Membunuh Iblis
Lahir di Cirebon 24 Agustus 1976. Menulis cerpen, puisi, resensi, esai untuk sejumlah penerbitan. Buku cerpen terbarunya: Monyet Bercerita (Basabasi, 2019).
Selepas menguburkan jenazah Sutar dengan upacara seadanya, Kartewi merasa terbebas dari kerangkeng yang dibuat laki-laki itu; dari cengkeraman iblis yang merampas kebebasannya bertahun-tahun. Kartewi merasa memasuki babak baru dalam hidupnya yang perlu dirayakan. Tetapi di hadapan orang-orang dia menunjukkan paras duka, setidaknya selama seminggu masa perkabungan. Ia mengenakan kerudung hitam, menyodorkan tangan kepada para pelayat yang ingin menyalaminya sebagai tanda ikut berkabung. Pada malam terakhir perkabungan Kartewi mengumpulkan para begundalnya yang setia, termasuk tiga gundik Sutar. Dengan dagu diangkat, dia menegaskan kepada mereka bahwa sejak saat itu dirinya yang membuat aturan di rumah ini, termasuk pengelolaan seluruh kekayaan peninggalan Sutar. Kartewi juga menunjuk salah seorang begundalnya yang paling setia menjadi tangan kanannya; begundal yang bersamanya dia menjalin perselingkuhan dan persekongkolan membunuh Sutar.
“Aturan-aturan yang dibuat oleh Sutar mulai sekarang tidak berlaku lagi. Siapa yang tidak suka dengan keputusan ini, silakan angkat kaki,” ujar Kartewi dengan tekanan suara yang mengintimidasi.
Aturan pertama yang harus ditegakkan adalah, tidak boleh menerima tamu, siapa pun itu, tanpa lebih dulu meminta persetujuan Kartewi, atau tangan kanannya. “Siapa yang berani melanggar, hukuman yang paling ringan tidak boleh bekerja di rumah ini,” kata Kartewi dengan seringai yang mengerikan.
Sutar memiliki enam begundal yang ditugasi menjaga dan mengawasi Kartewi dan tiga gundik lainnya di rumah ini. Mereka preman pasar yang dipungut dan dilatih oleh Sutar. Sekarang mereka berada di bawah kendali Kartewi. Mereka adalah anak-anak muda yang tampaknya dilahirkan memang hanya untuk jadi begundal.
Kemarin Kartewi mendatangi rumah Saripah, istri pertama Sutar, untuk menegaskan harta peninggalan Sutar yang menjadi bagiannya. Pertemuan dua seteru itu diwarnai cekcok besar yang menggemparkan tetangga satu erte bahkan sekampung.
“Aku tidak terima. Aku tidak akan tinggal diam, sundal pembunuh!” seru Saripah.
Saripah ngamuk dan mencakar Kartewi. Kartewi yang sudah menduga mendapat serangan, dengan mudah berkelit. Saripah terus menyerang dengan murka. Namun beberapa kali malah terjerembab. Dia mengambil pisau dan kembali menyerang Kartewi yang segera menyuruh begundalnya menghadapi Saripah. Pada saat yang sama orang-orang Saripah muncul. Terjadilah pertarungan antar begundal. Namun karena jumlah orang-orang Saripah kalah banyak dengan begundal Kartewi, serangan mereka dapat dipatahkan.
“Masih untung kau dapat bagian, bodoh!” Kartewi mengumpat, kemudian berlalu diiringi anak buahnya, meninggalkan Saripah dan anak buahnya.
Kasak-kusuk tentang kematian Sutar akibat diracun Kartewi menyebar. Tetapi tak pernah ada aksi apa pun. Kartewi sudah membungkam polisi yang dari dulu memang mudah dibungkam bahkan dengan uang recehan. Maka saat Saripah menyebutnya pembunuh, Kartewi hanya tersenyum menyeringai sebelum angkat kaki dari rumah Saripah penuh kemenangan. Itulah seringai yang dia tunjukkan kepada Sutar saat laki-laki itu kelojotan selepas meminum racun yang dia campur ke dalam minumannya. “Maaf terpaksa aku harus membunuhmu, Sutar. Mampus kau iblis,” bisiknya di telinga Sutar.
“Sundal, kau meracuniku….” Suara Sutar tercekik. Dia tercekat menyadari bakal mati oleh racun. Tapi tentu saja sudah terlambat. Mata Sutar mendelik merasakan dada dan lambungnya panas terbakar. Panas dari racun yang bekerja dengan cepat menghancurkan usus dan organ dalam tubuhnya. Matanya masih terbelalak ketika nyawanya terbang meninggalkan raganya yang membiru.
Cukup lama Kartewi memikirkan pembunuhan itu. Karena membunuh Sutar bukan hal yang mudah, bahkan hampir mustahil. Sutar tidak mempan dilukai benda tajam. Dengan kesaktian yang dimilikinya Sutar juga dapat mengendus niat jahat orang kepada dirinya. Karena itu Kartewi membutuhkan waktu lama yang hampir membuatnya putus asa. Dalam keputusa-asaannya Kartewi berusaha mempelajari kelemahan Sutar. Aku harus mendapatkan cara yang tepat menghabisinya, katanya pada diri sendiri dengan tidak begitu yakin. Jalan itu dia temukan melalui salah satu anak buah Sutar yang berhasil Kartewi pikat dengan kecantikan dan kemolekan tubuhnya.
“Kau telah menikmati tubuhku, Dumar, istri majikanmu,” kata Kartewi. “Sekarang ceritakan kelemahan majikanmu,” ujarnya seraya mengenakan pakaiannya.
“Tidak semudah itu,” kata Dumar.
“Sangat mudah, Dumar,” ucap Kartewi, “Kecuali kau ingin tubuhmu dicacah Sutar karena kau telah mencuri miliknya,” ujarnya.
Malam itu mereka bersepakat menghabisi Sutar. Dumar mengungkapkan kelemahan Sutar. Kulit Sutar tak mempan dilukai. Dia hanya akan merasa geli saat ada benda menusuk kulitnya. Dia akan lebih dulu membunuh siapa pun yang kedapatan mau membunuhnya, tanpa ampun.
“Hanya racun dari Ki Jalak yang bisa membunuhnya. Aku akan menemui Ki Jalak,” kata Dumar.
Pembunuhan itu terjadi lima tahun setelah Sutar menikahinya secara resmi. Kartewi tahu, meskipun telah memiliki dirinya, Saripah, dan tiga orang gundik lainnya, Sutar tetap rajin mendatangi rumah-rumah bordil yang berkedok panti pijat. Menyesap gadis-gadis muda. Napsunya tak pernah terpuaskan. Kadang dia ceritakan persetubuhannya dengan gadis-gadis muda saat hendak menggumuli Kartewi untuk memompa gairahnya. Dia menggumuli Kartewi dengan berbagai gaya yang menjijikan.
Menjadi gundik Sutar sebenarnya bukan sesuatu yang terlalu buruk bagi Kartewi. Setidaknya dia terselamatkan dari orang-orang yang memburunya untuk menagih utang-utang Salamun yang kalah dalam pemilihan kepada desa. Sutar juga memenuhi semua kebutuhannya—kecuali kebebasan. Apalagi Sutar memperlakukannya berbeda dari gundik-gundik lainnya. Bagaimana pun Kartewi dulu gadis yang diidamkan banyak laki-laki, temasuk Sutar.
Kartewi tahu, bagi Sutar memiliki dirinya adalah upaya Sutar menghidupkan romantisme gairah masa remaja yang indah dan pernah hilang dicuri kemiskinan. Tetapi Sutar tetaplah menyimpan dendam kepada Kartewi dan keluarganya. Memiliki Kartewi tidak pernah cukup untuk melampiaskan kesumatnya. Kesumat kepada masa remajanya yang menyedihkan. Menguasai Kartewi dan memperlakukannya seperti boneka yang tak punya perasaan memberinya kepuasan.
“Aku telah menikahimu, tapi kamu tetaplah pelacurku, gundikku. Tetapi kau pelacur yang beruntung,” desis Sutar.
“Kau menyakiti, Sutar.”
“Itulah tujuanku.”
“Kau pengecut. Seorang pengecut lebih buruk dari pelacur.”
“Bicaralah sesukamu. Tak akan mengubah nasibmu, pelacurku.”
Kartewi tak dapat menyangkal kebenaran kata-kata Sutar. Kata-kata Sutar menyalakan dendam dan kebencian dalam dada Kartewi pada laki-laki itu. Aku mungkin memang pelacur, pikir Kartewi, putus asa. Setidaknya Sutar membayarku dengan layak. Begitulah Kartewi menghibur diri sendiri. Puncaknya saat laki-laki itu mengumpankan tubuhnya kepada kawan-kawannya. Kartewi tidak bisa terima, dia bersumpah membunuh Sutar.
“Kamu benar-benar iblis,“ seru Kartewi.
“Sstt… kita semua iblis.”
Kartewi tahu Sutar sedang membalaskan dendam Ayuning kepada Salamun. “Tapi kau tetap lebih beruntung, karena aku masih memeliharamu di sini.”
Sejak Kartewi diambil dan dijadikan gundik oleh Sutar, Kartewi tidak pernah tahu nasib Salamun. Mungkin Sutar telah menyuruh orang-orangnya melenyapkan Salamun. Kartewi tahu Sutar menyimpan kesumat dan kebencian yang mengakar kepada Salamun. Laki-laki itu bukan hanya kerap mengolok-oloknya, tapi memperkosa beramai-ramai adik temannya sendiri. Perbuatan yang membuat Kartewi ikut menanggung akibatnya. Kampung ini dipenuhi orang-orang busuk, ujar Kartewi.
Kartewi ingat lagi malam ketika dia diculik orang-orang suruhan Sutar. Mereka menerobos ke kamar, merenggut dan manggulnya seperti memanggul karung beras, meninggalkan Salamun yang terkapar mereka hajar. Sebelum pergi mereka bahkan mengikat tangan dan kaki Salamun serta menyumpal mulutnya dengan kaus kaki.
Meskipun memiliki ketampanan seperti bintang film India, sejujurnya Kartewi tidak pernah benar-benar bisa mencintai Salamun karena tahu kebejatan anak ustaz itu. Dulu pernikahannya dengan Salamun sekadar demi memenuhi keinginan bapak Kartewi sendiri. Dia berambisi terus menggenggam kekuasaan sebagai kepala desa melalui menantunya. Kerakusan untuk menguasai kampung menyatukan mereka.
Bapak Kartewi saat ini telah mati. Setelah Salamun kalah dalam pemilihan kepala desa, bapak Kartewi jatuh sakit karena stres kekayaan amblas. Sakitnya makin parah begitu mengetahui Kartewi dijadikan gundik. Maka hal pertama yang dilakukan Kartewi setelah kematian Sutar adalah menjenguk makam bapaknya dan menemui ibunya yang tua dan sakit-sakitan dan sepertinya sedang menunggu ajal di rumah. Diantar Dumar, Kartewi menemui ibunya. Perempuan itu tak mengenali Kartewi ketika dia datang. Sejak dulu ibunya tidak setuju Kartewi menikah dengan Salamun dan rencana bapak Kartewi mendorong Salamun maju dalam pemilihan kepala desa.
“Cukup ibumu saja yang jadi korban kerakusan bapakmu. Bapakmu ingin terus berkuasa supaya tetap bisa meniduri semua perempuan-perempuan di kampung ini,” kata ibunya.
Tetapi Kartewi yang mewarisi watak keras dan serakah bapaknya, tak pernah mengindahkan kata-kata ibunya. Dia sangat jarang berbicara dengan ibunya yang dianggapnya bodoh dan lemah.
“Seharusnya ibu mendukung rencana bapak,” kata Kartewi dengan nada geram.
Namun betapa pun, perempuan itu ibunya. Sekarang Kartewi melihatnya terbaring lemah ditemani pembantu setianya.
“Ibu, ikut dan tinggallah di rumahku.”
“Biarkan aku mati di rumahku sendiri,” kata ibunya dengan suara lebih lirih dari bisikan.
Kebodohanmu tak pernah berubah, kata Kartewi dalam hati. Setelah memberi sejumlah uang kepada pembantu setianya, Kartewi keluar dari rumah orangtuanya.
“Rawat dia baik-baik, Sonah,” kata Kartewi kepada pembantunya sebelum meninggalkan rumah masa kecilnya untuk terakhir kali
Comments
Post a Comment