Tamu Pertama yang Datang dengan Sebotol Anggur
Percaya pada tamu asing yang datang membawakanmu sebotol anggur di hari pertama kepindahanmu ke rumah baru adalah sebuah kebodohan, sama bodohnya seperti jatuh cinta pada pandangan pertama. Aku selalu berusaha untuk tidak terpesona pada pandangan pertama, tetapi menjadi buta pada tamu pertama yang datang ke rumah baru kami tepat saat kami baru saja selesai menurunkan barang-barang. Semestinya aku sedikit memiliki curiga, pada botol anggur—yang katanya berusia puluhan tahun itu. Aku tidak pernah tahu apa yang telah dia campurkan ke dalamnya, yang membuat istriku mabuk kepayang dan dengan mudah menurut kepadanya.
Sebagai kepala keluarga, seharusnya aku menjadi penjaga utama dan tak membiarkan seorang pun mengelabui istriku dan membawanya ke luar rumah. Tamu pertama itu datang dari sebuah rumah bertingkat dua dengan dinding batu berwarna abu-abu kusam yang berdiri di depan rumah baru kami. Rumah itu seperti rumah di Olav pada umumnya: loteng yang terlihat selalu gelap, pintu kayu yang tinggi dan lebar, kandang kuda di sisi sebelah kanan, serta sebuah pelataran dan taman mungil di halaman depan. Rumah dengan halaman luas dan padang rumput yang dikelilingi pagar batu yang tidak terlalu tinggi itu, rupanya menyimpan keganjilannya sendiri dan aku telah membiarkan seorang penghuninya masuk ke rumahku dengan mudah.
Seandainya pernikahan kami bukan karena dipaksa, kami tak akan terburu-buru pindah ke ke rumah warisan milik keluarga Leonella, perempuan yang baru kunikahi tiga bulan lalu. Kami harus menempuh perjalanan satu hari untuk tiba di rumah masa kecil Simon, ayah Leonella. Bukan orang tua yang memaksa kami menikah, tetapi masyarakat yang menganggap kami telah membuat malu dan melanggar ketentuan gereja. Kami ditemukan warga, tertidur kelelahan di sebuah rumah pertanian di tepi Kota Erc. Salju yang turun mendadak, membuat kami harus berteduh semalaman. Waktu itu, kami baru pulang dari pernikahan seorang teman di Kota Erc—aku berteman dengan mempelai pria dan Leonella berteman dengan mempelai wanita—dan memutuskan pulang bersama karena desa kami bertetangga.
Usia Leonella tiga tahun di atasku. Meski begitu, kulitnya yang seperti mutiara dan matanya yang bersinar, membuatnya tampak lima tahun lebih muda dariku. Mungkin baginya, menikah denganku adalah sebuah kutukan. Sinar matanya meredup tepat setelah aku mengucapkan janji di depan altar disaksikan puluhan pasang mata yang duduk di dalam gereja. Aku bukan laki-laki buruk rupa, tetapi bukan juga dari jenis laki-laki yang berpotensi disukai perempuan dalam pertemuan pertama.
Meski telah berjanji dalam hati untuk belajar mencintai dan menerima takdir, tetap saja rasanya berat hidup bersama dengan orang yang baru bertemu di sebuah pondok pertanian. Kami nyaris tak pernah berbincang. Saat siang, aku akan menyibukkan diri membantu Simon, ayah Leonella, mengurus ternak dan ladang. Sementara saat malam, jika tak tidur di pondok pertanian dekat hutan atau di kandang ternak di belakang rumah, aku akan tidur sambil duduk bersandar pada bantal yang disusun pada sandaran tempat tidur. Leonella akan tidur dengan bergulung selimut di bibir ranjang hingga terlihat nyaris jatuh. Mungkin iba melihat menantunya sering tidur di atas jerami kering nyaris setiap pagi, Simon meminta kami untuk tinggal di Olav, kampung halamannya. Katanya, tinggal berdua dalam satu rumah yang tidak terlalu luas di sebuah desa pertanian yang kecil akan membuat hubungan kami lebih akrab.
Setelah menempuh perjalanan panjang yang melelahkan dan dingin—salju-salju memenuhi jalan, kami tiba di sebuah rumah batu yang luasnya hanya dua kali kandang kuda di desa kami. Kami berbagi tugas: Leonella membersihkan rumah dan aku menurunkan barang dari kereta. Sambil menurunkan barang-barang, aku merasa sepasang mata sedang mengawasi rumah kami. Setelah urusan selesai, seseorang mengetuk pintu rumah.
Seorang perempuan—yang sempat kulihat sedang berdiri di loteng, menjadi tamu pertama kami. Sekilas, ada sinar aneh yang tertangkap olehku saat dia berbicara dengan Leonella. Akan tetapi, buru-buru kutepis prasangka itu setelah melihatnya rela membersihkan salju di jalan hanya untuk membawakan sebotol anggur berusia lima belas tahun ke rumah kami.
Kunjungan pertama itu berlanjut dengan kunjungan-kunjungan lain nyaris setiap hari. Ada saja alasannya untuk mengetuk pintu rumah: mengantar makanan, membawakan hasil rajutan, menanyakan kabar, atau mengobrol bersama Leonella. Nyonya Eline terlihat ramah, penuh perhatian dan pemurah. Tuan Theodore, suaminya, berasal dari Swedia dan sering ke luar kota untuk urusan pekerjaan. Mereka hanya tinggal berdua, tidak ada anak ataupun pesuruh. Mungkin rasa kesepian itu yang membuatnya sering mengunjungi rumah kami.
Tidak lagi sekadar membawakan makanan, Nyonya Eline kerap memberi tas, syal, sepatu, atau mantel setiap kali pulang dari Orkdola, kota ramai di balik bukit, atau dari Geidabru, kota pelabuhan yang menjadi pusat perdagangan. Barang-barang itu bukan barang bekas, tetapi sengaja dibeli sebagai hadiah untuk Leonella. Sebagai petani dengan ladang yang tak terlalu luas, tentu saja aku tidak sanggup membelikan hadiah sebanyak itu.
“Jangan selalu menerima pemberian Nyonya Eline. Jaga harga diriku sebagai suami,” kataku suatu kali sambil memperhatikan Leonella yang tengah mencoba sepatu kulit tipis berwarna merah mawar dengan hak kayu. Sulaman berwarna emas dan pita sutra berwarna kebiruan membuat sepatu itu tampak indah.
“Harganya pasti mahal,” mata Leonella berbinar memandang sepatu yang terpasang cantik di kakinya yang panjang. “Aku tak pernah meminta hadiah-hadiah, Nyonya Eline yang memberikannya karena dia sudah menganggapku seperti anaknya,” lanjutnya sambil berjalan ke arah jendela dan menyingkap tirainya.
Aku menghela napas panjang. Sikap Nyonya Eline memang terlalu baik kepada kami. Akan tetapi yang membuatku merasa ganjil, warga Olav selalu terlihat menghindarinya. Saat di gereja, dia tidak memiliki teman bicara. Aku juga pernah melihat para wanita yang sedang berkumpul dan saling berbincang harus terburu-buru bubar ketika melihat Nyonya Eline mendekat. Jika tak bersama Tuan Theodore, di gereja dia akan duduk sendirian di bangku nomor dua dari depan, berjarak dengan jemaat lain yang juga ikut acara kebaktian petang.
“Apa kamu tidak mencurigai sesuatu? Bukankah semua warga terlihat menghindari Nyonya Eline? Dia juga terlihat hidup sendirian tanpa pesuruh. Aku tidak tahu bagaimana caranya merawat kuda-kuda dan ternaknya serta rumah sebesar itu tanpa seorang pun pesuruh. Bagiku, semua itu terlihat aneh.”
Leonella tak menyahut, dia masih sibuk dengan pemberian Nyonya Eline yang lain. Mantel kulit berwarna biru tua telah menyedot perhatiannya. Tangannya tak henti-henti mengusap-usap permukaan mantel yang halus. Sambil memandangi mantel itu, mengalirlah cerita tentang satu per satu perbuatan warga Olav kepada Nyonya Eline beserta kisah kehidupan pribadi mereka. Leonella menceritakannya dengan detail dan penuh semangat, seolah sudah tinggal selama puluhan tahun di Olav dan mengetahui dengan persis kejadiannya. Aku kembali merasa ada sesuatu yang tidak beres, bagaimana mungkin Nyonya Eline tahu banyak hal perihal warga sementara dia tidak bergaul dengan mereka?
Semakin lama, Leonella terlihat semakin akrab dengan Nyonya Eline. Tidak jarang dia akan menginap saat Tuan Theodore pergi ke luar Olav. Mereka terlihat semakin tidak bisa lepas satu sama lain. Setiap kali pulang dari rumah Nyonya Eline, ada saja cerita yang dibawanya. Cerita-cerita buruk warga Olav tentu saja. Rupanya, Nyonya Eline sedikit banyak telah mengubah isi kepalanya. Pikirannya selalu dipenuhi prasangka kepada orang lain. Dia bahkan mencurigaiku memiliki perempuan lain saat memutuskan menggembalakan domba-dombaku ke dekat mata air yang jaraknya cukup jauh dari Olav.
Leonella tidak peduli pada penjelasanku dan tetap sibuk dengan isi kepalanya sendiri. Dia mulai menyindirku sebagai suami yang tak bisa memberi istrinya kebahagiaan, menuntut banyak hal hingga menimbulkan pertengkaran. Aku mulai tidak nyaman saat bertemu Leonella di rumah. Dia pun semakin sering pergi ke rumah Nyonya Eline. Dan hubungan kami semakin dingin.
Saat aku mulai lelah dengan sikap Leonella, suatu kejadian membuat semuanya berubah. Aku sudah mencapai puncak kemarahan saat dia menolak menghadiri undangan pernikahan salah satu warga Olav, Nyonya Kristin, seorang janda yang akan dinikahi bangsawan terpandang dari Kota Erc. Leonella mengatakan bahwa pernikahan itu semestinya tak terjadi. Nyonya Kristin telah memiliki hubungan dengan lelaki itu sejak suaminya belum meninggal. Dan dari hubungan gelap itu, dia melahirkan seorang anak yang diakuinya sebagai anak dari suaminya. Anak itu kini sudah berusia 12 tahun dan kami sering bertemu di ladang—ladang pertanianku bersebelahan dengan ladang milik peninggalan Tuan Dendrik, suami Nyonya Kristin.
Aku tetap memaksa Leonella datang. Bagaimanapun aku mengenal baik anak Nyonya Kristin. Kami juga tak pernah memiliki masalah dengan mereka. Warga Olav pasti akan menatap kami dengan curiga jika sampai kami tak menghadiri pernikahan itu.
Leonella akhirnya tidak bisa menolak dan terpaksa menuruti permintaanku untuk datang ke acara perayaan pernikahan Nyonya Kristin di rumahnya. Meski saat berangkat wajahnya terlihat cemberut, dia berusaha berbaur dengan wanita yang hadir di sana bahkan turut pula berdansa. Aku merasa senang, setidaknya Leonella bisa mengenal warga Olav lainnya. Sepulang dari pesta pernikahan itu, hubungan Leonella dan Nyonya Eline merenggang.
Mengetahui Leonella datang ke pesrta pernikahan Nyonya Kristin, Nyonya Eline marah besar. Dia mendamprat Leonella di depan pintu rumah kami. Aku mendengar bagaimana ucapan-ucapan kasar itu keluar dari mulut Nyonya Eline. Dia meninggalkan rumah kami dengan tergesa dan wajah memerah.
Setelah perempuan itu pergi, wajah Leonella terlihat bingung. Air matanya perlahan mengalir. Tidak ada yang kukatakan, aku hanya mendekatinya, meraih bahunya dan membawanya ke dalam pelukanku. Sejujurnya aku ingin membalas perkataan Nyonya Eline saat dia memaki istriku sebagai perempuan tak tahu balas budi dan hanya bisa menumpang hidup padanya. Aku seharusnya bergegas ke kamar untuk mengembalikan semua hadiah yang sudah diberikan perempuan itu kepada istriku. Aku sangat tahu, Leonella tak pernah meminta hadiah-hadiah itu.
Setelah pertengkaran itu, Leonella terlihat lebih banyak di rumah. Dia menyibukkan diri dengan menggiling gandum, membuat roti, atau ikut bersamaku ke ladang. Aku tak pernah menanyakan perubahan sikapnya. Kami tak pernah lagi membahas kejadian itu dan bersikap seolah-olah tak memiliki tetangga bernama Nyonya Eline. Aku merasa senang, apalagi dia mulai bergaul dengan warga Olav dan pikiran-pikiran negatifnya tentang mereka sedikit demi sedikit luntur.
“Rupanya, warga Olav tak seburuk yang diceritakan Nyonya Eline,” ucapnya sambil tersenyum. Aku mengangguk pelan dan tersenyum senang.
Comments
Post a Comment