Tabata
Selain suara ombak yang terus berdebur membungkam karang-karang hitam yang membungkuk ke barat, suara pertengkaran adalah selingan utama dari rumah di ujung pantai itu. Tak kenal siang atau malam, jika si suami mabuk dan pulang membuat kaco, perempuan muda yang baru berusia balasan tahun itu akan melemparnya keluar dan menutup pintu. Setelah itu, si suami yang masih balasan tahun juga usianya, mulai melempar, memukul, dan menghujani rumah dengan benda apa saja di sekitarnya.
Aneh! Meski keduanya sering bertengkar, istrinya, tak pernah mendendam. Mungkin mereka hanya bertengkar di waktu mabuk, sisanya adalah waktu-waktu romantis. Setidaknya itu terekam dari aktivitas keduanya yang terkadang menunggu matahari terbenam sambil memanggang ikan di depan rumah atau sekadar duduk-duduk sambil minum kopi laiknya pasangan muda-mudi yang baru menikah. Dan lagi, meski waktu mabuk suaminya lebih banyak dari waktu sadarnya, mereka tetap dihadiahi Tuhan seorang anak laki-laki.
Tabata—istri anak muda pemabuk itu, menjadi begitu senang setelah memiliki anak. Beberapa bulan sejak Tala lahir, suaminya berhasil melewati hari-hari tanpa sopi dan menjadi pelaut sejati. Berbekal bodi peninggalan orang tuanya, ia pergi ke tengah laut dan menyelam seperti orang kesurupan untuk mendapatkan ikan dasar. Ia pulang pada dini hari atau menjelang subuh, beristirahat, atau langsung menjual ikannya ke para papalele. Ketika ia tidak melaut karena cuaca atau karena ingin beristirahat, laki-laki muda itu akan pamit ke istrinya dan pergi minum-minum kopi sampai dini hari. Tabata tak pernah berpikir melarang suaminya pergi, ia sudah cukup bersyukur Bapak Tala—begitu ia memanggilnya sejak punya anak, tidak mabuk-mabukan lagi dan begitu rajin mencari uang.
Tabata tidak ingin lagi mengingat masa-masa itu: melewati hari-hari dengan pertengkaran dan makian. Ia ingin mencukupkan hari-hari penuh ketakutan itu. Terlalu berisiko baginya, seorang perempuan muda yang diboyong dari desa yang jauh ke rumah di tepian pantai, tanpa keluarga, tanpa kenalan. Apalagi rumah mereka yang terlampau sunyi itu, hanya beberapa langkah dari laut yang mahaluas, juga bukit-bukit kecil karang hitam yang saban hari dihantam ombak.
Di bagian selatan, tepat di ujung hutan bakau yang terlihat seperti seekor buaya kecil dari ketinggian itu, ada sebuah rumah bercat perak pucat, lebih tepatnya seperti warna laut usai hujan. Rumah seorang laki-laki dengan istrinya yang tengah hamil muda. Memang sedikit jauh dari rumah Tabata, tetapi cukup bagi telinga mereka mendengar berbagai pertengkaran pasangan muda itu. Syukurlah, jika sudah mendengar keributan yang berlebih, tetangga terdekat mereka itu mau menghampiri rumah Tabata, dan sedikit berbicara kepada suaminya.
***
Hari menjelang siang, Tabata sudah melakukan permintaan Larao empat kali. Hatinya sudah mulai kesal, tetapi ia terus menuruti kemauan Larao itu, bahkan jika diminta lagi dan lagi hingga angka hitungan menjulang seperti bukit. Pada kali terakhir ketika ia menutup laci meja. Air muka Larao berubah menjadi kaku.
“Mo tidak simpan di tempat lain?”
Laki-laki itu terus memerintahnya dalam bentuk yang lain. “Mungkin di mo punya baju dorang ko, di lemari ko, atau di tas yang lain dorang,” kata Larao lagi. Tetapi Tabata hanya menggeleng. Ia sudah periksa semuanya, tidak mungkin ada yang tertinggal di sana. Hampir setiap hari ia melakukannya untuk sekadar membeli pemantik yang habis gasnya, atau vitsin yang tiba-tiba habis. Dan yang lebih sering adalah membeli kue untuk anaknya. Sudah pasti tidak ada yang tersisa.
“Ee… Coba cari satu kali lagi laa, kita ba mau jalan nih,” suara suaminya bersaing dengan rengekan Tala.
Satu kali lagi. Setelah menahan kesal lebih dalam, Tabata pergi ke kamar dan mulai memeriksa lemari, saku-saku baju yang tergantung di balik pintu, dompet kecil bertulisan nama toko emas terkenal di kota kabupaten, dan juga tentu tas-tas kecil yang sering mereka gunakan.
Tabata mulai berkeringat. Di luar, terik menjerang pulau—udara panas tumbuh di mana-mana. Larao membuka pintu lebih lebar dan membiarkan diri terlentang tanpa baju. Sesekali Tala yang masih merengek mengambil tempat di atas tubuh Larao. Lama-kelamaan keduanya jadi asik bermain. Rengekan Tala bertukar dengan suara cekikan dan gelak tawa. Tabata sedikit lega mendengar suara tawa mereka, tetapi keringatnya terus bercucuran. Ia tak juga menemukan apa pun sedangkan suaminya sangat berharap ada uang menyempil atau mereka lupa. Mungkin ada yang sa simpan di tempat lain, Tabata membatin.
“Tabata, jangan sampai mo ada simpan di tempat lain?” Larao berteriak dari luar, mengulang apa yang baru saja ia tanyakan pada dirinya sendiri.
Perempuan itu berhenti sejenak—menarik napas, dan membetulkan rambut ikalnya yang mulai turun ke leher.
“Tidak laa” Tabata menjawab.
“Lima ribu juga tidak ada?”
Tabata menjadi begitu jengkel, bagaimanapun ia sudah berusaha mencari sejak pagi. Mengapa laki-laki itu tak mengerti juga. Hatinya semakin jengkel mengingat bahwa maksud lain Larao adalah ia harus pergi ke rumah-rumah tetangga untuk berbasa-basi, kemudian meminjam barang lima atau sepuluh ribu dengan alasan, besok habis jual ikan baru saya ganti.
***
Tala memicingkan matanya ketika matahari menembus kain penutup di sisi gendongan. Giginya, yang baru tumbuh seperti dua biji padi berhasil menerobos kulit gusi sehingga membuatnya tidak nyaman dan terus merengek. Sambil sesekali mengayun-ayun tubuh anaknya, Tabata terus melayani para pembeli. Tangannya belum begitu lihai, tetapi sebagai penjual pemula—yang juga baru pertama kali, ia sudah dapat dikatakan mampu melakoni pekerjaan sebagai penjual ikan di pasar pagi.
Mula-mula ia menjunjung seember penuh ikan dari perahu suaminya di bibir pantai. Pasar pagi sedikit menanjak di atas bukit. Berbekal gendongan di bahu, ia membawa Tala ikut. Ibu-anak itu berhenti berkali-kali sebelum sampai ke atas. Pagi belum begitu matang ketika ia membuka sebuah karung putih dan menggelarnya di atas tanah. Belum banyak penjual juga, tetapi pembeli sudah ada beberapa. Suaminya sudah beberapa hari mengeluh sakit pinggang. Maka di suatu subuh, ketika Tala masih nyenyak dalam tidur, suaminya pulang dan meminta Tabata menggantikannya menjual ikan ke pasar pagi.
“Sa pu pinggang ke mau patah saja ni,” desaknya ketika Tabata beralasan siapa yang akan menjaga Tala. Melihat suaminya yang tampak kesakitan, Tabata luluh juga. Tidak ada salahnya ia mencoba. Suaminya sudah bekerja begitu keras akhir-akhir ini untuk mereka.
“Saya sudah isi ikan di ember,” suaminya tersenyum, “Minta tolong Opung Lau’ ko kasi naik ember di kepala. Tadi sa pulang na dia baru sandar.”
Tabata mengangkat Tala dari tempat tidur dan memasukkannya ke gendongan, ia sempat memikirkan beras di keler yang hanya tinggal sekali masak. Hasil laut tidak selalu ada kata suaminya. Sudah beberapa minggu, suaminya pulang dengan tangan hampa. Kadang memang ada sedikit, hanya cukup untuk mereka makan. Baru hari itu, suaminya mendapat ikan sedikit banyak dan sudah menjual sebagiannya ke papalele. Ia dan Tala akan menjual sisanya di pasar.
Ketika mereka pamit dan menutup pintu seng yang sedikit berbunyi saat dirapatkan, suaminya ikut keluar beberapa menit berselang.
“Ama tinggal dengan bapa saja laa,” ujar suaminya. Tetapi anak laki-laki semata wayang itu terus merapatkan tubuh ke dada mamanya, tanda tidak ingin tinggal.
“Biar saja Bapa. Ama ada palese jadi biar dia ikut saja,” balas Tabata yang menyadari anaknya sedang rewel.
Melihat istri dan anaknya berjalan pelan menyusuri tepian karang, sebelum turun ke laut, hatinya sedikit sedih. Matanya terus mengamati punggung Tabata dan mendengar sisa-sisa rengekan Tala dari kejauhan. Ia baru merapatkan pintu ketika istri dan anaknya sudah melingkari pohon kusambi besar sebelum mencapai pasir pantai.
Tabata duduk sejenak di tepian pantai. Angin cukup kencang, ia membungkus tubuh Tala dan menaikan topi jaket anaknya. Hari itu Tabata memiliki pagi yang berbeda.
“Ama, susu dulu. Nanti mama mau junjung ember besar. Ama jangan menangis,” bisiknya sambil mengusap lembut anaknya. Hari itu ketika pertama kali sampai di pasar pagi, beberapa orang memberinya tempat, juga menurunkan ember dari kepalanya, juga bercakap-cakap dengannya. Dan ia terus melakukannya, bukan sekali, tetapi pada pagi berikut dan berikutnya lagi. Karena suaminya terus mengeluh sakit pinggang dan selalu tinggal di rumah.
***
Matahari menyapa ujung karang sedikit demi sedikit, lalu mengenai tepian kanan dermaga yang berlumut itu. Perahu berjejer, perempuan-perempuan mendayung sampan ke tepian, menyambut para nelayan yang menahan kantuk sambil meraup ikan di dasar perahu ke ember-ember mereka. Matahari seperti lampu panggung yang kuning temaram menyenter kesibukan di waktu pagi. Tabata mengajak Tala pergi pagi sekali, bahkan mereka belum juga mengalas perut. Anaknya yang saat itu sudah bisa bicara terus bertanya ini apa dan itu apa. Tubuh Tabata yang kian kering, harus beradu dengan aneka pikiran buruk yang terus menyulitkannya. Tala meminta turun segera saat mereka tiba di pantai. Tabata membiarkannya bermain, sementara dirinya pergi menemui para nelayan, dari satu perahu ke perahu lain.
“Ina, mo punya suami sudah berapa lama tidak pulang?” Tanya nelayan terakhir yang ditemui Tabata.
“Sudah dua minggu paman,” jawab Tabata.
“Ee… Sa lihat juga begitu.” Nelayan yang disapa paman itu menarik napas sejenak lalu menyemburkan asap rokok yang sengaja ia tahan beberapa detik, “Itu na Ina pulang saja, tidak usah cari ro,” tambahnya mantap.
Percakapan singkat dengan nelayan terakhir yang ditemuinya itu justru membuat pertanyaan di kepala Tabata semakin mekar bermilyar-milyar. Bagaimana ia bisa pulang dan bernapas laiknya manusia normal, sementara ia tak lagi tahu di mana laki-laki yang dicintainya. Hilang tanpa jejak. Tabata melirik Tala yang sedang memegangi tali-tali perahu yang diikat pada patok-patok beton. Sambil menahan sesak di dadanya, ia mengambil ember dan menghampiri perahu yang baru saja menyentuh bibir pantai.
“Sa mau ambil satu ember paman,” ucap Tabata sedikit ragu, “Ee, sa habis jual baru antar uang bisa ka tidak?” ia menahan malu yang tiba-tiba menyerang dan membuat mukanya merah, malu yang juga membuatnya ingin menangis. Laki-laki yang berdiri di atas perahu itu tak berkata apa-apa, ia memenuhi ember Tabata dengan ikan.
“Besok, Ina datang ambil saja,” pesan laki-laki itu.
Tabata berterima kasih, kedua pipinya dibasahi air mata ketika ia membalikkan badan ke timur. Setelah melewati tali-tali perahu, ia berjongkok menggendong anaknya. Mereka meninggalkan pantai.
Kabar suami Tabata yang pergi melaut dan tak kembali sempat dibincangkan dengan hangat di kampung nelayan itu. Ada rumor beredar, suaminya mati di laut. Tetapi saat itu cuaca baik-baik saja dan banyak perahu nelayan pergi mencari. Ada pula yang mengoceh, laki-laki muda itu ditangkap peri laut, mungkin hendak dijadikan suami. Tetapi yang membuat Tabata sedikit kaget adalah seorang nelayan berkata perahu suaminya ada di pulau Kurapu. Apa yang dilakukan suaminya di sana jika itu benar, pikir Tabata.
***
Tala berulang tahun yang ketiga—enam belas bulan setelah ayahnya pergi. Tabata menikah dengan Larao—laki-laki yang selalu memenuhi ember Tabata dengan ikan di pagi hari dan menaikkannya di kepala. Ia kehilangan istrinya saat melahirkan, dan Tabata kehilangan suaminya tanpa penjelasan. Mereka saling memahami, meski baru seputar ember, ikan, dan Tala yang selalu ikut Tabata ke mana pun pergi, dan tentu rumah Larao yang tak begitu jauh dari rumah Tabata. Setelah mencari-cari alasan untuk menolak, Tabata akhirnya mau menikah. Laki-laki itu mengulurkan tangan dan membantunya melewati hari-hari sulitnya untuk bertahan hidup bersama Tala.
Mengingat kebaikan-kebaikan Larao, Tabata bangkit juga, melewati keduanya di ruang tengah, menuju rumah tetangga di atas bukit. Ia akan meminjam uang, sepuluh atau dua puluh ribu. Suaminya akan mengisi kupon putih.
***
Dini hari ketika perahu Larao menyentuh bibir pantai, kelap-kelip lampu di pulau kecil itu menyambutnya dengan sungguh-sungguh. Beberapa kawan yang melihat perahunya muncul dari kejauhan turun ke pantai.
“Opung! Pulang sudah laa, mo sudah tangkap ikan besar ni. Angka ini hari sudah keluar!” beberapa kawan Larao membantu menautkan tali perahunya.
“Ah, betul ko tidak?” Larao masih melompat, kakinya menghantam air laut yang tenang. Ada bunyi yang ditinggalkan setiap kakinya melangkah.
“Ee, sa omong kosong mo biar apa. Kita bah tadi ada duduk sama-sama dengan Opung Mahu dorang,” tegas salah satu kawannya.
Larao senang bukan main, ia memasang empat angka sebanyak lima kali. Jika benar, wah! Bukan main. Ia mempercepat langkahnya ke darat. Tujuannya bukan pulang ke rumah, ia akan memastikan kebenaran berita itu.
“Empat angka.” Ia tertawa sendiri. Kepalanya dipenuhi rencana. Ia ingat Tabata, istrinya yang sangat sabar itu. Membawa Tabata ke Kalabahi untuk membeli satu dua potong baju baru akan sangat menyenangkannya. Lebih lagi, beberapa kali ia melihat istrinya itu menambal periuk dan beberapa perabot rumah tangga lainnya. Larao menarik napas.
Beberapa hari setelah Larao menggemparkan kampung karena menang kupon putih empat angka, Tabata dan Tala akhirnya menginjakkan kaki ke Kalabahi. Kepada Tabata, Larao berpesan untuk memilih apa pun yang ia dan Tala inginkan.
“Mama. Sa mau pergi sebelah dulu, mau lihat alat pancing dorang,” pesan Larao ketika Tabata baru saja menunjuk sebuah termos besar berwarna hijau dengan bunga-bunga kuning melingkar. Kemudian Tabata mulai menunjuk panci dan tacu yang digantung agak tinggi di samping meja bayar. Meski Larao sudah berpesan mengambil apa saja yang diinginkan, Tabata masih menarik napas dan berpikir banyak saat menunjuk barang. Jangan sampai Larao malu karena tidak bisa membayar semua barang pilihannya. Ia tak tahu jelas berapa uang yang dimiliki suaminya. Berapa banyak hasil tangkapan Larao? Tabata sempat memikirkan itu sebelum kembali memilih satu dua perabot. Tala yang bosan berdiri di depan toko menyusul Larao ke sebelah. Bagaimanapun, melihat alat-alat pancing bersama bapak tirinya lebih menyenangkan. Apalagi, dirinya kini sudah diajak Larao sesekali ikut memancing.
Ketika Tala dan Larao kembali, pelayan toko baru saja menyimpan barang terakhir yang dipilih Tabata—sebuah kawat pemanggang ikan. Ketika memilih barang itu, Tabata sempat mengingat Toru, suaminya yang hilang. Entah mengapa, ia ingin mengajak Tala dan Larao membakar ikan di depan rumah mereka.
***
“Bapa ini malam turun laut ka tidak?”
Larao yang sedang mencakar-cakar angka di buku tulis tidak menghiraukan Tabata. Ia menaikan alis sejenak sambil mencoret beberapa angka dan menuliskan yang lain. Kopi punya ampas di bibir gelas sudah terlihat kering meski masih penuh. Larao baru mecicip sedikit, ia larut dalam seliwer angka dan kemungkinan peluang yang akan ditangkapnya pagi itu. Tabata mulai cemas dengan perilaku suaminya. Beberapa bulan yang lalu ketika tebakannya menang dan mendapat puluhan juta, laki-laki itu semakin serius mencakar. Ia menghabiskan hari-hari di bale-bale juga menerima kawan-kawannya yang datang bercakap-cakap tentang angka yang akan muncul.
“Ah! Pas nii!” Teriak Larao girang, “Tidak salah lagi ni. Ama, mari sini. Mo bantu Bapa dulu.” Tala naik ke bale-bale, melihat buku yang diperlihatkan Larao.
“Bapa, empat angka!” ucap Tala tanpa ragu. Anak itu menampakkan keseriusan luar biasa seperti Larao.
“Ee…Betul ka tidak nii?” Larao mengamati angka-angka itu lagi, “Ini angka dorang kalau keluar Ama mau beli apa?” tanya Larao. Tala tersenyum lebar. Matanya melirik ibunya yang sedang menggarami ikan di sisi rumah.
“Sepeda,” Tala berbisik pelan.
Larao tertawa lebar, “Kalau betul na Ama beli sepeda!”
Tabata berdiri di depan bale-bale tepat ketika Larao selesai mengirim pesan pada Opung Amay—pengecer kupon putih.
“Ini malam Bapa turun laut ka tidak?”
“Ee… Mo tidak lihat sa ada kerja ini barang dorang? Minggu depan baru sa turun kenapa ee?” Larao menjawab sembari merapikan beberapa lembar kupon.
“Bapa tidak turun laut bah sudah satu bulan ni. Jangan terlalu urus itu judi dorang laa.” Tabata menjadi jengkel. Larao sudah hidup dalam iming-iming menang kupon putih.
“Ee, jangan terlalu atur sa begitu la. Ini barang bah kalau betul na untuk mo juga,” Larao menurunkan kaki dari bale-bale, bersiap beranjak.
Dada Tabata menjadi sesak melihat pemandangan yang sama beberapa bulan terakhir—Tala membuka-buka buku berupa deretan angka milik Larao dan mulai sesekali menulis di beberapa bagian. Saat ini anaknya itu lebih sering mendengar tafsir mimpi orang-orang kampung ketimbang pelajaran sekolah. Terlebih, nama Tala menjadi kian santer karena selalu dimintai pendapat oleh Larao dan hampir selalu cocok tebakannya dengan angka harian yang keluar. Anaknya, yang kini baru menginjak delapan tahun itu selalu bangun di pagi hari dan menceritakan mimpinya kepada Tabata.
“Mama, sa tadi malam mimpi ular bah besar heula. Dia punya mulut terbuka begini baru kejar sa dengan mama,” ujar Tala suatu pagi sambil mempraktikkan mulut ular yang terbuka dalam mimpinya. Tabata menarik napas panjang dan mulai memberi pengertian kepada anaknya bahwa mimpi hanyalah bunga tidur. Tidak perlu diartikan berlebih; yang lebih utama adalah rajin sekolah. Tetapi Larao menarik Tala ke bale-bale dan mendengar cerita mimpi itu dengan antusias. Lalu Larao memasang sio ular. Siapa sangka, Larao selalu mendulang hasil dari apa yang dikatakan Tala. Setelah menang beberapa kali, Tala bahkan tidak lagi pergi ke sekolah dan Tabata menghantamnya dengan ekor pari beberapa kali. Mo mau jadi apa hah! Mau jadi tukang judi? Begitulah kata-kata Tabata yang kemudian membuat Larao tersinggung lalu berlanjut pada adu mulut dan berakhir dengan bengkaknya wajah Tabata.
“Perempuan sifat macam mo ini yang orang jalan kasih tinggal,” hardik Larao sebelum membanting pendayung ke pintu. Sambil menahan sakit, Tabata menarik Tala ke dalam pelukan. Hari itu Tala mengalami dua pengalaman pahit sekaligus, dipukul oleh ibu yang selalu menyayanginya dan melihat ibunya dipukul laki-laki yang disayanginya.
***
Pertengkaran besar di rumah bercat perak pucat, yang berada di bagian selatan, tepat di ujung hutan bakau yang terlihat seperti seekor buaya kecil dari ketinggian itu mengambang setelah Larao pulang beberapa hari kemudian. Sambil memeluk tubuh Tabata yang ringkih, Larao berbisik, jangan larang-larang sa lagi mama, hanya sa saja yang bisa jaga mo dengan Tala. Mo mau hidup sendiri lagi?
Tabata sangat takut ketika Larao tak pulang ke rumah. Bayang-bayang peristiwa hilangnya Toru kembali menghantamnya. Ia menyesal telah membuat Larao pergi begitu lama. Ketika suaminya pulang suatu pagi dan membisikkan kalimat larangan itu, Tabata menerimanya dengan hati terluka. Setelah itu, hari-hari Larao kembali ke mencakar, meminta pendapat dan serius mendengar mimpi Tala, menelepon pengecer, dan bercerita dengan kawan-kawannya.
Pagi itu, di depan bale-bale, setelah mendengar bisikan Tala yang meminta sepeda kepada Larao jika menang kupon putih lagi, Tabata merasa ia harus membawa anaknya pergi. Ia menarik napas. Bayangan Toru yang selalu dilemparnya keluar ketika mabuk di awal-awal pernikahan melintas begitu saja. Ia mengumpulkan keberanian masa mudanya untuk menyelamatkan anaknya. Tabata masuk ke rumah, mengambil apa saja yang dianggap penting. Rumah gaduh sebentar, Tabata melempar pendayung ke pintu sambil terhuyung-huyung membawa sebuah tas besar dan ember ikannya. Sambil menarik tangan Tala dari bale-bale, ia mendengar Larao berteriak penuh emosi, perempuan tidak tahu diri, ini rumah mo jangan pernah injak lagi. Tabata tidak menjawab, ia terus menuntun Tala menjauh. Mereka pulang, ke rumah di ujung pantai itu—tempat pertama Tabata mendengar Tala pertama kali menangis.
Comments
Post a Comment