laki itu setelah duduk di kursi.
Ibu mengangguk. Pelan. “Saudara siapa? Dan kenapa datang ke sini?” ucap ibu, tenang.
Laki-laki itu tersenyum. “Nama saya tidak penting. Ibu bisa memanggil saya dengan sebutan apa saja. Lelaki Asing atau apalah … Terserah …”
Ibu curiga dan mencoba menebak-nebak apa maunya tamu itu.
“Benar, anak ibu bernama Aryo Seto Nugroho …?”
Ibu tampak tersengat. “Kok saudara tahu …?”
Laki-laki itu terdiam. Menarik nafas dalam-dalam, lalu dihembuskan pelan-pelan. Wajahnya mendadak berubah. Tidak lagi sangar tapi ramah.
“Maafkan saya ibu … Maafkan …”
Ibu kaget. Heran. Dia tatap wajah laki-laki asing itu.
“Ibu mau kan memaafkan saya?” ucap laki-laki itu lirih. Berat.
“Apa masalahnya?” Ibu menatap tajam laki-laki itu.
Laki-laki kekar itu menghela nafas. “Boleh saya bicara jujur?”
Ibu mengangguk.
Laki-laki itu tampak gelisah. Keringat membasahi wajahnya. Suara detak jarum jam dinding terdengar sangat keras. Agak lama, laki-laki itu terdiam. Yang terdengar hanya tarikan nafas. Disusul tangis yang tertahan. Ibu pun tampak semakin heran.
“Saya menangis untuk putra ibu. Aryo ….” ucapnya tertahan.
“Apa hubungan saudara dengan persoalan anak saya?”
Laki-laki itu kembali terdiam.
“Bisa saudara katakan?” desak ibu.
Beberapa detik tanpa suara. Kesunyian terasa mengeras dan menekan. Ibu menatap wajah laki-laki itu. Ingin segera dapat jawaban.
“Tapi janji ya … Ibu mau memaafkan saya …”
“Katakan dulu apa masalahnya.”
Diam beberapa detik, laki-laki itu pun mengucap, “Saya yang ditugaskan menculik anak ibu, Aryo Seto Nugroho ….”
Ibu sangat kaget, seperti tersengat aliran listrik. Wajahnya tegang. Matanya nanar. Tampak berbagai perasaan mengaduk-aduk hatinya. Ibu tak bisa bilang apa-apa. Kemudian, aku yang ganti bicara.
“Sekarang di mana Mas Aryo?”
Laki-laki itu menghela nafas. “Saya tidak tahu. Terakhir kami ketemu kira-kira dua bulan setelah penculikan beberapa tahun lalu. Saat itu dia dibawa rekan kami dengan mobil. Entah ke mana ….”
Dadaku terasa ditindih batu besar. Darahku terasa mendidih. Namun aku mencoba menguasai perasaan.
“Coba bayangkan kalau anak bapak bernasib seperti Mas Aryo.”
“Itulah yang selalu menghantuiku.”
“Hanya demi rasa bersalah bapak minta maaf? Enak sekali. Bapak tidak merasakan penderitaan kami.”
“Ampuni saya … Ampuni saya …”
“Bapak saya meninggal gara-gara memikirkan nasib mas Aryo. Ibu saya puluhan tahun tersiksa. Apa semua itu bisa ditebus dengan permintaan maaf? Tidak bisa. Tidak bisa. Mas Aryo itu segalanya bagi kami!”
Laki-laki itu menangis.
“Kami tak butuh air mata bapak. Kami hanya ingin mas Aryo kembali!”
Ibu mencoba menenangkan aku. Digenggamnya tanganku.
“Waktu itu, saya cuma sekadar menjalankan tugas …” ucap laki-laki itu.
“Itu bukan urusan kami. Dan, kenapa bapak mau? Kenapa!? Bapak kan bisa menolak!”
“Itulah kelemahan saya … Saya selalu takut pada pimpinan. Juga takut dengan semua risiko jika tugas itu saya tolak. Saya sangat mencintai anak-anak saya, keluarga saya …”
“Untuk semua itu, bapak harus mengorbankan Mas Aryo!?” Kejengkelan semakin merayap di dadaku.
“Maafkan saya. Ampuni saya …”
“Pokoknya mas Aryo kembali! Harus dikembalikan! Harus!”
Ibu terdiam. Laki-laki itu tampak sangat cemas. Mendadak dia mengeluarkan pisau lipat dari saku celananya. Ibu dan aku langsung berdiri. Menjauh. Khawatir dia menyerang kami.
Namun laki-laki itu tetap duduk, matanya terpejam. Tiba-tiba tangannya berkelebat, menggoreskan pisau lipat itu di urat nadi tangan kirinya. Darah pun mengalir.
Sontak kuraih taplak meja untuk membebat tangannya. Namun darah itu tetap mengucur. Deras.
“Kalau bapak ingin mati silakan, tapi jangan di sini!” ujarku sambil mendorongnya keluar dari ruang tamu.
Laki-laki itu terhuyung-huyung pergi. Lalu, tubuhnya lenyap ditelan kegelapan dini hari. Di depan pintu tampak ceceran darah ….
Kupeluk ibu. Sangat erat. Ia kubimbing duduk di kursi beranda. Dengan tangis tertahan ibu berusaha melantunkan Ave Maria. Kurasakan udara bergetar.
Dalam tempias cahaya temaram lampu teras, lamat-lamat, aku melihat wajah mas Aryo. Wajahnya bersih. Bercahaya. Senyum pun selalu mengembang.
Comments
Post a Comment