Magi dan Molko

 

Di toko daring Mimpy terpampang slogan: segalanya bisa dibeli kecuali waktu.
Kau tinggal buka gawai, ketik apa yang kau mau, tentukan detailnya; bentuk, warna, atau sifat, generator cerdas akan menghadiahimu kado impian lewat mesin cetak tiga dimensi paling mutakhir. Tipenya bervariasi. Semakin mahal akun berlangganan, kado impianmu akan terlihat makin sempurna.

Teman-temanku di sekolah kerap pamer barang baru. Sepatu baru, gawai baru, baju baru, mobil baru, tas baru, laptop baru, rumah baru, sedang aku hanya ingin seorang pacar di hari ulang tahunku.

“Belum cukup umur, Magi,” Mama berucap dingin. Pembukaan yang nyaris berupa horor untuk sebuah sarapan di meja makan.

“Urusan cinta itu rumit.” Papa menceletuk lebih moderat.

“Umur berapa untuk sampai lebih dari cukup?”

“Delapan belas.”

Jadi, aku harus menunggu 3 tahun lagi di neraka?

“Semua teman-temanku sudah punya pacar. Malah mengoleksi.”

“Itu manusia asli?” kata Mama, lagi-lagi. Bagiku nama lain dari keaslian: obsesi.

“Apakah kalian orang tua asliku?”

Deg!

“Magi ….”

Mama melotot. Urat-urat biji matanya seperti akar belukar. Papa dan Mama saling tatap tak percaya. Sendok garpu kutaruh. Tiga perempat nasi goreng masih utuh di piringku. Aku permisi dengan tertib tanpa bicara sepatah kata pun karena itu bakal jadi bara.

Sebelum mengecilkan volume televisi di ruang tengah, aku berhenti di muka akuarium oval. Ikan-ikan asyik berdansa. Mulut-mulutnya celangapan. Seperti lapar. Seperti bicara. Aku bungkam dengan rasa kenyang.

***

“Anak sekarang parah ya,” Papa geleng-geleng membaca berita soal perundungan di sebuah portal. Mama terkejut di lain waktu setelah dihubungi oleh guru, kasus itu juga terjadi di sekolahku. Mereka memang orang tua yang gampang terkejut. Seminggu kemudian, giliran aku dibuat kaget. Seorang kurir tiba-tiba nongol di pagar rumah mengantarkan paket jumbo. Tercantum di dalamnya kartu ucapan “Selamat Ulang Tahun” yang sebetulnya agak terlambat.

Kado impianku?

Pelan-pelan kubuka bungkus berwarna merah jambu. Seonggok paras menyembul malu-malu. Matanya biru kaukasia. Kulitnya seputih gading. Rahangnya batu karang. Ia punya senyum yang diracik spesial untuk membikin gadis mana pun mabuk kepayang.

“Hai, aku Magi,” sapaku. Ia balas dengan salam lintas agama. Sungguh sopan suaranya merasuk ke telinga.

“Kamu siapa?”

“Aku ini binatang jalang. Dari kumpulannya terbuang.”

“Haha, maksudnya namamu.”

“Namaku Bento. Rumah real estate. Mobilku banyak ….”

Ah, mereka terlalu banyak menyetel level humor di programnya.

“Kamu lucu. Gagah. Tapi aku butuh nama.”

“Apalah arti—”

“—Sebuah nama. Supaya Shakespeare bisa menulis judul ‘Romeo dan Juliet’?”

“Aha! Molko66656911945NKI212. Bila menyusahkanmu karena terlalu banyak kata sandi yang harus kita hafal dalam kehidupan ini, Molko cukuplah sudah.”

Dobel M. Magi dan Molko. Balada roman yang sempurna.

***

Ini bukan hari yang biasa ketika kau malas bangun pagi karena semua yang bakal kau lewati hanya rasa muak. Hari pertama Molko menjemputku sepulang sekolah, sukses membikin geng Barbie Lampir gempar.

Kening licin mereka berkerut. Bagaimana bisa gadis kikuk, berjerawat, pendek, payah dalam berhitung dan bahasa ini bisa punya pacar kualitas idola. Mungkin saudara jauhnya, atau sopir keluarga yang kebetulan tampan, mereka menghibur diri. Mereka pikir ini guna-guna. Hari gini. Mereka tampar pipi sendiri. Sakit? Tapi tak berdarah. Itulah realita, geng.

Molko mengawalku tanpa jas dan tameng. Kehadirannya membikin nyali preman sekolah ciut. Rara gembrot tak berani lagi menabrakku dengan koleksi lemaknya. Budi pengkor tak lagi mengejekku di depan kelas. Dara menor tak mampu lagi menghinaku, karena bila dia coba-coba, aku bakal membeberkan kisah rahasia tentang anak seorang wanita panggilan kelas cupang yang bercita-cita jadi istri seorang perwira.

Molko mengajariku matematika dan sastra, selain jurus-jurus bela diri mematikan dan trik paling ampuh membungkam nyinyir celotehan. Ia menemaniku les, nonton bioskop, datang ke acara-acara konser musik, dan pertunjukan seni. Bahkan ia tetap ada di sampingku menunggu mataku terpejam. Tapi senang, kadang tak diizinkan lama-lama.

“Sayangnya kamu tak bisa terus tinggal di rumah ini. Kamu harus pindah. Cari kontrakan,” kataku suatu hari.

“Kenapa?”

“Kita belum menikah. Orang tuaku mulai dicibir tetangga. Biasalah.”

“Mengapa orang-orang harus menikah?”

“Ah, susah menjelaskannya.”

“Selalu ada penjelasan untuk apa pun.”

“Pokoknya kamu harus pindah sebelum warga datang menggerebek. Lagi pula kita bakal bosan kalau bertemu setiap waktu.”

***

Kulihat layar, ada 17 panggilan tak terjawab, 8 pesan belum dibaca, 45 colekan di medsos selama 7 hari berturut-turut dari 1 makhluk yang akhir-akhir ini menjadi lumayan bertabiat ganjil. Ganjil mungkin eufemisme. Entah sebutan apa untuk ekstremitas dari si penyayang humoris ke lelaki posesif yang gemarnya menguntit. Kerasukan? Android apa pula yang mampu dirasuki roh penasaran?

“Aku hanya ingin melindungimu. Aku mencium gelagat tak bagus dari Dion,” ungkap Molko padaku. O ya, Dion satu-satunya teman priaku di kelas yang wibu dan pintar—berkhayal.

Kecuali itu, Molko juga pencium gelagat paling sengit pada: pak Boni, guru lesku yang gemulai dan belum kawin-kawin; Elda, tetanggaku yang tomboi yang lihai memainkan double stick; Tamtam, kurir paket langgananku yang aromanya seperti ikan asin sangit; Sapin, sopir rumah yang kalau di jalan gampang naik darah, bahkan; Leo, seekor kucing oranye belaka.

Tanpa jas dan tameng, Molko lebih menyerupai Ibu di film lawas Pengabdi Setan yang bisa mendadak nongol tanpa aba-aba. Aku tak bebas ke mana-mana. Repot juga pacaran begini.

“Kamu kok jadi kayak manusia, egois. Cemburu buta!” kataku tepat di hari keseratus sejak buka bungkus.

“Hati kamu yang seperti robot.”

“Kok jadi aku?”

“Kamu mulai jaga jarak dariku. Kamu bosan?”

“Hah?!”

“Tujuanmu tercapai. Kamu memanfaatkan aku saja.”

“Apanya yang ….”

“Iya, kan? Mengakulah.”

Sejak pindah ke flat kumuh yang akses lalu lintasnya sudah semrawut sedari zaman Pemilu masih menggunakan paku di perbatasan distrik, isi kepalanya jadi kalang kabut. Terbiasa bersama, jarak merusak algoritmanya.

Sekarang ia merusak kulitku. Mata kiriku membiru, layaknya ditempa tinju. Intuisi Mama dan Papa lebih lancip dari kelihaianku membisu.

“Papa komplain saja ke Mimpy. Masih garansi, kan. Belum setahun kok kelakuan sudah bobrok.”

“Dia seri paling mahal, padahal.”

“Atau kembalikan ke setelan pabrik. Jual lagi.”

“Jangan dulu,” sergahku, “ini juga salahku. Terlalu serius berlatih tanding Kung Fu. Bukan disengaja.”

Mencegah mereka merasa benar sejak awal dengan membela Molko meski ia telah melabrakku rasanya betul-betul bikin sumpek!

***

Sebagaimana kejahatan, tak ada romansa yang sempurna. Sudah cukup semua. Aku ingin mengakhirinya tanpa drama. Tanpa racun atau salah satu dari kita tenggelam membeku di lautan Atlantik.

Benar kata orang, merasakan cinta berarti siap-siap dungu bersama.

“Silakan kakak. Ada yang bisa saya bantu?” Seorang petugas menyapa ramah.

“Saya ingin mematikan total layanan.”

“Divisi produk?”

“Humanoid.”

“Sebentar.” Ia mengetik sesuatu di depan layar.

“Kode produk?”

“Molko66656911945NKI212.”

“Dipesan atas nama siapa sebelumnya?”

“Ah, mungkin orang tuaku.”

“Begini kak, mematikan total produk mirip eutanasia. Bila akan dieksekusi sepihak, hanya si pemesan yang berhak mengajukan.”

“Tak ada pengecualian?”

“Saya bisa ajukan diskresi kalau sifatnya darurat.” Nana—di dadanya tertulis sebuah nama. Bulat tajam matanya. Mungkin orang baik.

Aku membuka jaket. Melepas kacamata hitam. Kuperlihatkan lebam dan kedua tanganku yang penuh dengan luka. Matanya terbelalak.

“Kita sama-sama perempuan. Mbak Nana ingin mengintip punggungku?”

Ia menggeleng penuh empati, “Sudah cukup. Nama kakak siapa?”

“Magi. Magi Darasvati.”

Ia mengetik sesuatu, membaca pelan-pelan dengan bibir seolah merapal, lalu sedikit kebingungan. Bolak-balik ia memandangi wajahku dan layar seperti menonton pertandingan tenis.

“Tolong matanya menghadap ke alat pemindai.”

Kedua mataku disinari sesuatu. Bunyi bip, data masuk. Ia terkesiap.

“Kenapa mbak?” tanyaku heran.

Agak ragu ia hendak berujar.

“Nama lengkap kakak … Magi88884911998NKI001.”

Mataku tiba-tiba kabur. Seluruh badanku melunglai.

***

Dalam remang, terdengar sayup-sayup suara di sekitarku. Seperti dekat, namun jauh.

“Pilihan kita mungkin salah.”

“Mungkin ada korsleting di kepalanya.”

“Aku hanya ingin menjadi ibu seutuhnya.”

“Sudahlah, tak perlu dibahas lagi.”

“Seharusnya kita jujur padanya sejak awal. Maafkan kami, Nak.”

“Semoga kondisinya tak parah, bisa diperbaiki.”

Semoga saja tidak.

Mungkin masa aktifku memang sudah habis. Tak perlu diperpanjang.

Dan kuharap kalian akan menguburku, sebagaimana layaknya manusia jika sudah datang waktunya.

Comments

Popular posts from this blog

Ngeri, ada potongan kaki di tumpukan kayu jati untuk bahan bakar lokomotif kereta api kuna

Penyesalan Ayah

Cerita misteri kelereng pembawa keberuntungan 3, hanya tiga tahun sudah menjadi orang kaya