Membunuh Katak

 

Gara-gara seekor katak berumur panjang, aku dipasung. Begitu yang diceritakan warga berulang-ulang, orang-orang yang satu suara memutuskan memasungku di dapur ini. Sekarang bukan dapur lagi, tentu saja. Para tukang membangun satu dapur baru untuk keluarga kami. Dapur lama, rumahku kini, akan dijelaskan sebagai ‘di belakang kiri’ kepada setiap orang yang baru berkunjung.

Kisah katak berumur panjang itu diciptakan oleh seorang dukun. Amed Muh.

Dia datang ketika aku semakin sering menyepak Kibus padahal mata kirinya telah buta dan harus berjuang akrab melihat dunia dengan sebelah mata. Kibus anak kami: aku dan Tina.

Aku selalu menyepaknya sebab suatu ketika, pada awal-awal pernikahan kami, ketika baru pulang dari sawah dan hendak menyampir parang di dinding dapur, kudengar erangan Tina dari arah kamar. Melalui celah dinding bambu kulihat, Tius menandak-nandak di atas tubuh mulusnya. Aku segera pergi lagi dan baru kembali satu jam setelahnya. Sembilan bulan kemudian Kibus lahir.

Kibus anak kami satu-satunya.

Aku menyepaknya kali pertama ketika dia belajar memanggilku papa. Kibus menangis keras sekali padahal aku menendangnya lembut saja. Baru diam setelah Tina menyumpal mulutnya dengan ASI. Sejak hari itu, Tina meminta anak kecil itu tak lagi memanggilku begitu. Digantinya dengan nama (saja): Petu—meniru mamanya, tentu saja.

Aku terus menyepaknya. Pada waktu-waktu yang tak tentu. Jadi lebih sering ketika dia sudah mulai belajar berlari-lari di halaman. Kusepak sepenuh hati ketika dia bermain riang gembira dan berkeringat.

Tina menangis setiap kali kulakukan itu. Menjadi keras dan panjang tangisannya itu ketika sekali waktu kutendang anak itu di bagian kepala. Kibus limbung. Sebelum benar-benar terkapar, kepalanya menghantam sudut pagar. Mata kirinya penuh darah. Dokter-dokter di RSUD Ruteng tak bisa menyelamatkan luka nan parah itu. Kibus kemudian buta kiri. Sampai hari ini.

***

Untuk membawa Kibus ke Ruteng, aku terpaksa meminta bantuan Tius. Tak ada pilihan lain. Tius satu-satunya sopir di kampung kami. Pengemudi truk penumpang milik Baba Te.

Ketika Kibus melolong kesakitan dengan mata penuh darah, Tius sedang tidur siang. “Kurang enak badan,” katanya. Dia baru pulang dari Ruteng dan baru akan berangkat lagi besok pagi, sesuai jadwal semestinya. Tapi dia segera segar ketika kusampaikan maksud: “Kibus luka parah. Tolong antar kami ke Rumah Sakit. Sekarang!” Tius buru-buru menghidupkan truknya, saat itu kudengar seorang perempuan memanggil namanya dari dalam rumah.

Truk penumpang tanpa banyak penumpang itu berlari kencang. Hanya kami berempat, semua duduk di muka, sandaran dan dudukan kayu di bak penumpang meloncat-loncat saat melintasi jalanan rusak. Riuh sepanjang jalan sampai kami tiba di Ruteng pukul sebelas malam.

Dokter jaga tergagap-gagap bangun. Kibus diperiksa.

“Sulit,” keluhnya, “darah di matanya sudah beku. ” “Tadi tidak sempat dicuci dengan air mengalir?” Tanyanya kemudian.

Aku tidak tahu arti kalimat itu, lalu mengutuk jalan berlubang-lubang dari kampung ke kota ini. Ingin rasanya memaki-maki pemerintah, sebab andai jalanan mulus, Tius bisa memacu truknya lebih kencang lagi dan darah di mata Kobus tidak membeku batu, tetapi rumah sakit ini milik mereka. Pemerintah Daerah.

“Terlalu lama diantar ke sini,” kata dokter itu—yang kuduga sebagai penjelasan bahwa usaha gesit yang setengah mati dia pertontonkan untuk menyelamatkan mata Kibus di unit gawat darurat malam itu mungkin akan sia-sia.

Tidak bisa tidak, di sepanjang perjalananlah darah di mata kiri Kibus membeku. Kukira begitu.

Kulihat Tius mengelus-elus bahu Tina yang menangis tersedu-sedu dengan tangan kirinya. Kuharap itu adalah tangisan untuk masa lalu kami yang dia khianati. Kalau toh tidak, kuharap itu tangisan untuk siang tadi yang kacau sebab tak seorang pun dari kami berjuang melakukan pertolongan pertama: membersihkan luka dengan air mengalir seperti yang dokter tanyakan di awal kami tiba. Tina baru tiba setelah aku dan Tius membopong Kibus ke truk. Dari mana saja dia sehingga tak sempat mengurus hal membersihkan darah itu?

***

Hari itu Kibus kehilangan mata kirinya dan istriku kehilangan banyak kepercayaannya padaku. Sehari setelahnya kami kehilangan sebidang tanah. Jadi milik Baba Te. Sebagai uang sewa truk pergi-pulang. Hari-hari berikutnya aku semakin sering kehilangan kendali atas kakiku.

“Tidak tahu. Kaki kananku bergerak spontan setiap lihat Kibus bermain. Kasihan sekali memang, tetapi tidak kusengaja.” Itu jawabanku setiap kali ada yang bertanya kenapa selalu kusepak anak itu.

Istriku kemudian memutuskan menemui dukun setelah menduga aku kena guna-guna.

Amed Muh, dukun dari kampung tetangga, datang. Bersama beberapa orang yang lain; para tetua kampung kami. Seekor ayam jantan disembelih. Hati ayam itu diperiksa dengan saksama.

“Dia pernah tebas pematang sawah dan parangnya memotong paha kiri seekor katak. Katak itu tidak mati, tapi hidup dengan sengsara. Supaya bisa sembuh, dia harus bisa dapat lagi katak itu dan membunuhnya. Ini rudak. Membuat hewan sengsara itu lebih kejam dari membunuh mereka. Makanya dia selalu menyepak. Dia sepak pakai kaki kiri to?”

Istriku menoleh ke arahku. Aku menggeleng, sebab aku menyepak dengan kaki kanan.

“Ah, betul. Karena dunia hewan dua alam dan manusia itu beda. Paha kiri katak itu yang kau tebas, kaki kananmu yang kena imbasnya,” kata Amed Muh. Matanya memeriksa lagi hati ayam, mengangguk-angguk sebentar, menggeleng-geleng lebih lama, lalu mengangguk-angguk lagi, dan selesai. Tak ada penjelasan kenapa di awal dia menuduhku menendang dengan kaki kiri, seolah-olah itu kekeliruan biasa. Padahal ini menyangkut sesuatu yang magis.

Malam itu kami makan bersama. Amed Muh makan banyak sekali. “Sekaligus untuk woé-nya, “bisik seseorang ketika melihatku mendelik ke arah dukun tua itu yang mengisi ulang piring makannya untuk kali ketiga.

Woé? Aku menggumam, lantas mendapat penjelasan bahwa itu adalah roh gaib yang membantu Amed Muh menerawang masalah-masalah. Aku tentu saja tahu apa itu woé. Aku hanya bingung, berapa banyak yang Amed Muh ajak turut serta makan malam dalam sekali upacara?

Aku berjanji akan segera ke sawah dan mencari katak berumur panjang itu: “Aku akan membunuhnya dengan jantan agar dia mati terhormat.”

Amed Muh mengangguk-angguk girang. Entah karena janji itu atau karena hati ayam itu telah digoreng dengan bumbu yang enak dan jadi jatah makan malamnya. Segera setelah makan malam itu selesai dan mereka hendak pamit, dukun tua itu menepuk-nepuk pundakku. Menitip pesan agar aku segera mencari dan membunuh katak itu atau akan kehilangan istriku: “Tak seorang pun perempuan yang mau hidup serumah dengan suami yang gemar menyepak. Dia cantik. Banyak laki-laki yang antri kalau kau terus begitu!”

Aku serentak mundur, mengambil ancang-ancang, menyepak tinggi, menyambar kepalanya, sekuat tenaga. Kepala dukun itu menghantam kusen pintu. Pelipisnya pecah. Orang-orang lain yang hadir dan telah penuh tenaganya sebab istriku mengolah daging ayam itu dengan bumbu nan enak sehingga mereka juga makan banyak meski tak membawa woé, segera meringkusku. Malam itu aku diikat. Pagi setelahnya sebuah pasung dibuat. Selanjutnya aku di dapur ini.

***

Istriku dengan setia memberiku makan. Mengajak anakku yang buta kiri itu menghormatiku. Mereka merawat sepenuh hati, kurasa begitu. Aku mulai mencintai lelaki kecil itu. Sering kuelus-elus kepalanya. Kubiarkan dia memanggilku papa. Aku meminta istriku meyakinkan warga agar melepasku dari pasung.

“Biarkanku ke sawah dan membunuh katak tanpa kaki kiri itu, Tina. Seharusnya sejak awal kulakukan itu,” pintaku.

Aku mencintai perempuan itu lebih dari apa pun. Tius masih jadi sopir truk penumpang yang sama. Sesekali bermain bola. Dia bek kiri andalan kampung kami

Comments

Popular posts from this blog

Ngeri, ada potongan kaki di tumpukan kayu jati untuk bahan bakar lokomotif kereta api kuna

Penyesalan Ayah

Cerita misteri kelereng pembawa keberuntungan 3, hanya tiga tahun sudah menjadi orang kaya