Matinya Seorang Gali

 

Sebenarnya Wiryo hanya perlu menarik pelatuk saja. Selanjutnya, biarlah si timah panas yang bekerja, menjebol tempurung kepala pimpinan preman—atau orang-orang biasa menyebutnya gali—yang selama puluhan tahun begitu ditakuti di Karang Gembol. Dan keesokan harinya, koran lokal mungkin akan menampilkan sebuah berita dengan judul, “30 Tahun Tanpa Kabar, San Turham Akhirnya Tertembak Mati.”

Namun, semua itu tidak terjadi. Tidak penembakan itu, tidak pula judul berita di koran lokal itu. Manakala San Turham benar-benar tersudut di rumahnya, pelatuk itu begitu berat ditarik. Jari telunjuk Wiryo seperti membeku. Menarik pelatuk terasa seperti mematahkan batang baja. Di saat yang bersamaan, Wiryo malah seperti mendengar ada suara dari dalam hati kecilnya yang dengan lirih berkata, “Untuk apa menghabisi nyawa orang tua yang sudah tak berdaya?”

Wiryo membayangkan suara itu seperti suara ibunya. Suara yang datang dari masa lampau. Suara yang membuat ia tak jadi menghajar teman SD yang telah mengejeknya sebagai anak haram. Suara yang membuatnya tak jadi menampar tetangganya, ketika dengan semena-mena ibunya dihina lantaran tak bisa membayar utang. Dan kali ini, suara itulah yang membuat wartawan koran lokal urung menuliskan berita kematian San Turham.

Sesaat sebelum Wiryo merasakan ada suara lirih itu, ia sempat terlibat percakapan dengan gali legendaris itu. Kurang lebih begini.

“Tiga puluh tahun yang lalu kau boleh lolos dari para penembak misterius, tapi tidak untuk hari ini, Pak Tua!” kata Wiryo.

“Dan tiga puluh tahun yang lalu kau hanyalah bocah sepuluh tahun yang baru saja disunat,” San Turham menjawab dengan sedikit mesem. “Sungguh, kalau kau benar menginginkan nyawaku, harusnya tak usah repot-repot kau membawa pasukan sebanyak ini, Nak. Cukuplah kau hubungi aku, kita bertemu, dan silakan pecahkan tempurung kepalaku kalau kau mau!”

Kalimat itu tidak saja membuat Wiryo naik pitam, tetapi juga membuatnya merasa dipermalukan di hadapan sembilan anak buahnya. Pada momen inilah, ia semakin yakin bahwa memecahkan tempurung kepala orang tua itu adalah pilihan terbaik. Namun, belum sampai itu terjadi, suara dari dalam hati kecilnya membuat timah panas di pistolnya urung dimuntahkan. Di samping itu, sebagai seorang polisi, bukankah pantang menembak jika lawan tak memberontak?

Pada akhirnya, sama saja seperti adegan penangkapan dalam sinetron-sinetron di televisi, Wiryo hanya bisa menginstruksikan anak buahnya dengan kalimat paling klise: “Borgol dia!”

***

Di Karang Gembol, semua orang mengenali San Turham sebagaimana mereka mengenali bupati mereka. Namanya abadi bersama puluhan aksi kriminalnya. Reputasinya sebagai pimpinan gali dan kelihaiannya meloloskan diri dari kejaran polisi membuatnya sangat disegani, utamanya oleh sesama gali. Sementara aparat setempat mengenal San Turham sebagai bandit kelas kakap yang membahayakan. Sebegitu membahayakannya, beberapa orang tua bahkan kerap menjadikan nama San Turham sebagai sarana menakut-nakuti anaknya agar tak keluyuran jauh-jauh. “Jangan jauh-jauh mainnya, nanti diculik Turham, loh!”

Kiprah San Turham dalam dunia gali dimulai pada medio 1970-an, ketika usianya belum lagi genap dua puluh tahun. Sentot, pentolan gali yang memegang sebagian besar wilayah kota di selatan Gunung Slamet masa itu, merekrutnya menjadi anak buah. Berkat pengabdian dan kesetiaannya pada sang majikan, ditambah nyali serta kemampuan kelahi yang mumpuni, San Turham langsung dihadiahi wilayah. Sentot memberi mandat pada San Turham untuk memegang wilayah Karang Gembol dan memimpin para preman pasar kelas kacangan untuk menarik bea keamanan.

Tak hanya mengomandoi para preman pasar, selang beberapa lama San Turham melebarkan sayapnya pada bidang yang lebih besar: merampok, menggarong, dan menjadi pembunuh bayaran. Itulah yang membuatnya pada awal 1980-an mesti berurusan dengan polisi. Namun, semua orang tahu, betapa menangkap San Turham tak ubahnya menangkap belut di dalam lumpur dengan tangan kosong. Ia sangat licin. Bahkan, ketika para penembak misterius dari ibu kota melakukan ekspansi ke Jawa bagian tengah untuk menghabisi siapa saja yang dicap sebagai sampah masyarakat, San Turham tetap bisa meloloskan diri.

Masa itu, tak berselang lama setelah gerhana matahari total pada Juni 1983 begitu menggemparkan para warga, San Turham mendapati sebagian besar koleganya mati mengenaskan dengan kronologi yang sampai cerita ini ditulis masih menimbulkan tanda tanya. Mayat mereka ditemukan dengan kondisi menyerupai bangkai tikus. Ada yang dihanyutkan di Kali Serayu, dibungkus karung goni, bahkan ditemukan membusuk bersama sampah-sampah di TPS kabupaten. Semuanya mati dengan menyisakan luka tembak di beberapa bagian tubuh.

Tentu, semua warga Karang Gembol mengira San Turham akan ikut mati juga. Namun, perkiraan mereka salah. Mereka baru mengetahuinya setelah beberapa bulan kemudian, sebuah berita perampokan di pabrik tepung tapioka yang menewaskan satu mandor dan dua satpam menjadi headline di koran lokal setempat, juga di siaran radio. Itu perampokan paling sadis dalam satu dekade terakhir.

Selepas itu, siapa yang tidak berspekulasi bahwa San Turham-lah yang menjadi aktor utama dalam perampokan sadis itu? Dan siapa pula yang dengan pasti mengetahui, bahwa setelah serangkaian olah TKP dan penyelidikan memang menunjukkan nama San Turham sebagai terdakwa, ia telah lebih dahulu kabur ke Malaysia? Ia kabur meninggalkan seorang istri bernama Yasminah dan satu anak laki-laki berusia sepuluh tahun yang baru saja disunat. Bocah itulah yang tiga puluh tahun kemudian dikenal sebagai seorang Kasat Reskrim bernama Wiryo.

***

Tiga puluh tahun kemudian San Turham memang kembali ke tanah Karang Gembol, tetapi semuanya telah berubah. Kasus perampokan itu tak lagi menjadi kasus yang penting bagi polisi.

Jika San Turham hengkang dari Karang Gembol sebagai macan liar yang sangat buas dan membahayakan, maka saat pulang, ia tak ubahnya seekor kucing jinak rumahan. Tak ada lagi ciri-ciri yang mengindikasikan bahwa ia adalah seorang gali. Tak ada tindik dan tak ada tetek-bengek apa pun yang bisa mengindikasikan bahwa ia adalah San Turham tiga puluh tahun yang lalu, yang dengan keji bisa menghabisi nyawa siapa saja. Pendek kata, ia bertobat.

Perihal alasan di balik tobatnya sang gali, sampai saat ini masih menjadi misteri. Namun dari desas-desus yang beredar, saat berada di Malaysia, ia bertemu dengan seorang guru spiritual yang pada akhirnya mampu menuntunnya untuk hijrah. Sayangnya, hal itu tidaklah cukup untuk meyakinkan segenap warga Karang Gembol bahwa San Turham hari ini bukanlah San Turham tiga puluh tahun yang lalu. Sebanyak apa pun istighfar yang telah ia rapalkan di atas sajadah, ia tetaplah manusia dengan riwayat pembunuh yang bengis. Dengan kata lain, warga Karang Gembol tetap tidak dapat menerimanya meskipun mereka juga tidak punya hak untuk menolaknya.

Dan, tidak lama selepas itu, mereka akhirnya menyadari juga, bahwa dugaan mereka sepertinya memang tak salah. Ya, sepertinya.

***

Tak berselang lama setelah melesetnya ramalan kiamat 2012, ada berita pembunuhan yang amat menghebohkan. Pembunuhan berdarah paling sadis di kota yang terletak di sisi selatan Gunung Slamet sepanjang tiga dekade terakhir. Tak ada satu koran lokal pun yang luput untuk menuliskan berita pembunuhan itu. Korbannya, sepasang suami istri pemilik penambangan batu di Kali Serayu—silakan cari tahu sendiri, tak elok jika disebutkan namanya di sini.

Tak butuh lama bagi polisi untuk segera menyimpulkan siapa aktor di balik perampokan sadis itu: San Turham.

“Sang gali legendaris itu comeback lagi.”

“Masa tobatnya sudah berakhir.”

“Ah, dia memang tak benar-benar tobat.”

“Harta hasil merantaunya habis, makanya ia kembali lagi.”

“Macan liar memang tak akan pernah jadi kucing rumahan.”

Itu adalah kalimat-kalimat yang terlontar dari mulut warga Karang Gembol. Tak butuh waktu lama bagi Wiryo dan anak buahnya untuk meringkus sang gali. Di rumah semi permanennya, sekitar pukul tujuh malam waktu setempat, bebarengan dengan suara muazin di langgar yang tengah melantunkan puji-pujian. Wiryo datang dengan sembilan anak buah, menodongkan pistol dan siap memecahkan tempurung kepalanya. Namun, jari telunjuknya membeku bersamaan dengan munculnya suara lirih dari dalam hati kecilnya. Dan terjadilah percakapan sebagaimana di awal cerita.

***

Kurang lebih selama dua bulan San Turham menjalani serangkaian proses persidangan di pengadilan. Sidang berjalan lancar dan tidak alot. Jaksa penuntut umum mendakwanya bersalah dalam kasus pembunuhan berencana. Anehnya, tak ada sedikit pun upaya yang diilakukan San Turham untuk sekadar membela diri. Tak ada eksepsi atau nota keberatan yang disampaikan olehnya kepada jaksa. Bahkan, manakala jaksa menyampaikan tuntutannya, San Turham pun enggan mengajukan pledoi atau nota pembelaan sekalipun alat dan barang bukti yang dihadirkan tak begitu kuat untuk membuktikan.

Hingga sampailah hakim mengeluarkan putusan, San Turham terlihat sangat pasrah. Hakim mengabulkan tuntutan jaksa dan menjatuhi terdakwa dengan hukuman mati. Keluarga korban yang hadir di persidangan tampak bersorak kegirangan, meski beberapa ada yang tetap menangis. Sementara San Turham hanya tersenyum kecil. Raut wajah yang menggambarkan betapa garangnya ia sebagai gali legendaris di Karang Gembol kini telah hilang. Dengan mengenakan kopiah hitam, polisi menuntunnya meninggalkan ruang persidangan.

Pada hari-hari menjelang eksekusi mati, San Turham terlihat menjadi sangat religius. Baju koko, sarung, dan sajadah menjadi atribut yang melekat dengannya selama di sel penjara. Lima waktunya tak pernah terlewat. Doa-doa dipanjatkan begitu khusyuk. Lebih dari itu, ia juga tampak bahagia.

Pagi itu, beberapa pekan jelang eksekusi, Wiryo menjenguk San Turham di Lapas Nusakambangan. Dalam perjumpaan yang singkat dan tak sampai 15 menit itu mereka tampak bercakap. Adapun isi percakapan mereka kurang lebih seperti ini.

“Bisakah saya menemui ibumu untuk terakhir kali?” tanya San Turham.

“Kau bisa menemuinya dua pekan lagi, setelah peluru para algojo menembus jantungmu. Ah, tapi kau tak akan menemuinya, sebab kau di neraka dan ibu sudah tenang surga,” Wiryo menjawab dengan ketus.

“Maaf, saya tak tahu kalau ibumu telah pergi.”

“Itu tidak penting. Toh, ibu saya jauh-jauh hari juga sudah menganggapmu tak ada.”

“Saya bisa memaklumi.”

“Oh ya, saya datang ke sini bukan dalam rangka menyampaikan salam perpisahan seorang anak kepada bapak. Sedari lahir, saya sudah mendaulat diri saya sebagai anak yatim. Saya datang ke sini hanya untuk menyampaikan wasiat almarhum ibu.”

“Wasiat?”

Wiryo menyodorkan sebuah cincin. San Turham tercengang dan ingatannya mendadak kembali ke masa lalu. Ia ingat, itu cincin yang diberikan kepada Yasminah sekitar tiga puluh lima tahun lalu. Cincin yang diperolehnya dari hasil merampok di toko emas.

“Ibu menyuruhku untuk mengembalikan ini kepadamu, Pak Tua.”

“Demi waktu dan demi tiga puluh tahun waktu yang telah saya lewatkan untuk menelantarkan kalian, saya mohon maaf. Saya menyayangi kalian.”

“Baru kali ini saya lihat ada bandit ngomong sayang,” Wiryo tersenyum. Sejenak mereka saling terdiam.

“Maaf, saya tidak bisa berlama-lama di sini. Selamat menantikan ajalmu,” Wiryo lalu beranjak dari duduknya dan melenggang pergi.

Selanjutnya, ditatapnya dalam-dalam cincin itu oleh San Turham. Cincin yang menjadi lambang cintanya pada Yasminah. Matanya sedikit berkaca-kaca. Sesungguhnya ia berharap bahwa pertemuannya dengan Wiryo bisa berakhir dengan pelukan. Namun itu tidak dapat diwujudkan. Ia bisa memaklumi. Bagaimanapun, Wiryo datang ke sini dengan membawa segunung rasa dendam. Dendam seorang anak laki-laki yang merasa telah ditelantarkan oleh bapaknya. Dendam yang terus ia rawat selama empat kali periode pergantian presiden.

San Turham pun bukannya tak tahu, bahwa Wiryo-lah yang sesungguhnya menjadi dalang dalam pembunuhan sadis itu. Serangkaian konspirasi dilakukannya demi menggiring nama sang bapak sebagai tersangka: menyuruh pembunuh bayaran, menghilangkan barang bukti, hingga menyuap hakim. San Turham menerima semua kenyataan itu dengan selapang-lapangnya.

“Jika kematian adalah satu-satunya jalan untuk menebus tiga puluh tahun waktu yang telah saya gunakan untuk menelantarkan anak dan istri saya, juga dosa-dosa saya di masa lampau, maka saya ikhlas,” demikian batin San Turham berkata.

Comments

Popular posts from this blog

Ngeri, ada potongan kaki di tumpukan kayu jati untuk bahan bakar lokomotif kereta api kuna

Penyesalan Ayah

Cerita misteri kelereng pembawa keberuntungan 3, hanya tiga tahun sudah menjadi orang kaya